Kamis, 10 Oktober 2019

Tolonglah jaga NKRI ini..

Bulan July 2019, Menko Polhukam Wiranto menegaskan pemerintah menyatakan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sebagai organisasi kemasyarakatan (ormas) terlarang karena menyebarkan paham anti-Pancasila dan anti-NKRI. Wiranto menegaskan aktivis HTI bisa dijerat hukum bila ada yang menyebarkan paham anti-Pancasila. Setelah itu terjadi gelombang demontrasi Mahasiswa yang dipicu oleh RUU KPK dan beberapa RUU lainya. Demontrasi itu berujung rusuh. Tidak bisa dipungkiri bahwa gerakan mahasiswa itu ditunggangi oleh kepentingan politik, yang punya dendam kepada Pemerintah.

Kalau tadinya hanya mahasiswa yang bergerak atas tuntutan terhadap beberapa RUU yang diprotes, namun ekses dari kekacauan itu dimanfaatkan oleh gerakan islam untuk melakukan serangan balik kepada Wiranto. Tanggal 27 september 2019, ratusan orang yang tergabung dalam Dewan Syariah Kota Solo (DSKS) berdemonstrasi solidaritas atas kematian dua mahasiswa pengunjuk rasa di Makasar. Mereka menuntut Kepala Polri Jendral Pol Tito Karnavian dan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Wiranto dicopot.

Gerakan islam radikal memang tidak menyukai sosok Wiranto. Di era Wiranto Menko Polkam, UU anti teror, UU Ormas, ITE disyahkan, yang sehingga semakin kuat secara hukum memerangi radikalisme. Setidaknya 700 terduga teroris ditangkap dan disidangkan selama empat tahun pemerintahan Jokowi. Angka ini dinilai lebih banyak dibandingkan dengan 10 tahun pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sejak peristiwa bom bunuh diri di Surabaya pada Mei 2018, polisi telah menangkap sekitar 242 terduga teroris. Sepanjang tahun 2019 sampai dengan Mey, Polri menangkap terduga teroris mencapai 68. Makanya jangan kaget bila banyak di sosmed yang senang Wiranto ditusuk teroris. Mereka sudah terpapar radikalisme. Kapanpun mereka bisa jadi teroris.  

Memang Indonesia punya cara yang paling berbeda dengan negara maju menghadapi teroris. Di Negara seperti Eropa dan AS, perang terhadap teroris dilakukan oleh unit inteligent militer. Tugas polisi hanya setelah ditangkap untuk proses pengadilan. Mengapa. Karena pendekatan negara maju terhadap teroris adalah militeristik. Sama seperti di Malaysia. Bagi negara maju, tidak ada urusan HAM dengan teroris. Karena teroris itu adalah ancaman HAM. Tidak ada kompromi terhadap teroris. Karena kompromi menunjukan negara lemah dan bisa berdampak distrust terhadap negara.

Melihat situasi sekarang ini, dimana radikalisme sudah berani menyerang pejabat negara, maka  ini bukan lagi soal kejahatan publik tetapi sudah menyangkut ancaman terhadap pertahanan negara. Sudah saatnya paradigma menghadapi Teroris tidak lagi mengandalkan program deradikalisasi. Tetapi harus militeristik. Setidaknya peran inteligent TNI harus lebih diaktifkan untuk membantu POLRI menghadapi ancaman terorisme ini. 

Mengapa? Karena target teroris bukan hanya ingin mengubah UUD 45 dan Pancasila tetapi juga ingin menghabisi semua yang berbeda. Kalau dibiarkan , negeri ini akan banjir darah dan terjadi eksodus lebih dari 20 juta orang. NKRI akan pecah melalui perang panjang dengan korban kemanusiaan yang tak terbilang. Karena negara  negara besar akan meramaikan konplik untuk dapat mengontrol wilayah yang menjadi targetnya, tentu yang kaya SDA. Tinggalah jawa yang berkubang masalah dengan puluhan juta orang tanpa SDA yang cukup. Suatu masa depan yang sangat buruk…Kepada siapapun yang cinta negeri dan ingin agama tegak sebagai sumber perdamaian, tolonglah jaga NKRI ini. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Dampak kebijakan Trump ..

  Trump bukanlah petarung sejati. Dia tidak punya seni bertahan sebagai seorang petarung yang punya ketrampilan bela diri dan kesabaran. Ret...