Sabtu, 17 April 2021

Hak perempuan

 




Pernah ada kasus seorang ART di Arab Saudi kena hukuman mati karena mendorong putra dari tuan rumahnya jatuh dari balkon. Penyebabnya adalah ART itu tidak mau berhubungan badan dengan putra tuannya. Karena dia juga jadi lampiasan nafsu dari tuannya. Di pengadilan. Hakim tidak melihat kronologi peristiwa dan penyebab mengapa ART itu sampai mendorong korban dari Balkon. ART itu akhirnya di hukum mati. Banya kasus para ART digauli oleh juraganya dan pulang bawa anak. Tidak ada kasus perzinahan. Semua menjadi permissive. Mengapa?


Paham salafi wahabi memang membenarkankan menggauli hambasahaya mereka. ART itu dianggap budak. Barang milik. Jadi dalam agama itu tidak larang. Ada dalil Halal menggauli budak. Sebelumnya dinasti islam seperti Usmaniah, Abassiah, Turki Usmani, para Sultan dan bangsawan islam mempunya budak yang menjadi selir untuk melayani nafsunya. Itu tidak satu wanita. Bisa banyak. Bukan hanya dinasti islam, di China, Mongolia, Eropa, bahkan era kolonial Belanda, banyak ART merangkap selir, yang disebut Nyai. 


Namun di Eropa, China dan negara lain standar norma tentang wanita itu dibangun diatas prinsip HAM, sebagaimana deklarasi HAM PBB tahun 1946. Jadi sudah ada transformasi menuju semangat kesetaraan gender. Wanita sudah dihormati secara pantas. Tapi di negara islam seperti Iran, masih ada sistem nikah mut’ah. Arab Saudi dan lainnya di timur tengah masih menerapkan standar norma berdasarkan dalil agama.  Namun baik karena HAM maupun dalil agama, sudah ada perubahan mendasar dari sekedar budak menjadi atas dasar suka sama suka. Itu berlaku di semua negara.  Saat itulah sistem kapitalis terjadi. Ada deal disana.  Ada SOP lengkap dengan term of reference yang memastikan wanita tidak dipaksa dan pria tidak merasa bersalah. 


Lantas apa substansi dari hubungan pria dan wanita itu. Dari dulu sebenarnya semua agama dan kebudayaan yang dihindari adalah  pemaksaan dan gonta ganti pasangan. Itu memang berbahaya dalam membangun peradaban. Makanya perlu ada budaya dan standar moral baru dalam bentuk  lembaga Rumah tanggga dengan seperangkat aturan akan hak dan kewajiban.  Artinya walau sudah ada rumah tangga, sudah sah berdasarkan UU sebuah perkawinan, hak dan kewajiban wanita dan pria pada prinsipnya adalah equal. Sama sama dilindungi oleh hukum. 


Tapi di Indonesia, RUU Keadilan dan Kesetaraan Gender sejak tahun 2013 diajukan, sampai sekarang gagal masuk prolegnas. Sepertinya kita adalah bangsa yang hipokrit. Merasa paling religius tapi belum bisa menempatkan wanita secara terhormat. Yang menyedihkan justru yang paling keras menolak adalah ormas islam dan MUI. Karena itu wajar saja kawin kontrak di Puncak oleh turis arab terus berlangsung. Sebenarnya, kawin kontrak atau kawin resmi, selagi RUU Keadilan dan Kesetaraan Gender tidak disahkan, nasip perempuan sama saja. Pemuas sek alias second class alias kesek kaki. Jahat memang.

Selasa, 06 April 2021

Islam : Ranah privat dan politik

 





Waktu Kekhalifah Islam di Turki yang kekuasaanya membentang dari Barat ke Timur selama 6 abad. Waktu zaman Kekhalifahan Abassiah juga sama. Apalagi era khalifah 4 sahabat Nabi. Tidak ada korupsi dan pelacuran. “ Demikian kata Yuni waktu dalam perjalan pulang. Saya tersenyum. Inilah korban dari WAG. Kisah lama dengan standar lama yang dijadikan patokan untuk menilai masa kini.


“ Ya jelas saja tidak ada korupsi. Karena zaman itu, seluruh sumber daya milik penguasa atau kekhalifahan. Sistem kerajaan tidak ada hak rakyat. Apapun yang dilakukan Sultan dan pejabatnya tidak dianggap korupsi oleh rakyat. Kalau sampai raja menghukum pejabat, itu bukan karena korupsi tetapi karena mereka berkhianat. Bisa saja itu faktor mereka mencuri uang pajak untuk Raja. Istilah korupsi itu baru ada setelah paham kebangsaan diterapkan dan hukum publik menjadi sistem kekuasaan.” kata saya.


“ Kalau pelacuran?


“ Zaman era kekuasaan para sultan atau raja. Wanita itu barang dagangan yang bisa diperjual belikan. Itu budayanya. Para wanita adalah aksesoris para kesatria dan bangsawan termasuk Raja.  Kamu tahu, para Sultan dari dinasti Turki Usmani, mereka punya istana khusus para selir untuk sultan pesta Sex. Begitu juga era Abassiah. Para bangsawan boleh meniduri pembantu rumah tangganya. Itu permissive sekali. Para ulama yang berada di ring 1 satu kekuasaan Sultan mengendorse itu. “


“ Jadi setiap zaman punya standar berbeda soal moral. Engga bisa menjustifikasi situasi sekarang dengan standar lama. Beda sistem dan beda zaman.” 


“.Kitab al-Tabaqãt al-Kubrã karya sejarah Ibnu Sa’ad, menyebutkan tatkala Usman terbunuh, dalam brankasnya terdapat 30.500.000 dirham dan 100.000 dinar. Itu sahabat Nabi loh. Salah? Ya engga. Karena era kekhalifahan sama juga dengan sistem dinasti. Sumber daya memang milik Khalifah. Tapi cobalah kalau sistem khalifah berdasarkan hukum demokrasi. Nah itu bisa dikatakan korupsi.”


“ Oh paham. Makanya pengusung khilafah menolak sistem demokrasi dan paham kebangsaan. Itu agar mereka bisa bebas berkuasa dan menguasai sumber daya tanpa ada hak rakyat mempertanyakanya.”


“ Ya logika sederhananya begitu.”


“ Bego dong yang percaya.”


“ Memang sistem khilafah itu hanya untuk orang bego dan hidup dalam dimensi ilusi dari kaum delusi. Orang cerdas berakal dan hidup dalam arus perubahan era kini dan masa depan, engga akan percaya.”


“ Jadi islam dulu dan sekarang berbeda?


“ Sejatinya tidak ada beda.  Keliatan berbeda itu hanya ada dalam dimensi politik. Dalam dimensi privat, tidak ada beda dengan awal islam diperkenalkan oleh Nabi. Pada awal Nabi memperkenalkan islam tidak ada politik. Islam dipandang sebagai 'comprehensive commitment' dan 'driving integrating motive', yang mengatur seluruh hidup seseorang secara kejiwaan. Artinya, Agama diterima sebagai faktor pemadu, menunjang kesehatan jiwa dan kedamaian masyarakat.”


“ Tapi kalau masuk dalam dimensi politik, gimana?


“ Agama sebagai something to use but not to live. Outputnya adalah  kebencian, iri hati, dan fitnah, munafik, anti perbedaan. “


“Mengapa? 


“ Orang berpaling kepada Tuhan, tetapi tidak berpaling dari dirinya sendiri. Agama digunakan untuk menunjang motif-motif lain, kebutuhan akan status, rasa aman atau harga diri, tentu itu perlu uang. Narasi agama digunakan sebagai sumber mendatangkan donasi dan dukungan politik agar bisa kaya mudah dan berkuasa.”


“ Apa salah itu. “


“ ya jelas salah. Mereka melaksanakan bentuk-bentuk luar dari agama. Mereka puasa, Sholat, naik haji dsb, tetapi tidak di dalamnya. Imam Al-Ghazali, menyatakan bahwa beragama seperti ini adalah beragama yang ghurur (tertipu). Tertipu, karena dikira sudah beragama, ternyata belum. Tidak akan melahirkan masyarakat yang penuh kasih sayang. Paham ya.”


***

Mungkinkah islam sebagai kekuatan politik eksis di negeri ini? Kata teman. Saya tersenyum.  Untuk negara kecil bisa saja. Tapi untuk populasi sebesar China, India, Indonesia, Rusia, rasanya tidak mungkin islam jadi kekuatan politik. Mengapa? Karena terlalu banyak golongan dalam islam. Antara golongan tidak pernah bisa duduk bersama saling memahami. Diantara golongan ada yang berbentuk organisasi maupun yang bukan organisasi, yaitu : Nahdatul Ulama, Muhammadiyah, Hizbut Tahrir, Jemaah Tabligh, Wahabi, Tarbiyah.


Di akar rumput Tarbiyah jelas tidak sejalan dengan HTI. Namun Tarbiyah bisa sejalan dengan NU dan Muhammadiah. NU sendiri tidak mungkin bisa menerima Wahabi dan HTI. Antara Muhammadiyah dan NU dalam beberapa hal mereka berbeda. Misal, Muhammadiyah menerima Wahabi. Sulit bagi NU dan Muhammadiyah untuk seiring sejalan dalam prinsip. Walau setiap golongan itu secara resmi tidak menjalankan politik namun individunya punya ambisi politik. 


Nah mereka dari masing masing golongan islam itu masuk ke dalam partai Politik seperti PKS, PAN, PPP, PKB dan PBB. Sudah pasti tercipta faksi di dalam partai itu. Makanya sulit partai berbasis agama bisa solid. Itu baru satu partai. Gimana kalau mereka koalisi.? Tambah ruwet lagi. 


Engga percaya?. 


Lihatlah contoh poros tengah yang merupakan koalisi partai islam terbentuk 1999. Mereka bersatu ketika menjatuhkan Megawati dalam pemilihan presiden di DPR/MPR. Tetapi setelah menang, PAN yang didukung Muhammadiah bersama lainnya justru ikut menjatuhkan Gus Dur yang dari NU. Di Mesir juga sama.  IM dan HT bersatu menjatuhkan Hosni Mubarak. Tetapi setelah menang. HT bersama lainnya menjatuhkan Muhammad Mursi yang IM. Di Libia juga sama. Waktu menjatuhkan Muammar Gaddafi, semua bersatu. Setelah Gaddafi jatuh, antar mereka saling berperang.


Bayangkanlah. Bagaimana mereka mau memimpin bangsa plural ini? Menjaga persatuan sesama golongan islam saja mereka tidak bisa. Tidak bisa itu bukan karena faktor suka tidak suka yang bisa didamaikan. Tetapi soal aqidah. Jadi prinsip sekali. Masing masing merasa paling benar sebagai wakil dari Rasul dan Allah. Entahlah mengapa begitu?. 


Lantas apa agenda mereka mendirikan partai dan ormas? Untuk apa? kalau mereka sendiri saja sadar engga mungkin bisa berkuasa? Ya bisnis.   Setidaknya menjelang pemilu, bisa jualan suara koalisi. Makin gede persentase suaranya di DPR semakin gede cuan dapat dari partai nasionalis yang mau calonkan Presiden. Ormas juga akan kecipratan uang dan konsesi politik kalau ikut mendukung capres dan menang. Di dunia ini tidak ada yang lebih penting daripada bisnis. Mikir!

Inflasi momok menakutkan

  Dalam satu diskusi terbatas yang diadakan oleh Lembaga riset geostrategis, saya menyimak dengan sungguh sungguh. Mengapa ? karena saya tid...