Rabu, 16 Oktober 2019

Resesi Ekonomi

Separah apa yang akan terjadi bila krisis ekonomi melanda  Indonesia.? Mengapa krisis ekonomi itu sampai terjadi?. Mengapa tadinya ekonomi dunia aman aman saja tahu tahu akan datang krisis, bahkan resesi., Eropa , AS yang dikenal sebagai negara maju, kini sedang masuk putaran resesi. Di Asia tanda tanda resesi sudah nampak di Singapore, Hong Kong, Korea, Turki. Mengapa? demikian pertanyaan yang ditujukan oleh nitizen ke saya lewat inbox. Saya bingung menjelaskannya secara keilmuan. Karena saya bukan akademisi. Saya bukan dosen. Tapi saya akan berusaha menjawa melalui pendekatan praktis aja.

Mungkin yang kini sedang anda rasakan adalah biaya kebutuhan semakin besar sementara pendapatan tetap. Atau anda merasakan begitu sulitnya mendapatkan uang tetapi ketika membelanjakannya cepat sekali habis. Atau uang selalu ada tetapi hanya sekedar mampir saja. Habis tanpa terasa. Anehnya walau begitu, anda baik baik saja. Mengapa? Tanpa disadari selalu ada solusi disaat anda kekurangan uang untuk konsumsi. Kredit kendaraan sekarang mudah sekali. Kredit rumah juga engga berbelit. Bahkan banyak barang konsumsi yang dapat dihutang melalui credit card dengan bunga nol persen.Untuk dapatkan credit card juga mudah. Selagi cash flow anda lancar, semua baik baik saja.

Namun pada akhirnya solusi itu bukanlah menyelasaikan masalah. Itu hanya menunda masalah. Penyelesaian masalah hanya apabila pendapatan real anda meningkat. Kalau pegawai , gaji naik. Kalau pengusaha , laba meningkat. Atau anda memangkas pengeluaran agar pendapatan yang ada bisa meng cover nya. Namun tentu memangkas kebutuhan hidup engga mudah. Nah, lantas apa jadinya bila cash flow anda tidak lagi bisa menutupi biaya tetap dan biaya variable.  Karena perusahaan tempat anda kerja terpaksa mengurangi pegawai sebagai kibat omzet menurun. Apa jadinya bila sebagai pengusaha , jalan berhutang sudah sulit karena rasio neraca sudah mentok. Itulah gejala krisis ekonomi.

Sekarang pertanyaan berikutnya adalah mengapa sampai omzet perusahaan menurun sehingga terpaksa PHK? Karena selama ini peningkatan produksi dipicu bukan oleh permintaan real. Tetapi karena adanya kelonggaran berhutang, yang sehingga orang terus belanja.  Pada titik dimana daya berhutang sudah meredub, maka tidak ada lagi demand terhadap produksi barang dan jasa. Akibatnya banyak stok ( inventori ) menumpuk di pabrik, di agent, di distributor. Terjadilah over supply dimana mana. Bukan hanya di sektor pabrikan tetapi juga sektor jasa termasuk sektor financial. Nah itu terjadi bukan saja di Indonesia tetapi di seluruh dunia. Sampai disini anda bisa memahami apa itu krisis.

Mengapa sampai hal tersebut diatas bisa terjadi ? itu karena kebijakan negara. Loh kok negara tega sampai menjebak ekonomi jadi lumpuh? Bukan menjebak. Itu terjadi by process. Namun proses nya secara slow motion. Biang persoalan adalah karena laju pertumbuhan penduduk terus meningkat. Kebutuhan sosial negara semakin besar. Sementara sumber pendapatan hanya dari pajak dan bea. Siapa yang bisa bayar pajak ?Ya mereka yang mampu berproduksi. Agar bisa produksi pemerintah perlu mendorong produktifitas lewat kebijakan fiskal dan moneter, yang salah satunya adalah memberikan kanal berhutang. 

Namun instrumen berhutang ini justru memicu motive mencari laba setinggi mungkin, dengan meningkatkan kapasitas produksi diatas wajar. Belum lagi dipicu oleh motive berkompetisi. Maka lengkaplah hutang bukannya melahirkan keseimbangan demand and supply, malah justru menciptakan ketidak seimbangan ekonomi ( imbalance economy). Kalau sudah begini situasinya, krisis berubah menjadi resesi ekonomi.  Karena sudah menyangkut masalah struktural ekonomi. Apakah ini mengkawatirkan? ohooohoo.. tidak perlu terlalu kawatir.   Sebagaimana saya katakan bahwa ini terjadi slow motion. Artinya kita memang merasakannya secara lambat tapi di mata pemerintah apa yang kita rasakan sekarang sudah dia ketahui jauh sebelumya. 

Makanya solusinya juga tidak sulit. Perhatikan. Karena publik sudah tidak ada lagi kemampuan belanja , maka pemerintah tampil sebagai pembeli barang dan jasa secara dominan melalui APBN. Gimana caranya ? pemerintah mengeluarkan kebijakan stimulus fiskal. Darimana duitnya? Pemerintah keluarkan obligasi, dan BI yang beli obligasi itu. Darimana BI punya duit membeli obligasi itu? ya dari kebijakan quantitative atau CETAK UANG. Dengan pemerintah belanja, produksi barang dan jasa terus berlangsung dan PHK terhindar, bahkan masih bisa menyerap angkatan kerja.

Loh, bukankah itu berdampak inplasi? tidak perlu kawatir. Itu uang di cetak bukan untuk belanja pegawai atau subsidi yang habis dibakar tetapi untuk pembangunan infrastruktur , pembangunan industri hulu, mendorong produksi sektor jasa pariwisata dan UKM, dan lain sebagainya. Yang pada akhirnya akan menimbulkan pertumbuhan berganda untuk memberikan pemasukan kepada negara dalam bentuk pajak dan cukai. Akan meningkatkan asset ( GNP ) negara. Jadi resiko inflasi bisa diredam. 

Lantas gimana dunia usaha bisa mendapatkan uang untuk ambil bagian dari stimulus fiskal itu?. Gampang aja. BI keluarkan kebijakan stimulus moneter lewat pemangkasan suku bunga dan pelonggaran LTV ( loan to value.). Dari mana duitnya? ya lewat kebijakan quantitative. Cetak uang lagi. Tidak perlu kawatir akan inflasi. Karena BI pompa uang lewat suku rendah bukan gratis. Tetapi lewat skema SBPU yang ketat dengan jaminan cukup. Aman secara resiko dan cepat mengatasi likuiditas yang seret.

Secara teori tidak sulit mengatasi krisis ekonomi. Yang sulit itu adalah mendapatkan persetujuan politik. Tanpa dukungan dari DPR , pemerintah tidak akan bisa mengeluarkan kebijakan Stimulus itu. Mengapa ? karena uang di supply dan di provide bukan dari sistem demand and supply tetapi lewat kebijakan politik. Itu sebabnya Jokowi berusaha mendapatkan dukungan politik secara luas dari semua partai. Agar kalau benar terjadi resesi , indonesia bisa cepat melahirkan solusi ekonomi dan pertumbuhan ekonomi tetap terjaga walau memang tidak tinggi amat. Ya kalau bisa tumbuh 5% sudah sangat luar biasa.

***
Kalau anda punya uang berlebih dan dimana semua kebutuhan sudah terpenuhi, biasa nya anda akan tempatkan uang tersebut dalam bentuk tabungan. Bukan hanya anda tetapi sebagian besar orang dan juga perusahaan melakukan hal yang sama. Bahkan pemerintah juga melakukan itu. Salah? engga juga. Teori ekonomi punya rumus soal itu. Yaitu I= C+ S. Artinya Pedapatan ( I) itu sama dengan Konsumsi (C) ditambah dengan Tabungan (S). Semakin besar pendapatan semakin besar pula kecenderungan orang untuk menabung. Akibatnya kelebihan uang itu mengalir ke sektor moneter. Apa motive nya? ya laba. Kan uang di tabung mendatangkan pendapatan berupa bunga. Tanpa kerja adan punya pasive income. Keren kan.

Memang keren.Tetapi keren ini justru menimbulkan paradox terhadap uang itu sendiri. Mengapa ? karena setiap anda punya uang , ada juga orang yang tidak punya uang. Semakin besar anda tempatkan uang di bank semakin besar pula orang lain engga kebagian uang. Makanya dengan sistem   I=C+S  membuat orang lupa akan hakikat uang dan meningkatkan rasio GINI. Semakin lebar jurang antara kaya dan miskin. Secara ekonomi tentu tidak salah. Tapi menimbulkan paradox untuk tujuan kemakmuran. Sementara semakin banyak uang di perbankan, sektor real semakin kekurangan uang untuk melakukan ekspansi. Dan biaya uang yang ditanggung perbankan semakin besar da semakin tidak efisien bagi sektor real.  Krisis pun terjadi.

Nah kalau mekanisme itu terus dipertahankan maka sistem akan hancur. Ekonomi bisa menciptakan chaos moneter dan pada ujungnya menimbulkan chaos politik. Ingat kasus Krismon tahun 1998. Lantas bagaimana mengatasi ini?  Dalam teori ekonomi ada yang disebut dengan Quantitative Easing. Maksudnya adalah pemerintah melalui bank central mensuplai uang secara langsung ke sistem moneter dengan tingkat suku bunga rendah. Kenapa rendah? Itu uang di cetak oleh bank central. Bukan dari hasil tabungan Pemerintah. Otomatis bank akan menurunkan suku bunga. Mengapa? Karena ada sumber uang murah. 

Para deposan tentu akan panik. Karena pendapatan bunga tabungan turun. Hanya masalah waktu mereka akan mengalihkan dananya  ke sektor lain. Bisa saja mereka melirik ke pasar modal atau lewat dana ventura. Atau terlibat langsung dalam proyek kerjasama  yang mendatangkan angkata kerja. Pada waktu bersamaan dunia usaha mendapatkan dana dari bank dengan suku bunga rendah, dan ini akan menciptakan ekonomi jadi efisien. Sektor real bangkit lagi.

Tapi syarat untuk bisa mengeluarkan kebijakan Quantitative easing  (QE) itu tidak mudah. Engga bisa seperti Venezuela. Syarat utamanya adalah posisi inflasi yang ada masih rendah. Syarat berikutnya cadangam devisa aman. Setidaknya bisa meng cover belanja impor selama 6 bulan. Sistem perbankan sehat. Pasar modal stabil. Proses produksi masih berlangsung. Rating surat utang masih bagus. Dan Quantitative easing harus dilakukan secara hati hati dan terukur. Ibarat obat, QE ini hanyalah antibiotik. Artinya kalau sistem demand and supply sudah mengarah pada keseimbangan, ya di hentikan. Engga bisa jadi kebiasaan.


Jadi kebijakan quantitative easing itu ada karena idealisme terhadap uang tidak tercapai. Memaksa secara langsung pemeritah melakukan intervensi terhadap sistem. Tentu, dengan mencetak uang, dampaknya memenggal uang  itu sendiri dan yang korban adalah pemegang uang atau orang kaya. Tapi pada waktu bersamaan menolong orang punya uang terbatas mendapatkan keadilan lewat ekonomi yang stabil dan distribusi modal. Kalau tidak ingin pemerintah lakukan QE maka berhentilah rakus! hiduplah sederhana. Banyak kerja dan banyak berbagi lewat bisnis venture , bukannya banyak nyimpan uang di bank. Pahamkan sayang..

***
13 November 1861. Seorang Pendeta bernama Watkinson, menulis surat kepada Pemerintah AS agar pada mata uang Amerika diberi tulisan " in God we trust" Alasannya adalah " No nation can be strong except in the strength of God" Tidak ada bangsa bisa kuat kecuali kekuatan berasal dari Tuhan. Itulah sejarahnya mengapa pada mata uang dollar ada tulisa In God We trust. Ketika itu sang pendeta hanya mengingatkan kepada pemerintah Amerika tapi tidak memberikan cara bagaimana menempatkan hanya Tuhan yang wajib dipercaya.

Teman saya di China pernah bercerita ketika Deng ditunjuk sebagai presiden China, dia mengundang seluruh tokoh masyarakat dari golongan agama untuk memberikan masukan atas rencana reformasi ekonomi china. Salah satu tokoh agama memberikan saran agar jangan sampai China menjadikan uang sebagai Tuhan. Kalau itu terjadi , bukan hanya partai komunis yang akan hancur, agamapun bisa hancur. Tokoh agama itu bukan hanya memberikan peringatan tapi juga memberikan saran bahwa negara harus berkuasa atas uang dan memastikan uang tidak liar sebagai alat perbudakan.

Mungkin bagi orang barat uang itu segala galanya. Tapi bagi china uang itu hanya omong kosong. Uang hanya alat mendorong rakyat mau suka rela masuk dalam barisan yang tertip menuju peradaban yang di design oleh negara. Benarkah? Perhatikan cara cerdasnya. 

Pertama, Rakyat engga boleh pegang mata uang asing kecuali negara. Kurs negara tentukan sendiri. Jadi berapapun nilai devisa yang di dapat, rakyat hanya dapat RMB. 

Kedua, china menerapkan pajak disamping pajak penghasilan juga pajak kekayaan. Pajak kekayaan sifatnya progresive. Semakin banyak harta semakin besar pajaknya. Uang tabungan di bank di pajaki bukan hanya penghasilan dari bunga tapi juga nominal tabungan. Artinya semakin banyak tabungan semakin lama uang itu akan habis di makan pajak.

Ketiga, agar uang tidak menumpuk di bank dan rakyat tidak dirugikan karena pajak maka Pemerintah menerbitkan beragam jenis investasi surat berharga. Dari yang berbasis SUKUK seperti Revenue Bond, Warkat Barang atau Surat berharga resi gudang , certifikat emas, sampai dengan yang konvensional seperti obligasi umum. Semua produk investasi ini di beri insentif pajak dalam bentuk diskon tarif pajak. 

Dengan demikian orang tetap terpacu untuk kaya namun tanpa disadari kelebihan hartanya berupa produk investasi itu masuk ke sektor real melalui venture capital , infrastruktur fund, dan lain lain kegiatan produksi. 80% surat berharga itu dalam bentuk SUKUK atau bagi hasil. Kalau ekonomi lesu ya sama sama manyun. Engga ada kewajiban balikin. Tapi semua surat utang itu di back up oleh proyek real yang bisa di lihat dengan kasat mata oleh rakyat. Nilainya tentu naik seiring waktu.

Keempat , bagaimana kalau orang tidak mau membeli surat berharga investasi itu ? Tapi tetap mau dapat diskon pajak, gampang. Karena Pemerintah hanya memungut pajak kekayaan pasif , maka kalau kelebihan dana itu di tanam ke usaha kerjasama dengan pihak lain, maka itu tidak dianggap harta kekayaan. 

Makanya jangan kaget kalau angel investor di china tumbuh subur terutama sejak krisis global. Para konglomerat China yang sukses terus melakukan ekspansi bisnis. Skemanya macam macam dan beroperasi seperti shadow banking. Bank tapi bukan bank. Yang paling banyak dapat manfaat adalah para sarjana yang baru tamat dan ingin menerapkan ilmunya dalam bisnis dengan dukungan sang Angel yang kaya lagi punya jaringan Business hebat. Ini kemitraan yang ideal dan terbentuk karena sistem agar kaum terpelajar berwiraswasta dibawah binaan sang angel yang kaya lagi piawai bisnis.

Dengan sistem seperti itu, maka orang boleh kerja keras dan menikmati uang dari hasil kerja kerasnya. Sementara yang mau ongkang ongkang kaki makan bunga bank, ya engga bisa. Fungsi bank hanya perantara sementara saja, namun distribusi modal ya dipicu melalui kebijakan pajak dan memastikan bahwa uang itu hanya omong kosong. Kerjalah terus dan terus. Kalau berlebih bagikanlah dalam bentuk bisnis venture agar orang lain juga punya kesempatan atau kalau engga mau maka uang kalian negara rampas secara sistem untuk distribusikan lewat usaha real.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Memahami ekonomi makro secara idiot

  Berita media massa soal kinerja pemerintah dan terkait utang selalu bias. Bukan pemerintah bohong. Tetapi pejabat  yang menyampaikan infor...