Jumat, 28 Maret 2025

Mungkinkah Rupiah terjun bebas ?

 




Sejak tahun 2022 Volatilitas Rupiah semakin mengkawatirkan. Mengapa? Padahal ekspor mineral tambang kita sangat besar, terutama Nikel dan batubara. Seharusnya itu lebih dari cukup memperkuat Cadev dan menstabilkan rupiah. Yang jadi masalah adalah walau DHE kita sangat besar. Namun karena alasan skema FDI, sebagian besar DHE tidak kembali ke Indonesai.  Maklum industry ekstraksi memang bertumpu kepada skema counter trade offset.


Untuk menjaga stabilitas kurs rupiah, BI terpaksa mengisi Cadev lewat operasi moneter kontraksi. Namanya RR SBN atau Reverse Repo Surat Berharga Negara. Namun dinilai tidak efektif menjaga stabilitas rupiah. Karena tidak marketable. Makanya pada tanggal 15 september 2023, BI meluncurkan outstanding Instrument bernama SRBI ( Sertifikat Rupiah Bank Indonesia.). SRBI ini sifatnya marketable, high quality liquid asset (HQLA). Tentu diminati oleh investor. Maklum BI kan otoritas issuer IDR. 


Skema SRBI ini sederhana saja. BI membeli SBN dari pasar sekunder maupun pasar perdana. Kemudian, SBN itu di-struktur menjadi SRBI. Jadi sebenarnya SRBI tak lain sama dengan sekuritisasi SBN. Ya semacam product derivative investasi portfolio. Market nya adalah Bank Umum lewat lelang terbuka konvensional dan bisa dipindah tangankan serta ditransaksikan di pasar sekunder. 


Sebenarnya dengan adanya SRBI, BI bisa lead di market untuk menjaga stabilitas rupiah. Namun tetap saja kedodoran? Ya karena utang luar negeri yang disedot pemerintah, BI, BUMN dan Swasta terus meningkat. Kita bisa lihat data PII Indonesia kwartal 4 2024, posisi KFLN ( Kewajiban Financial Luar negeri ) sebesar US$768,1 miliar. Sementara posisi AFLN ( asset financial luar negeri termasuk Cadev)  sebesar US$522,8 miliar. Jadi necara PII negative sebesar US$245,3 miliar.


Kalau berdasarkan neraca PII Indonesia yang terus negative. Band nya lebar banget, yaitu hampir dua kali dari Cadev kita. Secara fundamental IDR memang rapuh. Engga percaya? tuh lihat, walau setiap pelemahan Rupiah,  BI terus  lakukan intervensi lewat lelang terbuka SRBI di market. Namun tidak pernah efektif menstabilkan rupiah. Ya karena itu sama saja memperlebar negative PII kita. Gimana mau stabil, lah IDR dijamin valas dari utang.


Belum lagi, di pasar sekunder, SRBI itu diserap asing dan ditempatkan di bank custody Melon Bank NY, untuk dileverege lewat berbagai mata uang. Jadi walau SRBI itu Rupiah, namun ia  multiple currency. Artinya, setiap SRBI diterbitkan, itu sama saja dengan BI menambah utang luar negeri. Sementara penerimaan DHE tidak significant memperkecil Posisi Netto KFLN.  Bagaimana masa depan Rupiah? Dengan kebijakan proteksionisme Presiden Donald Trump. Akan sangat sulit bunga akan turun. Bahkan cenderung naik. Mengapa? 


Relaksasi pajak Trump akan meningkatkan defisit anggaran AS dan memaksa the fed menambah utang. Tentu bunga akan terkerek naik guna menyerap uang dari pasar.  Sementara tahun ini SRBI jatuh tempo pada Mei, Juni, dan Juli masing-masing diperkirakan sebesar Rp 113,1 triliun, Rp 121,7 triliun, dan Rp 126,7 triliun.  Artinya kalau Fed-rate naik, ya BI harus naikan BI-Rate. Kalau engga, engga ada investor mau beli SRBI, Terus gimana bayar SRBI yang jatuh tempo. Goes to the corner kan...mau engga mau BI rate harus naik.


Nah masalahnya spread BI-Rate dengan Fed-Rate terus melebar. Mengapa?  setiap pelemahan rupiah otomatis resiko meningkat dan yield juga akan meningkat. Costly memang.  Dampaknya terhadap sector real. Parhatikan. Walau   BI-Rate pada level 5,75%. Namun itu tidak ada kaitannya dengan suku bunga pinjaman Bank. Suku bunga bank dipengaruhi oleh likuiditas. Sementara likuiditas diserap oleh SBN dan SRBI. Jadi, bunga bank tetap akan tinggi. Ini akan mempersulit perbankan untuk ekspansi kredit meningkatkan lapangan kerja.


Inilah problem utama mengapa rupiah akan cenderung terus melemah. Jadi, pelemahan rupiah bukan karena issue distrust kepada pemerintah. Tidak ada pemerintah yang sempurna. Juga tidak ada pasar yang sempurna. Namun market mengkororeksi dan itu memang kerjaan pengelola Hedge fund, yang selalu mempencundangi pemerintah yang lemah. Mau gimana lagi? Masalahnya, IDR memang rapuh.  Memang tidak lagi sederhana masalahnya.  Ini sudah masalah struktural. Penyelesaiannya harus holistik. Engga bisa partial


Apa solusinya? 


Pertama. Yaitu meningkatkan FDI yang sehingga bisa meningkatkan DHE memperkuat Cadev.  Caranya? Perizinan investasi PMA terutama SDA harus atas dasar lelang investor. Syarat utama adalah melarang skema counter trade offset. Itu berlaku bagi asing maupun local. Artinya yang boleh berinvestasi PMA haruslah real investor yang punya financial capability. Negara maju seperti China, dan AS melakukan seperti itu. Jadi, jangan lagi ada konsesi IUP dibagi bagikan kepada pihak yang engga jelas, yang ujungnya hanya broker, yang jarah kredit bank BUMN.


Kedua. Pemerintah harus membentuk team restruktur utang luar negeri, seperti Malaysia lakukan dalam kasus 1MD. Misal, proyek Kereta Cepat, itu cash out valas setiap tahunnya untuk bayar bunga mencapai USD 260 juta. Kembalikan aja itu proyek ke China. Biarkan China yang Kelola. Kan bisa hemat valas. Begitu juga dengan proyek PLN dan Pertamina yang bersumber dari utang luar negeri. Serahkan aja ke investor asing semua. Itu bisa hemat miliaran usd. 


Ketiga. Data februari 2025, porsi ULN Pemerintah disalurkan pada Sektor Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial, selanjutnya sebanyak 17,8% untuk Administrasi Pemerintah, Pertahanan, dan Jaminan Sosial Wajib. Adapun untuk sektor Jasa Pendidikan porsi ULN Pemerintah sebesar 16,6%, kemudian sektor Konstruksi sebesar 12,1%, serta Jasa Keuangan dan Asuransi sebanyak 8,2% dari ULN Pemerintah. Skema belanja seperti itu hapus aja. Itu moral hazard ngabisin valas. Ganti dengan skema SBN rupiah. Artinya yang local konten rendah, engga usah dulu belanja.


Demikian solusi dari saya. Mekanisme operasi pasar uang BI sudah benar. Tidak perlu diubah. Karena tugas BI memang menjaga stabilitas Rupiah berdasarkan kaedah international. Yang harus diubah adalah mindset pemerintah untuk focus menjaga IDR atas dasar fiscal policy, yang berorientasi kepada creating job lewat peningkatan FDI dan mengurangi ketergantungan belaja valas. Otherwise, jangan kaget bila Rupiah akan jatuh seperti Lira di Turki atau Venezuela


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Engga usah lebay, indonesia hebat,

  Lembaga rating seperti Moody's Investor Service , S&P dan Fitch punya akses kepada data fundamental negara atau korporat. Negara a...