Minggu, 13 Oktober 2024

Megawati dan Prabowo...

 



Cornelius Castoriadisfilsuf, ekonom dan ahli psikoanalisa asal Yunani namun menghabiskan sebagian besar hidupnya di Prancis.. Ia mengatakan bahwa demokrasi adalah sebuah rezim yang tragis. Secara procedural system demokrasi itu ideal. Namun dalam proses pengambil keputusan politik selalu terkait dengan transaksional. Tarik menarik. Walau pendapat berbeda namun selagi pendapatan sama maka segala kemungkin bisa saja terjadi. 


Dari sejak tahun lalu Prabowo ingin bertemu dengan Megawati. Namun Mega menolak dan akhirnya Prabowo semakin dekat dengan Jokowi sehingga mengantarkannya sebagai pemenang Pilpres 2024. Kemudian keinginan bertemu itu datang lagi. Orang menduga macam macam. Sangatlah naif bila PDIP bergabung dengan koalisi Pemerintahan Prabowo. Tentu juga naif kalau Prabowo harus ngotot bertemu dengan Megawati.


Tetapi politik itu memang tragis. Hal yang procedural dan ideal, tidak ada dalam prakek politik. Kalau anda menggunakan logika apa yang nampak diatas panggung. Anda pasti akan tertipu. Di balik panggung.  Tidak bisa relawan Jokowi berhak atas share kekuasaan Pragib. Tidak bisa juga eksistensi Jokowi setelah mantan, bisa menentukan arah kebijakan Prabowo. Tidak juga pihak yang kalah harus jadi musuh atau oposisi. Tidak begitu. 


Bahkan walau Jokowi di panggung bersebarangan dengan PDIP, dan kader PDIP terdepak dari Kabinet, namun nyatanya menteri keuangan, PUPR dan Perhubungan adalah menteri yang diendorses oleh Megawati. Tetap dipertahankan oleh Jokowi. Pramono yang merupakan mata dan telinga Jokowi mengelola kabinet selama dua periode, dipertahankan sampai Pram mencalonkan sebagai Cagub DKI. Apa artinya? transaksional antara PDIP dan Jokowi itu tetap solid secara internal. Dan tentu PDIP akan jaga Jokowi sampai tanggal 20 oktober.


Prabowo tahu bahwa kekuasaan dalam system demokrasi pemegang saham sebenarnya adalah Partai. Kepada partailah dia bicara, dalam terang atau gelap. Dalam suara lantang atau bisik bisik. Kepada selain elite partai, itu hanya drama. Mengapa ? Bagaimanapun dia mewarisi keadaan polhukam yang rumit akibat keadaan keuangan negara yang rapuh. Itu tecermin dari cash out APBN untuk utang setiap tahunnya terus meningkat. Dan setiap tahun ruang fiscal semakin menyempit. 


Pertemuan antara Megawati dan Prabowo tak lain adalah pertemuan transaksional. Bukan sekedar makan nasi goreng. Karena sebelum ada pertemuan resmi, deal sudah terjadi antar elite Partai. PDIP komit akan menyerahkan 4 kadernya sebagai Menteri. Dan beberapa meteri yang akan di endorsed oleh PDIP. Itu collateral PDIP kepada Prabowo untuk mengamankan kebijakannya. Tentu kebijakan yang sesuai dengan idiologi PDIP.


Mengapa? Ya, kalau Prabowo hanya mengandalkan kepada Koalisi yang ada. Dia akan sangat tidak stabil. Golkar dikenal sebagai partai oportunis. Tak ubahnya dengan PAN, PKB dan Nasdem. Dia perlu PDIP dan PKS bersatu dalam kabinetnya. Kedua partai ini adalah partai idiologi yang pasti setuju dengan langkah berani Prabowo untuk memperkuat Lembaga demokrasi, dan selanjutnya negara harus lead dalam masalah sumber daya. Tidak lagi diserahkan kepada konglomerat. Agar keadilan distribusi ekonomi terjadi. Rasio GINI menyempit.


Yang pasti. Setelah tanggal 20 oktober. Tidak ada lagi polarisasi politik di tengah masyarakat. Karena PKS dan PDIP sudah satu perahu. Cebong dan kampret bersatu. Relawan silahkan kembali ke habitat awalnya. Pemilu usai. Jangan lagi berpolitik. Orang terdekat Jokowi atau Gibran jangan sedih kalau tidak terpilih sebagai Menteri atau wamen. Karena ukurannya kompetensi dan eksistensi partai. Selanjutnya adalah kerja keras dan bergandengan tangan erat dalam mengatasi outstanding yang diwariskan oleh Jokowi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Megawati dan Prabowo...

  Cornelius Castoriadis ,  filsuf, ekonom dan ahli psikoanalisa asal Yunani namun menghabiskan sebagian besar hidupnya di Prancis.. Ia menga...