Kamis, 17 Oktober 2019

Demokrasi dan kebebasan.

Ada anggapan sebagian orang yang mengatakan bahwa di era Jokowi kebebasan menyampaikan pendapat dalam sistem demokrasi akan suram di masa depan. Dasarnya adalah larangan demo menjelang Pelantikan Presiden. Tindakan represif aparat dalam menghadapi Demo. Banyak aktifisi sosial media yang masuk penjaran karena kena pasal ITE dan ujarna kebencian. Bahkan RUU KUHP yang sangat kontropersial karena memuat pasal ancaman pidana apabila menghina presiden. Tentu penilaian mereka berdasarkan referensi dari Barat tentang teori demokrasi dan kebebasan menyampaikan pendapat.
Awalnya teori tentang kebebasan itu adalah liberalisme. Para pendukung liberalisme disebut dengan libertarian. Liberalisme adalah syarat berjalannya kapitalisme. Sementara liberalisme hanya hidup dalam sistem demokrasi. Tapi Value dari demokrasi adalah social atau istilah romantisnya adalah Sosial demokrat atau negara kesejahteraan. Bahwa negara menjamin kesejahteraan warga negara dari bayi sampai meninggal dunia. Rakyat berhak mendapat tempat tinggal layak, mendapatkan pendidikan, mendapatkan pengobatan, dan berhak mendapatkan fasilitas-fasilitas sosial lainnya, itu seperti pemikiran dari John Maynard Keynes.
Namun karena itu negara menghadapi krisis berulang ulang. Itu sebabnya tahun 1944 Hayek menulis dalam bukunya, The Road to Serfdom, yg menolak pasal-pasal tentang kesejahteraan dinilai janggal. Tulisan Hayek ini menghubungkan antara pasal-pasal kesejahteraan dan kekalahan liberal, kekalahan kebebasan individualisme. Dari sinilah muncul teori tentang neoliberalisme, mengukuhkan Milton Friedman sebagai Nabi nya dengan mahzab Chicago.
Seperti apa neoliberalisme itu, anda bisa parhatikan lirik lagu dari Jhon Lennon “ Imagine there's no countries/ It isn't hard to do/ Nothing to kill or die for/And no religion, too/ Imagine all the people/ Living life in peace/ You may say that I'm a dreamer/ But I'm not the only one/ I hope someday you'll join us/ And the world will be as one.
Tapi karena kejatuhan Wallstreet 2008, mata dan perhatian orang kepada sistem neoliberalisme sebagai biang kebangkrutan global. AS sebagai jantung kapitalisme mengubah sistem neoliberal menjadi sistem proteksionisme. Apapun negara atur. Tidak lagi ada istilah kebebasan sebebasnya dibidang sosial, ekonomi dan politik. Kebebasan hanya berjalan diatas jalur UU. Jadilah kebebasan regulated. Orang bebas bicara tetapi harus sesuai UU. Orang bebas berpendapat, harus sesuai UU. Orang bebas berbisnis tetapi harus sesuai aturan. Sehingga tidak ada lagi kartel ekonomi maupun kartel kebenaran. Selagi sesuai UU, adalah benar. Tidak sesuai UU, pasti salah. Pidana urusannya.

Kalau ada wacana kebebasan yang didengungkan oleh beberapa pihak yang sehingga menilai masa depan kebebasan menyampaikan pendapat dan demokrasi akan suram di periode ke dua Jokowi, tak lain adalah orang berpikir dengan mengikuti text book yang out of date. Lucunya mereka bicara kebebasan seperti neoloberalisme tetapi berharap liberalisme tanggung jawab negara atas kesejahteraan. Itu sama saja LGBT yang minta pengakuan status legal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Di balik tataniaga Timah.

  Direktur Utama PT Timah Tbk (TINS) Ahmad Dani Virsal mengatakan bahwa Indonesia kini merupakan produsen timah terbesar kedua di dunia. Dia...