Berita media massa soal kinerja pemerintah dan terkait utang selalu bias. Bukan pemerintah bohong. Tetapi pejabat yang menyampaikan informasi ke publik kadang berserta dengan opini dia sendiri. Ya jelas absurd terhadap data yang ada. Nah kebetulan jurnalis diharuskan memberitakan apa yang ada pada jumpa pers. Dan oleh para buzzer pemerintah, berita itu dijadikan senjata membela pemerintah lewat sosial media. Padahal kita sudah ada UU keterbukaan informasi. Namun tidak semua rakyat paham membaca informasi.
Pemerintah setiap tahun membuat LKPP ( Laporan Keuangan Pemerintah Pusat ). BI juga membuat laporan tahunan soal kinerja moneter. Ada juga laporan konsolidasi BUMN. Kalau kita ingin tahu apa sih kinerja pemerintah, ya baca laporan itu. Kalau ingin tahu dengan cara mudah, ya baca aja laporan audit BPK. Hanya saja BPK buat laporan telat. Sementara LKPP, BI dan BUMN itu tepat waktu. Dan data nya bisa diakses lewat situs mereka.
Laporan itu sangat rinci dan tebal banget. Bagi kita orang awam, sulit membacanya. Mungkin sekelas S3 belum tentu paham. Melototi data itu butuh waktu lama. Apalagi kalau mau dianalisa, perlu juga mengambil data pembanding dari tahun tahun sebelumnya. Tambah rumit dah.
Saya akan memberikan sedikit tips sederhana dalam membaca laporan pemerintah. Anda harus pahami tiga hal. Pertama. Sistem akuntasi negara. Kedua, system pengendalian moneter. Ketiga, peran dan fungsi BUMN.
Pertama. Sistem akuntasi negara kita menganut cash basic. Artinya kalau dianalogikan ya mirip pembukuan toko. Dalam buku tebalnya hanya berisi catatan pendapatan tunai dan pengeluaran tunai. Kalau kurang disebut defisit, kalau lebih disebut surplus. Itu tercermin dari APBN. Nah utang yang dilakukan BI dan BUMN tidak dicatat sebagai utang negara. Bahkan utang pemerintah terhadap pension PNS tidak dicatat sebagai utang. Walau faktannya setiap tahun APBN bayar uang pension PNS.
Kedua. BI bertugas langsung mengendalikan moneter namun tidak terkait langsung dengan inflasi. Pengendalian inflasi ada pada pemerintah lewat kebijakan fiskal. Nah kalau BI lakukan intervensi pasar uang, itu bukan bertujuan meredam inflasi tetapi menjaga stabilitas kurs.
Ya mainnya di suku bunga ( BI-rate) dan tentu harus kompit di pasar agar posisi Asset financial Luar negeri (AFLN) terhadap kewajiban financial luar negeri (KFLN) bisa dikelola. Kalau posisi kewajiban lebih besar daripada asset ya BI naikan suku bunga. Seperti sekarang ini. Kalau engga, asset bisa pindah ke luar negeri ( Capital outflow ) dan rupiah bisa terjun bebas.
Ketiga. BUMN itu beroperasi seperti layaknya Perseroan yang ukuran suksesnya dihitung dari laba yang dia hasilkan. Makanya BUMN itu boleh di-privatisasi lewat IPO atau MBO. Outcome nya dalam bentuk agent of development seperti BUMN China dan Singapore, tidak ada. Jadi kalau BUMN bangun jalan toll, bandara, Pelabuhan, PLN, Telkom, refinery oil & Gas, Kereta api, dan lain lain, itu hanya bisnis. Engga ada kaitanya langsung dengan kesejahteraan anda sebagai rakyat. Karena tarifnya komersial. Engga bayar tarif, anda engga boleh nikmati infrastruktur itu. Terkait dengan pemerintah hanya saham, pajak dan deviden doang.
***
Dengan tiga hal tersebut diatas, kita jadi paham bahwa: Pertama. Rasio utang terhadap PDB yang dilaporkan Pemerintah, itu tidak mencerminkan utang sesungguhnya. Karena utang BI untuk operasi pasar dan Utang BUMN untuk ekspansi, tidak dicatat sebagai utang pemerintah. Itu sifatnya off balance sheet. Tapi kalau terjadi default, maka itu akan dicatat sebagai utang pemerintah. Menjadi beban fiscal.
Kedua. Walau negara tidak bertanggung jawab secara hukum hutang luar negeri swasta, namun neraca moneter kita mencatat asset dan utang penduduk Indonesia sebagai AFLN dan KFLN. Artinya hutang luar negeri swasta ( bank maupun non bank) menjadi resiko negara. Misal, kalau terjadi default dan negara tidak bailout , maka itu berdampak terhadap stabilitas moneter. Resikonya mata uang rupiah bisa tumbang. Jadi tetap harus di bailout. Contoh saat pandemi COVID, kan pemerintah keluarkan dana PEN dan relaksasi utang korporat.
Ketiga. Utang itu dalam politik anggaran sudah menjadi keniscayaan. Idiologi anggaran kita adalah liberalisme. Peran negara sangat minim terhadap pasar. Sebagian besar di tentukan oleh pasar yaitu lewat SBN, SBRI. Pemerintah dan BI main di pasar untuk mengamankan agenda politik. Tentu yang berlaku hukum pasar uang. Semakin tinggi bunga semakin besar peluang dapatkan dana di pasar. Jadi paham ya, mengapa bunga SBN, SBRI kita lebih tinggi dibandingkan Singapore atau philipina, atau Malaysia, atau Vietnam? Ya karena idiologinya beda. Engga bisa disandingkan dan dibandingkan.
Makanya kebijakan makro ekonomi kita selalu ekspansif atau Bahasa vulgarnya pro-pasar. Mengapa ? agar PDB meningkat sehingga ratio utang terhadap PDB bisa dijaga tidak melewati pagu utang. Sehingga layak terus berhutang. Makanya ketika krisis global negara lain rendah pertumbuhan ekonominya, bahkan mendekati 0, kita tetap dikisaran 5%. Tapi peningkatan itu bukan karena kinerja produksi, tetapi konsumsi. Belanja lebih mudah daripada investasi u/revitalisasi industry atau pertanian yang terpuruk, yang hasilnya butuh waktu lama bisa berdampak terhadap PDB.
Kalau kita ingin bandingkan dengan negara lain, tentu harus sama system akuntasi dan moneter nya. Misal, AS , Singapore, Eropa, Jepang, mereka menganut system akuntansi akrual. Rasio utang terhadap PDB, mencerminkan utang public, bukan hanya utang pemerintah. Makanya rasio utang mereka terhadap PDB tinggi. Bahkan ada yang diatas 100%. Sedangkan kita hanya utang pemerintah dikisaran 40% tapi kalau dimasukkan off balance sheet ratio nya bisa diatas 70%. Moneter mereka dengan kurs bebas ( floating exchange rate). Mereka engga pusing ongkosi operasi moneter. Sementara kita kurs mengambang terkendali ( Manage Floating exchange ) yang ongkos moneternya mahal.
Apakah pemerinta salah ? salah atau benar itu bukan karena sisatemnya. Tetapi karena mental pengelola negara. Indikatornya adalah indek korupsi. Artinya walau system liberal atau otoriterian sekalipun, pemimpinnya bersih ya hasilnya bagus. Tapi kalau indek korupsi memburuk, jangankan liberalisme, system agama yang katanya dari Tuhan pun tetap aja buruk. Kita ambil contoh China dan Jepang. Rasio utang kedua negara ini terhadap PDB diatas 200%. Walau system berbeda, tetapi rakyatnya relative sejahtera dan kehormatannya dalam hal ekonomi tinggi di mata dunia. Mereka jadi lender dunia.
***
Memahami asset dan utang
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan aset negara hingga 31 Desember 2023 telah mencapai Rp 13.072,8 triliun. Jadi seluruh asset negara baik itu BUMN maupun infrastruktur ekonomi, Gedung kantor , sampai alas kaki kamar kerja Menteri sudah dihitung. Segitulah nilainya. Gimana dengan SDA? Itu selagi masih di dalam bumi, tidak dicatat sebagai asset. Untuk jadi asset, harus ada modal. Engga ada modal, ya hanya cerita aja.
Nah pemerintan berhutang itu menggunakan dua skema. Skema pertama, sovereign loan. Kedua, Surat utang negara. Apa bedanya skema pertama dan kedua ? sovereign loan yang jamin kedaultan negara atau negara RI. Makanya harus ada izin dari DPR. Kalau Surat utang negara, itu terkait dengan APBN, jaminannya asset negara yang Rp. 13.073 triliun itu. Engga ada kaitannya dengan kedaulatan negara.
Sejak era Jokowi, memang sepertinya mengharamkan sovereign loan. Kita focus aja ke SUN. Kalau APBN disetujui DPR, dan defisit, Jokowi tinggal perintahkan SMI, “ Cari duit di pasar “ HItungan hari uang masuk. Engga repot amat nego nya seperti sovereign loan. Mengapa ? ya karena SUN itu underlying nya asset negara. Sama seperti kamu pinjam uang ke bank bawa sertifikat rumah. Selagi asset diatas pinjaman ya credit cair.
Saat sekarang utang SBN Rp. 8000 triliun. Jaminan sebesar Rp. 13.000 triliun. Jadi masih lebih besar dari hutang. Aman lah. Nah agar bisa terus berhutang. Pemerintah terus usahakan agar APBN bisa menciptkan sebanyak mungkin BMN ( barang milik negara). ? mengapa ? agar besok bisa ngutang lagi. Begitu aja terus. Ini disebut dengan APBN ekspansiv.
Yang jadi masalah adalah SBN itu dinilai oleh market. Nah market melihat kinerja APBN bukan hanya dari bertambahnya BMN tetapi juga dari outcome nya. Misal, pemerintah bangun bandara, Untung berapa Angkasa Pura ? Bangun jalan tol, untung berapa Waskita?. Bangun kereta cepat. Untung berapa KAI ? Kalau untung tipis, bahkan ada yang tekor. BMN itu direvaluasi sendiri oleh market. Mereka akan adjustment sendiri. Engga ada urusan soal trade off dari adanya BMN itu. Itu absurd dan bias.
Ada rumus cara ngitungnya value adjustment itu, seperti indicator ICOR, DSR dann lainnya. Kalau hitungan kasar saya sebagai pedagang sempak nilai BMN kita itu tidak lebih 1/3 dari nilai buku sebesar Rp. 13.000 triliun. Ya not enough collateral. High risk but okay lah.. Makanya bunga SBN diatas 6% dan SBRI diatas 7%. Tertinggi yield nya di ASIA.