Selasa, 20 Oktober 2020

Mahasiswa adalah generasi first class



Saya bisa merasakan gejolak darah muda kalian yang selalu hendak mengaktualisasikan diri di hadapan publik. Bahwa kalian adalah anak bangsa yang peduli kepada nasip negeri ini. Ingin menjadi motor perubahan tegaknya keadilan. Itu semua teraktualkan dari aksi demo. Apa yang kalian lakukan sekarang, kami juga pernah lakukan. Bahkan yang kami hadapi adalah sang jenderal diktator. Setelah demo, kami harus kucing kucingan dengan aparat. Ada yang ketangkap dan kemudian hilang tak tahu rimba. Ada yang lari tanpa ujung. Menghilangkan diri. Ada yang bernasip baik dibuang ke Nusakambangan. Kini kalian menikmati kebebasan dan tak perlu ketakutan seperti kami dulu. Sukurilah karunia kebebasan itu dengan cara bijak.


Demontrasi adalah hak demokrasi bagi siapa saja. itu dibenarkan. Namun seyogianya lakukan itu dengan cara terpelajar. Mengapa?  Kalian adalah elite negeri ini. Dari 260 juta rakyat, hanya 7,3 juta orang yang mendapatkan kesempatan jadi mahasiswa. Itu artinya hanya 2,8% saja dari populasi negeri ini. Kalian adalah generasi first class di negeri ini. Dalam sistem demokrasi dan informasi yang terbuka luas, elite seperti kalian sangat diperlukan jadi obor penerangan bagi mereka yang tidak berstatus Mahasiswa. Namun hal yang sangat sederhana, kalian tidak bisa  memahami, misal kalian memaksa Presiden agar menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) dan membatalkan Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja itu. 


Sayang tahukah kalian , Presiden kita itu bukanlah Raja seperi khilafah dimana sabdanya adalah hukum. Tidak bisa presiden dengah mudah keluarkan PERPPU. Presiden hanya bisa mengeluarkan Perpu bila terpenuhi tiga syarat 1). adanya keadaan, yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU. 2). UU yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada UU tetapi tidak memadai. 3). Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan. Dari tiga syarat itu, sampai kini tidak ada alasan yang bisa terpenuhi untuk presiden terbitkan PERPPU. 


Apakah demo dan penolakan dari berbagai elemen masyarakat bisa disimpulkan negara dalam keadaan genting? Tidak! Itu tidak cukup mewakili mayoritas rakyat. Engga percaya? mari kita lihat hasil survey. Temuan survei Indometer menunjukkan bahwa walau hanya 31,2 persen publik yang tahu tentang UU Cipta Kerja, namun 90,1 persen publik setuju. Apa artinya? bagi yang sudah tahu isi UU Cipta kerja, 90% mereka setuju.  Apakah kalian termasuk 68,8 % yang tidak tahu UU Cipta kerja? Kalau benar, maaf itu sangat menyedihkan.  Atau apakah kalian termasuk 8,6% yang tahu UU Cipta kerja namun  terang-terangan menolak. Kalau iya, itu jumlah tidak ada artinya dengan yang setuju. Secara demokratis kalian sudah kalah. Belajarlah dari sikap, dan akui kesalahan. Tidak akan ada yang mempermalukan kalian. Semua tahu kalian sedang berproses. Biasa saja. 


Tahukah kalian. Sejak tahun 2015, APBN kita menganut fiskal yang ekspansif bertumpu pada dua hal yaitu  insfrastruktur ekonomi dan SDM. Investasi negara terhadap dunia pendidikan dan infrastruktur dari tahun ketahun terus meningkat. Tentu tujuannya agar infrastruktur hebat terbangun dan SDM hebat juga tercipta. Generasi kalian juga akan mewarisi sistem birokrasi yang meritokrasi, dan ekonomi efisien berkat tersedianya infrastruktur, maka peluang bagi semua. Kalian akan tampil percaya diri berkompetisi di panggung dunia. Kalian akan jadi kapten terhadap diri kalian sendiri. Nasip, kalian sendiri yang menentukan, bukan lagi pemerintah. Negara bergantung kepada kalian. Saat itulah demokrasi mencapai puncak kedewasaan. Rakyat berkuasa dan pemerintah hanyalah administrasi pelayan rakyat. 


Nak, kami adalah generasi yang gagal akibat rezim Soeherto selama 32 tahun memperbodoh dan setelah itu rezim reformasi tidak bisa mengubah mental birokrat dan kaum feodal. Barulah kini perubahan itu terjadi, bukan untuk kami, tetapi untuk kalian.“Elok-elok kalian jalani umur muda, sayang. Pandai-pandai mencari kawan. Kawan yang baik, Nak, tak mengundang datangnya mudarat. Lihat, laku kalian, membuat resah dan menyusahkan orang lain” .Paham kan sayang…

Jumat, 16 Oktober 2020

UU Cipta Kerja, menutup peluang korup

 


Semua tahu proyek Meikarta. Proyek kebanggaan Lippo  group, yang membangun block city di Cikarang, Bekasi. Ketika acara  prosesi tutup atap atau toping off dua menara Meikarta , LBP dan termasuk investor China yang jadi mitra Lippo juga hadir. Ratusan ribu konsumen sudah tersaring untuk penjualan unit apartement. Namun apa yang terjadi? Proyek tersandung kasus. Bukan karena investor tidak ada uang. Bukan tidak ada konsumen. Bukan karena utang bank tak terbayar. Bukan karena ngemplang dana APBN. Bukan karena bangkrut. Tetapi karena kasus suap yang dilakukan eksekutif LIPPOP group kepada Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin. Di samping itu ada 7 orang terkait juga terjerat oleh KPK. Dampaknya tidak sedikit investor dirugikan. Belum lagi konsumen.


Proyek PLTU Riau-1 adalah proyek nasional dalam rangka pemenuhan target listik 30.000 MW. Investor sudah ada. Tinggal bangun saja. Dana pembangunan tidak menggunakan APBN. Tidak menggunakan uang bank dalam negeri. Ini murni proyek B2B. Resiko ada pada investor. Tetapi karena kasus suap kepada Anggota DPR dan Menteri Idrus Marham, proyek itu terpaksa berhenti. Dalam kasus ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan pengusaha Johannes Budisutrisno Kotjo dan aggota DPR serta menteri Sosial, Indrus Marham. Belakangan Dirut PLN juga kena jerat KPK.


Kasus diatas hanyalah sebagian kecil saja kasus perizinan yang rumit berujung pidana korupsi. Berdasarkan catatan Komisi Pemberantasan Korupsi, sebanyak 300 kepala daerah telah terjerat kasus korupsi sejak diberlakukannya pemilihan kepala daerah secara langsung pada 2005 lalu. 124 di antaranya ditangani KPK, sisanya di tangani kejaksaan. 80% mereka kena jerak pidana karena kasus perizinan. Sehingga praktis dari hari ke hari kita menonton kebobrokan aparat. Lama lama bisa merusak marwah pejebat negara. Dan ujungnya menimbulkan distrust terhadap sistem pemerintahan.


Lantas apa penyebabnya sehingga begitu banyak kasus korupsi di kalangan pejabat daerah dan pusat ? Itu karena perizinan sudah menjadi sumber daya yang langka. Sehingga diperebutkan oleh pengusaha untuk mendapatkannya. Kompetisi tak bisa dielakan.  Main kayu terpaksa dilakukan. Karena itu suap tak bisa dihidari. Hampir semua pengusaha lelah dengan sistem seperti ini. Makanya pengusaha kreatif dan profesional memilih mendirikan bisnis di negara lain. Bukan karena mereka tidak nasionalis tetapi engga mau berurusan dengan suap dan akhirnya jadi pesakitan.


Bahwa dalam sistem demokrasi, kekuatan negara ada pada produktifitas. Nah pengusahalah satu satunya yang bertanggung jawab dan beresiko terhadap rendahnya produktifitas. Kalau mereka dipalaki sejak mendapatkan izin dan berproduksi, saya rasa hanya pengusaha hitam yang mau invest di Indonesia. Pada akhirnya mereka bukan mendatangkan kemakmurah malah, menjadi masalah rendahnya efisiensi nasional. Karena hanya pengusaha rente yang mau hidup dalam sistem yang korup. Hanya masyarakat dan politisi yang low grade yang nyaman dalam sistem yang korup. 


UU Cipta kerja sebenarnya disamping memangkas perizinan juga adalah memperbaiki sistem, sehingga perizinan tidak lagi menjadi sumberdaya yang langka. Siapapun berhak mendapatkan akses perizinan dengan cepat dan murah. Kompetisi sehat terjadi dengan sendirinya. Para pejabat pemerintah tidak bisa lagi menjadikan proses perizinan sebagai cara memperkaya dirinya. Walaupun motif tetap anda namun jalan sudah tertutup. Korupsi terjadi bukan  hanya karena orang jahat tetapi karena adanya peluang. Selagi peluang tetap ada, orang baik berpotensi menjadi jahat. Peluang itu lah yang ditutup oleh Jokowi lewat UU Cipta Kerja. Sehingga by design kita sedang mengarah kepada sistem pemerintahan yang good governance.


Kalau anda menolak UU Cipta Kerja karena alasan memperkaya pengusaha. Membela kapitalis. Jelas itu alasan naif. Karena pengusaha juga adalah rakyat. Mereka bayar pajak sebesar 25% dari laba. Mereka juga membayar retribusi kepada PEMDA. Membayar PBB dan juga menyerap angkatan kerja. Faktanya 85% pendapatan negara itu bersumber dari pajak. 85% pembayar pajak  berasal dari korporat. Nah kalau pengusaha engga boleh untung  secara memuaskan, lantas dari mana mereka bayar pajak? darimana uang untuk bayar retribusi. Kalau buruh yang mereka bayar dikendalikan pihak luar, lantas bagaimana mereka mengelola resiko? Seharusnya dipahami itu secara akal sehat. 


Rabu, 07 Oktober 2020

UU Cipta Kerja, Paragraf tentang Pendidikan.


Dalam UU Cipta Kerja Paragrap tentang Pendidikan, ada tiga Undang-Undang (UU) yang disederhanakan dan diubah, yakni UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, serta UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Pasal tentang Pendidikan ini terancam akan digugat ke MK. Karena bertentangan dengan prinsip Otonomi daerah, UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Di samping itu alasan klasik bahwa UU Cipta Kerja memisahkan Kebudayaan dan Pendidikan. Lebih cenderung komersialisasi lembaga pendidikan ( Pasal 62 ayat (1) dan Pasal 65 ayat (1) dan ayat (3). Saya akan mencoba membahasnya dalam perspektif sederhana.


Yang paling rasional dalam hidup ini adalah bisnis. Dalam bisnis ada sikap dasar manusia yaitu survival. Berkembangnya IPTEK karena tuntutan bisnis.  Orang inginkan sesuatu yang mudah dan murah dalam berproduksi dan beraktifitas , lahirlah Mesin. Mesin pabrik dan kendaraanpun tercipta. Ilmu value engineering berkembang, yang melahirkan abad komputer dan kemudian IT. Karena manusia terus bertambah, kebutuhan semakin besar, maka perlu efisiensi dan efektifitas terhadap sumber daya yang ada, lahirlah ilmu ekonomi. Financial engineering pun berkembang agar uang dan harta berputar cepat. Manusia terus bertambah dan pengaturannya semakin rumit, maka lahirlah ilmu sosial, pengetahuan sosial engineering berkembang. Agar manusia bisa beradabtasi dengan perubahan sosial.


Apa artinya? tidak ada yang salah dalam mindset bisnis. Justru disitulah vitalitas manusia modern. Disitulah kekayaan dari sebuah kebudayaan yang terus berkembang secara rasional. Kalau pendidikan mengabaikan mindset bisnis maka pengetahuan hanya melahirkan buku dan diktat yang memenuhi perpustakaan seperti kejayaan Ilmu pengetahuan islam dan Yunani. Kemajuan peradaban tidak terjadi. Yang ada malah melahirkan paham feodal. Orang berilmu merasa lebih baik dari orang tidak punya ilmu formal. Kelas atau strata sosial terbentuk. Melahirkan penjajahan intelektual. 


UU Cipta Kerja, tak lain menempatkan sistem pendidikan sangat rasional. Ini bagian dari revolusi mental. Pemerintah pusat harus leading melakukan perubahan itu. Makanya sistem pendidikan adalah centralisir atau terpusat. Presiden sebagai penanggung jawab. Dasarnya adalah Peraturan Pemerintah (PP). Tidak lagi aturan pendidikan dibuat setingkat Menteri. Pendirian lembaga pendidikan sudah seperti badan usaha dan hak Pemda dilucuti dalam memberikan legitimasi Lembaga Pendidikan. Jadi tidak mungkin lagi ada adigum, ganti menteri, ganti gubernur, ganti peraturan. Yang justru menjadikan Pendidikan sebagai alat politik kekuasaan. Lihatlah betapa destruktif nya sistem pendidikan kita sebelumnya yang sangat mudah dicemari oleh paham radikal. Membuat siswa/mahasiswa lemah dalam berkompetisi. 


Kemudahan perizinan berusaha bagi Lembaga Pendidikan asing, seharusnya disikapi sebagai hal rasional. Jangan apriori dan paranoid takut bersaing. Kuatlah menghadapi kompetisi. Karena aturan itu juga berlaku bagi lembaga pendidikan lokal. Termasuk kewajiban penerapan pelajaran Agama dan kewarganegaraan bagi anak didik Indonesia juga berlaku bagi Lembaga Pendidkan asing yang ada di Indonesia. Di samping itu, adanya standar nasional penelitian dan standar pengabdian masyarakat pada jenjang pendidikan tinggi, itu akan mendorong peningkatkan kualitas riset dan kualitas pengabdian masyarakat. Artinya tidak perlu ada lagi riset yang hanya ngabisin anggaran tanpa bisa diaplikasikan dalam kehidupan nyata.


Dan Pasal 31 UUD 1945 hasil amandemen menyatakan bahwa pendidikan itu merupakan hak yang dimiliki oleh setiap warga dan negara wajib memenuhinya dalam kondisi apa pun. Pasal 32 UUD 45 ini jangan diartikan secara tekstual tetapi kontekstual. Sistem pendidikan harus melahirkan sikap egaliter , bahwa manusia diukur dari kinerjanya, bukan dari pendidikan formal berdasarka rating dan akreditas. Jadi tidak seharusnya ada pengotakan Pendidikan Negeri dan swasta/asing. Tidak ada lagi istilah sekolah / universitas pavorit atau tidak. Lihatlah betapa hebatnya Lembaga Pendidikan di Barat dan AS, toh mereka kalah telak dengan China yang dalam waktu singkat menjadi kekuatan ekonomi nomor 1 di dunia. Itu karena sistem pendidikan dengan mindset egaliter dan memastikan semua orang punya potensi peluang sama sebagai modal bagi kemajuan bangsa.


Mengapa ada penolakan terhadap Paragraf Pendidikan dalam UU Cipta kerja? menurut saya, karena mindset sebagian orang masih mengangap bahwa pendidikan itu adalah produk ekslusif.  Mereka berlindung dari argumen yang berpikir tertutup dan salah memaknai agama dan kebudayaan. Kita tertinggal dan mewabahnya korupsi karena adanya budaya feodal yang secara tidak langsung pemahaman agama yang salah ikut mendukung. Inilah yang harus diubah. 

Memahami ekonomi makro secara idiot

  Berita media massa soal kinerja pemerintah dan terkait utang selalu bias. Bukan pemerintah bohong. Tetapi pejabat  yang menyampaikan infor...