Sabtu, 17 Juli 2021

Hoax lebih bahaya dari virus.

 





Saya tidak sependapat kalau media massa dibatasi memberitakan tentang COVID-19. Kata teman. Saya bisa terima. Alasannya bahwa  justru karena dibatasi itu semakin membuktikan hoax tentang COVID itu semakin positif. Saya tidak mau berdebat. Karena yang saya maksud adalah bagaimana informasi tentang COVID-19 itu tidak membentuk persepsi yang menakutkan, yang sehingga orang kehilangan self confidence terhadap potensi dirinya sebagai manusia. Ingat loh, manusia itu makhluk unik yang kekuatan sebenarnya bukan pada raganya tetapi jiwanya. Apa jadinya karena informasi yang belum pasti itu disebarkan sehingga membentuk persepsi ketakutan berlebihan. Jiwanya akan rapuh.


Bukankah berita yang disampaikan itu berdasarkan pendapat ahli dengan referensi yang jelas dibawah kendali WHO. Katanya. Saya tahu justru disitulah letak hoaxnya. Mengapa? COVID-19 itu adalah sesuatu yang baru yang secara sains masih belum ditemukan cara efektif menghindarinya. Semua pendapat ahli itu, masih sebatas opini yang tidak sepenuhnya benar. Terbukti mereka belum ada solusi efektif kecuali memasung kebebasan orang untuk mematuhi prokes. Padahal kita tahu, kebebasan itu esensi manusia. Kalau tidak ada lagi kebebasan maka manusia sudah sama dengan zombie. Makanya saya lebih suka memberikan informasi positip agar orang dalam ketidak-bebasannya masih punya hope. Mengapa? hidup tanpa hope itu buruk.


Tetapi saya tak hendak memaksakan tetang apa yang perlu disampaikan dan apa yang tidak perlu. Itu hak demokrasi. Dalam kehidupan modern, hoax terbesar adalah politik dan statistik. Pencipta Hoax justru adalah pemerintah. AS dan sekutu menyerang Irak karena hoax. Hoax juga lahir dari otoritas agama. Perang karena agama itu  juga berkat hoax politisasi agama. Mewabahnya Multilevel marketing berbasis ponzy,  mata uang  kritpto, produk index dan derivative pasar uang juga karena hoax. Dan hebatnya hoax itu selalu bermuara kepada bisnis.  Media massa berperan besar menyebarkan hoax itu. Hukum bisnis orang bego dimakan orang pintar.


Hidup di era sekarang. Apalagi di era digital dimana informasi terbang dan bergerak seperti kilat. Benar benar kalau kita tidak hati hati akan mudah sekali jadi korban predator. Apapun dalam hidup ini terbentuk karena persepsi. Salah benar itu karena persepsi. Setiap waktu persepsi kita terhadap sesuatu hal bisa berubah. Perubahan lebih disebabkan oleh informasi yang kita terima. Dari informasi itu otak kita menterjemah sebuah fenomena. Lambat laut fenomena itu jadi konsepsi dan persepsi baru pun terbentuk. Kalau kita tidak smart maka kita akan jadi korban atas persepsi yang di-create orang lain. Kita tidak lagi menjadi kapten atas jiwa kita. Rentan digilas zaman. Camkan itu.


***


Istri saya cerita. Ada keluarga dari istri, istri temannya kena COVID. Hasil test positip. Sebenarnya cukup Isoman. Tetapi suaminya selalu gelisah dengan keadaan istrinya. Dia paranoid akibat berita di sosial media dan media massa. Akhirnya karena sayang sama istrinya, dia paksa istrinya ke Rumah sakit dengan ambulance. Apa yang terjadi ? sampa RS, justru dia sendiri yang tumbang. Istrinya diusuruh pulang. Dia diopname. Lima hari dia meninggal. Istrinya sehat saja.  


Ada teman yang tidak percaya COVID. Dia tidak mau divaksin padahal dia ada komorbit Diabetes. Dua minggu lalu dia merasakan gejala COVID-19. Test hasilnya Positif. Tetapi karena sudah terlanjut tidak percaya COVID-19, dia tidak mau ke rumah sakit. Setelah parah barulah dilarikan ke RS. Hanya tiga hari lewat. Meninggal. 


Ada teman yang stress berat. Karena semua gejala COVID 19 ada. Dia lakukan test PCR. Hasilnya positif. Padahal dia sudah vaksin. Kesehatannya cepat sekali drop. Berita menakutkan tentang COVID itu menghantui dia terus. Namun saya terus memberikan semangat ke dia untuk sabar dan ikhlas. Apalagi dia tidak ada komorbt. Minta dia tenang dan istirahat di rumah dengan isolasi mandiri. Matikan semua berita TV tentang COVID. Ignore semua berita Covid di sosmed. lima hari sudah sembuh. Sekarang happy.


Apa yang saya ceritakan diatas adalah contoh sederhana. Bahwa baik yang percaya COVID dan yang tidak percaya COVID sama sama jadi korban Hoax. Yang percaya COVID setiap hari selalu mencari berita tentang covid. Setelah divaksin, ada  berita vaksin tidak efektif untuk varian  baru. Apalagi LBP bilang Varian Delta tidak bisa dikendalikan. Merekapun stress. Stress itu pasti menurunka imun dan membuat dia rentan dihajar virus. Yang tidak percaya, kena COVID karena lalai prokes. Padahal dia ada komorbit. Ketika sakit parah, tidak mau ke RS.  Ya mati juga.


***


Rujukan kita itu adalah WHO. Di awal pandemi, WHO menyatakan bahwa virus corona tidak menyebar di udara, namu belakang WHO merilis data bahwa virus corona bisa bertahan di udara atau yang disebut airborne. Karenanya WHO minta agar orang positip atau OTG ( asomtimatik) harus di karantina. Karena bisa menyebarkan virus kepada orang lain. Kita pun dipaksa harus pakai masker. Kawatir kalau ketemu orang OTG bisa menulari kita. Maklum OTG kata Pak Doni kemungkinan 70% di Indonesia. Jadi harus dikarantina. Pak Tirawan yang menolak masker jadi bahan ketawaan. Hoax. Kitapun menyiapkan Tempat Karantina di Wisma Altet dan membayar beberapa hotel yang bisa menjadi tempat karantina. 


Tetapi setelah kita semua siapkan dengan ongkos yang tidak kecil, WHO merevisi pernyataanya, bahwa OTG tidak menyebarkan virus.  Jikapun terjadi penyebaran, hal ini sangat langka. Penyebaran virus hanya melalui droplet orang yang sudah terinpeksi dengan gejala. Bingungkan. Lantas gimana dengan tempat karantina yang sudah dibangun? dan dibiayai oleh uang negara. Paksa orang pakai masker ? karena logikanya orang sudah bergejala sampai bisa keluarkan dorplet, udah pasti engga bisa jalan, dan engga ketemu orang dech. Setidaknya dia tidur di Rumah atau sudah di RS.


Tetapi orangpun terus aja mencari pembenaran bahwa OTG beresiko menebarkan virus. WHO salah. Bahkan Harvard Global Health Institute membantah pernyataan WHO. Termasuk lembaga riset lainnya. Yang tadinya percaya WHO dianggap sains. Pak Tirawan diketawain. Tetapi ketika belakangan WHO berubah sikap seperti apa kata Pak Tirawan, mereka yang tetap mendukung WHO dianggap hoax. Bingungkan. Media massa terus aja benturkan satu sama lain. Tambah bingung. 


Sekarang perhatikan. Setiap pernyataan WHO dan ahli selalu awalnya ilmiah tetapi ujungnya selalu “masih perlu diteliti kepastiannya”. Tapi judul berita sudah duluan menakutkan. Padahal isinya belum terkonfirmasi secara sains. Keadaan berubah ubah ini diakui pemerintah. Pak Mahfud mengakui kebijakan pemerintah dalam menangani Corona di Indonesia selalu berubah-ubah. Dia menyebut kebijakan mengikuti kondisi COVID-19 yang tidak bisa diprediksi. Dokter dan ahli juga menjawab sama. Lantas siapa yang paling benar? ya engga ada.


Jadi kesimpulannya apa yang dimaksud dengan HOAX. Kalau berita terus mengabarkan kematian dengan beragam drama korban, tanpa mau juga menceritakan orang yang sembuh. Maka walau berita itu fakta, tetap saja HOAX kalau nuansanya menyimpulkan VIRUS COVID-19 sangat berbahaya bagi semua orang. Karena terbukti dari 2,88 juta kasus COVID-19, yang meninggal 73.582 (data dua hari lalu). Itu hanya 2,6% saja. Percis sama yang dikatakan Jokowi ketika awal pandemi.   Yang aneh, Pemerintah tidak pernah anggap virus hoax ini berbahaya. Proses perang melawan pandemi itu lewat PSBB dan PPKM sangat hebat kekuatan pemerintah. Tetapi jadi useless oleh serangan hoax. Orang tidak patuh prokes PPKM itu karena ketidak jelasan terhadap COVID-19 ini. Tidak ada kepastian. Itu sebabnya di internal pemerintah sendiri tidak ada satu suara. Beda dengan kasus Flu burung era SBY. Semua satu suara.


Selagi pemerintah tidak ketat membatasi berita COVID, selama itu juga sulit kita memenangkan perang melawan COVID. Kita baru selesai, setelah uang negara habis, rakyat jatuh miskin semua,  chaos politik terjadi, dan Jokowi jatuh. Mau begitu ? Think  about it!

Kamis, 15 Juli 2021

Covid1-19 itu biasa saja.


 


Saya chating dengan teman dari China. Ada yang menarik nasehatnya berkaitan dengan COVID-19. Mungkin tanpa disadari kita bisa saja kena covid. Tetapi tidak ada gejala apapun. Keadaan itu dalam 14 hari berlangsung, dan kesehatan kita tidak memburuk. Itu artinya kita sudah kebal secara alami. Atau bisa saja kita kena COVID-19 berdasarkan hasil test. Yang kita rasakan gejala ringan.  Gejala ringan itu bisa saja kita batuk dan bersin seperti kena flue. Suhu tubuh panas tetapi bisa turun oleh obat penurun panas. Penciuman dan perasa hilang. Walau memang tidak membuat kita nyaman. Sendi nyeri, kepala sakit. Tidak usah panik.  Tidak usah ke Rumah Sakit. Cukup isolasi mandiri. Istirahat yang cukup. Makan yang bergizi. Makan suplement vitamin C, E, D. Tahan aja selama 10-14 hari itu akan berlalu begitu saja. Kita akan kebal secara alami.

Nah kalau sampai napas sesak, dada nyeri, demam tinggi dan panas tidak bisa turun walau sudah dikasih obat penurun panas, rasa mengantuk yang ekstrem dan sulit terbangun, batuk keluar darah, sebaiknya segera ke Rumah sakit. Umumnya yang sampai fatal dampak dari virus COVID-19 ini orang yang memang punya penyakit bawaan dan kondisi tubuhnya memang rentan akibat diabetes, TB, Asma, autoimun. Selagi tidak ada penyakit bawaan dan yang sedang dihidap ya aman saja. Virus itu 98% tidak akan mematikan. Sama saja dengan flue. Antibodi turun ya dia masuk. Mau menghindar gimanapun tetap aja kena. Hanya masalah waktu setiap orang pasti kena. 


Di China database kesehatan setiap orang sudah terhubung dengan IT lewat eKTP. Jadi ketika orang datang ke RS, langsung tahu riwayat kesehatan orang. Kalau rekam medis tidak ada penyakit bawaan, orang itu ditolak di rawat di RS. Harus isoman atas biaya negara, termasuk obat dan makan. Pengawasan bagi isoman oleh petugas dilakukan secara online lewat smartphone. Selama Isoman tidak boleh hape mati. Sehingga pergerakan pasien isoman bisa dideteksi. Di China ada jutaan CCTV di semua kota. Jadi orang engga bisa boong. Melanggar isoman ya penjara. Tetapi kalau rekam medisnya memang ada penyakit bawaan, maka dirawat di rumah sakitpun tidak semua ditanggung negara. Hanya 30% ditanggung BPJS, sisanya ditanggung pasien. Mengapa? karena memang orang itu sakit tidak sepenuhnya karena covid tetapi ada penyakit lain. Kenapa harus ditanggung semua.?

Saya tidak begitu paham ketika teman tanya bagaimana sistem rujukan di Indonesia orang bisa masuk Rumah Sakit untuk dirawat. “ Kalau semua orang hasil test positip dan ada keluhan langsung ke Rumah sakit, ya bisa jebol rumah sakit. Engga cukup berapapun bed tersedia.” Katanya. Memang logikanya sistem rujukan di puskesmas itu punya standar siapa yang bisa dikirim ke RS dan siapa yang tidak perlu. Walau sudah dirujukpun namun RS tetap bisa menolak kalau memang standarnya tidak memenuhi untuk di rawat. 


Bagaimana dengan vaksin? tanya saya. Di China, orang yang tidak imun covid 19 dilarang masuk ketempat publik dan bepergian.   Pengewasan orang lewat sistem administrasi kependudukan yang terhubung denga IT. Tapi tidak semua imun itu harus dibuktikan degan vaksin. Kalau orang itu sudah pernah kena Covid dan sembuh, tidak ada keharusan vaksin.  Tentu selagi ada bukti pernah test positif dan sembuh dengan bukti test negatif. Namun di China orang lebih suka vaksin mandiri karena lebih cepat dan bisa memilih mereknya. Harga vaksin juga murah dan bisa dilakukan dimana saja. Bahkan di stasiun da pom bensin tersedia klinik vaksin.


Yang jelas bahwa lockdown yang pernah dilakukan di Wuhan adalah kebijakan yang paling disesali pemerintah China, termasuk social distancing secara ketat. Itu selain paradox juga tidak sehat secara kejiwaan. Sementara imunitas orang meningkat ditentukan oleh jiwa yang tanpa tekanan. Apa itu tanpa tekanan?  ya orang bebas, bebas dari rasa takut dan bisa bekerja untuk menghidupi dirinya. Demikian menurut


Sabtu, 10 Juli 2021

Jadilah diri sendiri.

 






Ada teman. Dia sangat piawai main piano. Ternyata dia lulusan akademi musik. Pantas saja bukan hanya jago main piano tetapi juga wawasan musik juga hebat. “  Piano itu bisa dipelajari. Tetapi kehebatan seseorang berpiano terletak kepada improvisasinya. Improvisasi itu karena pikiran kita bebas dan terukur. Ya seimbang“ Katanya. Tetapi hobi main piano itu tidak dia gunakan untuk cari uang. Dia justru terjun ke dalam bisnis portfolio private equity. Tetapi justru talenta piano itu membuat dia keliatan  cerdas mengelola portfolio. 


Ada teman jago melukis. Itu kebiasaan dia sejak kecil yang memang doyan melukis. Tetapi dia tidak cari uang dari melukis tap bisnis property. Apa katanya “ justru karena wawasan melukis itu saya percaya tidak ada rencana pembangunan property yang salah.  Dalam melukis tidak ada toresan kuas yang salah. Yang salah itu bila kita tidak focus dan berhenti. Selagi kita terus bergerak. Apapun itu pasti akan berhasil walau tidak semua harus sesuai dengan design awal. Orang bijak berkata “ Seni adalah ketidak sempurnaan yang memungkinkan kita menyadari tentang kebenaran”


Setiap kita terlahir adalah seniman. Hanya saja perkembangan kita tidak menjamin  kita tetap berjiwa seni. Mengapa ? karena pengaruh dogma yang disampaikan lewat pendidikan dan propaganda dalam berbagai bentuk yang sehingga kita kehilangan jiwa seni. Kehilangan kebebasan berkreasi menggunakan kecerdasan kita sebagai manusia. Jangan kaget kalau  kebebasan bekreasi hilang maka kita juga kehilangan akal sehat. Hidup kita di create orang lain. Secara kolektif kita terjebak dalam komunis zombil. Komunita tanpa jiwa bebas.


Tanpa disadari anda merasa tidak nyaman kalau ke masjid engga pakai baju gamis. Atau tidak yakin aman kalau tidak pakai jilbab. Tidak merasa pede kalau berbisnis dengan aksesoris personal yang tidak branded. Dan yang lebih bahaya adalah kita stuck karena roadblock yng sudah terbentuk akibat pemikiran orang lain. Dan kita bagian dari korban sebuah komunitas yang terprogram. Padahal manusia itu sudah diprogram oleh Tuhan sebagai mahkluk freewill. Agar kita tidak follow siapapun  kecuali Tuhan. Agar kita menjadi diri kita sendiri seperti programnya Tuhan.


Ketika saya memberikan otoritas kepada James saya berkata “ Jangan berjalan di belakang saya karena saya bukan penentu pikiranmu. Jalanlah disamping saya, sebagai sahabat saya. “ Itu juga saya katakan kepada anak anak dan istri. Mengapa? dengan kebebasan itulah mereka menjadi manusia seutuhnya dan bisa gagah menjemput takdirnya tanpa sesal. Orang yang berkeluh kesah dan menyesal, itu karena hidupnya follow orang lain. Memang menyedihkan seperti Zombie. Be who you are and say what you feel, because those who mind don't matter, and those who matter don't mind.”

Senin, 05 Juli 2021

Perubahan.

 




Saya tidak suka memuji orang tapi saya suka belajar dari orang lain. Kalau tidak bisa belajar langsung, ya saya amati langkahnya.  Waktu Jokowi terpilih sebagai Gubernur DKI, saya sempat ngobrol dengan teman yang kebetulan sedang mengurus funding untuk proyek monorail. Menurutnya ‘ Gila ya Jokowi. Berani amat dia eksekusi soft loan dari Jepang untuk proyek MRT. Padahal dari studi itu proyek tidak layak. Mana  ada  gubernur berani eksekusi. Kecuali dia.” Saya tersenyum saja. Namun karena itu saya pantau gerak Jokowi. 


Dari teman di Menkeu saya tahu Jokowi berani ambil sebagian resiko pinjaman MRT  itu lewat APBD multi year. Artinya sebagian angsuran hutang itu berasal dari PAD DKI secara multiyear. Karena itu proyek menjadi layak. Pagu resiko APBN menjadi layak karena sebagian ditanggung DKI. Apakah Jokowi nekat? tidak juga. Itu ada hitungannya. Hasil riset membuktikan pemborosan BBM akibat kemacetan jakarta Rp 60 triliun setahun. Sementara proyek MRT  tiga fase itu anggarannya Rp 50 triliun. Jadi andai secara ekonomi tidak layak namun secara makro itu menguntungkan. Untuk meminimize resiko proyek dikerjakan beberapa phase. Tidak sekaligus.


Apa yang terjadi kemudian? Justru ramalan pendapatan rendah  pada studi proyek tidak terbukti. Tingkat pendapatan tahun pertama MRT diatas target komersial. Artinya untuk phase kedua dan seterusnya tidak lagi sulit dapatkan uang. Proyek yang tadinya tidak mungkin dikerjakan, bisa dikerjakan. Dan itu dibuktikan dengan keberanian Jokowi mendobrak mindset kerja dari gubernur sebelumnya. 


Ketika Jokowi jadi presiden. Anda bisa lihat cara Jokowi memimpin. Kalau dia mengikuti cara SBY atau presiden sebelumnya memimpin dengan cara standar normatif, tidak mungkin Jokowi bisa melipat gandakan PDB dan Kapasitas nasional atau aset negara. Dia mengubah paradigma APBN yang tadinya kaku, dia ubah menjadi go to market. Tadinya paradigma APBN adalah “money follows the function, diubahnya menjadi money follow program. Uang Mengikuti Prioritas, Bukan Struktur Organisasi.  


Dengan perubahan itulah dia bisa memperbesar “ pembiayaan anggaran” dan memperlebar ruang fiskal agar semakin besar terbentuknya modal bruto negara. Itu karena APBN pruden dan kredibel sehingga tidak sulit dapatkan sumber daya keuangan, baik secara PINA maupun budgeter. Semua sektor bergerak serentak atas dasar kinerja. Bukan lagi money follow the function tetapi money follow program. Artinya apapun program kerja, selagi meningkatkan modal bruto negara dalam bentuk infrastruktur ya lakukan. Uang? cari sendiri. 


Yang bisa membaca dan mengikuti cara berpikir Jokowi adalah Ahok. Itu benar benar cara  berpikir jokowi di copy paste dan dilaksanakan secara radikal. Kalau Jokowi masih ada mikir, tetapi Ahok engga mikir. “ Selagi rakyat diuntungkan, apapun saya lakukan.” kata Ahok. Walau karena itu dia harus perang dengan DPRD. Dia engga peduli. Bahkan karena berbeda pendapat, dia keluar dari Gerindra partai yang mengusungnya berpasangan dengan Jokowi waktu Pilgub DKI. 


Tidak ada kemajuan tanpa perubahan. Tidak ada perubahan tanpa tantangan. Tidak ada sukses tanpa tantangan. Semua perlu keberanian dan niat baik untuk berubah. Karena itulah perbadaban bergerak ke depan. Itulah yang kurang dimiliki oleh Anies dalam memimpin Jakarta, dan entah gimana kalau dia jadi RI-1.  Semoga Anies juga mau berubah mengikuti langkah dan cara Jokowi.

Inflasi momok menakutkan

  Dalam satu diskusi terbatas yang diadakan oleh Lembaga riset geostrategis, saya menyimak dengan sungguh sungguh. Mengapa ? karena saya tid...