Jumat, 06 September 2024

Energi Baru Terbarukan (EBT)

 



Sebenarnya sudah diketahui dan dipahami bahwa pada hari ini kita sedang tidak baik baik saja. Saat emisi gas rumah kaca menyelimuti Bumi, panas matahari terperangkap di dalamnya. Hal ini menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim. Bumi kini memanas lebih cepat daripada sebelumnya dalam sejarah. Suhu yang lebih hangat dari waktu ke waktu mengubah pola cuaca dan mengganggu keseimbangan alam. Hal ini menimbulkan banyak risiko bagi manusia dan semua bentuk kehidupan lainnya di Bumi. 


Bahan bakar fosil – batu bara, minyak, dan gas – sejauh ini merupakan penyumbang terbesar perubahan iklim global, yang menyumbang lebih dari 75 persen emisi gas rumah kaca global dan hampir 90 persen dari seluruh emisi karbon dioksida. Data World Meteorological Organization menunjukkan bahwa 2023 menjadi tahun dengan suhu terhangat dengan kenaikan suhu global mencapai 1,45 derajat celcius dibandingkan masa pra-industri. 


Menurut SMI, dampak perubahan iklim itu terhadap ekonomi bisa memenggal PDB 10%. Itu besar sekali dan sangat significant menghalangi pertumbuhan berkelanjutan. Kenaikan suhu udara meningkatkan potensi terjadinya bencana alam yang kemudian bisa mengakibatkan kerusakan pada infrastruktur. Menyebabkan ketidakstabilan sosial politik di mana kelompok masyarakat miskin dan rentan akan menjadi yang paling terdampak. Kini sudah dirasakan oleh sebagian besar petani yang produksinya turun dan adanya inflasi pangan.


Special Adviser Sekjen PBB di bidang Climate Action and Just Transition, Selwin Hart, menagih janji Indonesia dalam kesepakatan JETP ( Just Energy Transition Partnership). Untuk diketahui bahwa dalam implementasi JETP, pemerintah melakukan dua pendekatan sekaligus. Pemensiunan dini PLTU berbasis batu bara serta membuat sektor energi terbarukan. Tetapi implementasi nya rendah sekali. Malah justru tahun 2022 dan tahun 2023 kapasitas pembangkit listrik batubara dan gas bertambah. 


Menurut berita kini ada 400 proyek EBT ( energi baru terbarukan), termasuk rencana melakukan pensiun dini terhadap Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Suralaya 2 sebesar 2,2 gigawatt (GW) yang terletak di Cilegon, Banten. Selain itu, PLTU Cirebon juga masuk rencana pensiun dini. Tapi itu baru wacana. Belum ada implementasinya. Mengapa ? kalau pembangkit listrik itu dipensiunkan dini, pemerintah harus bayar ke pihak investor. Karena pembangkit listrik itu dibangun lewat skema KPBU. Emang ada uang negara? Terus ganti dengan EBT, emang ada uangnya ? Utang lagi ? 


Memang dilemma. Disatu sisi pemerintah perlu pertumbuhan ekonomi. Bisnis tambang batubara menyumbang devisa tidak sedikit dan juga pajak. Disisi lain, negara tidak ada uang untuk melakukan transisi energi, yang menelan anggaran USD 281 miliar atau Rp 4000 triliun. Mengharapkan Swasta terlibat membangun transisi energi? Ya sulit , yang suka tidak suka pengusaha tambang itu adalah mereka yang mendukung oligarki kekuasaan. Tentu mereka tidak ingin bisnisnya tumbang. Tuh lihat RUU EBT tak kunjung disahkan DPR. 


Alternatif EBT adalah Pembangkit Listri Tenaga Surya, Pembangkit Listrik Tenaga Angin, Pembangkit Listrik Tenaga Sampah. Anggaran akan sangat besar dan sulit dapatkan investor swasta tanpa insentif besar dari APBN. Nah di tengah keterbatasan anggaran negara dan semakin mendesaknya program EBT, apa solusinya ? sebenarnya tidak sulit. SDA kita sangat besar. 


Pertama. Kita harus optimalkan Pembangkit listrik tenaga Air. Potensi pembangkit listrik tenaga air hingga mencapai sebesar 76,09 gigawatt. Memang pembangunan PLTA itu rumit namun tidak sulit mendapatkan investor. Karena PLTA itu magnit bagi pusat produksi upstream dan downstream mineral tambang yang butuh energi murah. Industri akan tumbuh dan lingkungan terjaga. Apalagi potensi PLTA itu paling besar di Papua dan Kalimantan, Sulawesi. Itu akan sangat strategis sebagai upaya distribusi keadilan ekonomi.


Di Kalimantan Utara, Kabupaten Bulungan, Kecamatan Peso, sejak tahun 2014 pemerintah sudah bertekad membangun PLTA. Kapasitasnya bisa 9000 MW. Mungkin itu akan menjadi pembangkit listrik terbesar di Asia Tenggara.  Kalau PLTA ini jadi, sudah ada beberapa upstream Bauksit akan membangun pusat alumina disana. Ini akan jadi Kawasan Industri upstream Alumina dan Downstream Aluminium terbesar di Asia Tenggara. Total investasi akan mencapai USD 200 miliar atau Rp. 3000 triliun. Akan menjadi magnit pertumbuhan ekonomi di Kalimantan.


Tetapi tahukah anda?. Tahun 2024, proyek ini resmi di keluarkan dari PSN. Ya terancam mangkrak. Padahal studi kelayakan sudah selesai. Masalah lahan sudah diatasi. Artinya masalah lingkungan sudah dimitigasi dengan baik. Masyarakat juga mendukung. Investor antri. Mengapa gagal? 


“ Selalu mentok soal penunjukan EPC. Oknum pusat maunya EPC dia yang menentukan. Oknum daerah, maunya mereka yang tentukan “ Kata teman. 


“ Mengapa ?


“ Ya. Maklum saat ada rencana proyek raksasa, yang bertarung bukan hanya project sponsor tetapi juga Kontraktor. Bayangin aja. PLTA ini dengan anggaran USD 12 miliar atau sekitar Rp. 190 triliun. Kalau kontraktor beri komisi 2,5% aja, itu sudah Rp. 4,8 triliun. Itu fee engga kecil. Bisa untuk hidup 7 keturunan.” Kata teman yang pernah diajak terlibat dalam proyek ini. Andaikan proyek ini selesai pada periode Jokowi. Tentu jargon IKN sebagai kota green energy akan tepat sekali. Dari Kaltara bisa dibangun transmisi listrik ke IKN. 


PLTA itu energi murah dan ramah lingkungan. Kalau energi murah, itu akan jadi magnit bagi investor. Apapun bisnis akan berkembang. Apalagi industry. Di kaltara pasti akan terbentuk dengan sendirinya mega City dan tentu IKN bukan masalah. Keliatan sekali dampak buruk korupsi itu. Engga peduli dengan visi masa depan dan keadilan antar wilayah.

 

Kedua. Kita bisa gunakan tekhnologi pemanfaatan Algae sebagai sumber EBT. Kita punya sumber daya Algae tebesar di dunia. Kalau ini dibuka peluangnya, akan banyak investor masuk. Karena Algae disamping digunakan untuk energi juga bisa digunakan untuk Industri pangan dan bioplastic. Industri downstream Algae akan tumbuh pesat.


Ketiga. Kita bisa gunakan EBT dari Hidrogen. Bahan bakar hidrogen (hydrogen fuel) merupakan bahan bakar tanpa emisi yang digunakan sebagai bahan bakar bagi pembangkitan listrik. Investor pasti banyak peminat. Karena disamping untuk energi, Hasil sampingannya bisa berupa air murni untuk air minum dan O2 untuk rumah sakit.


Yang miris, disaat kita sedang berjuang mencari solusi transisi energi EBT,  kita malah membantu Singapore dengan mengekspor listrik dari EBT. Sehingga Singapore bisa mudah memenuhi kesepakatan Paris dan tentu bisnis data center nya semakin berkembang. Pemerintah sekarang tidak punya visi nasionalisme dan pasti tidak paham politik energi untuk kepentingan domestic. Tanpa percepatan transisi EBT, kita tidak punya masa depan. Indonesia emas situ hanya omong kosong. Semoga Prabowo lebih smart dari Jokowi..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Inflasi momok menakutkan

  Dalam satu diskusi terbatas yang diadakan oleh Lembaga riset geostrategis, saya menyimak dengan sungguh sungguh. Mengapa ? karena saya tid...