Sabtu, 05 Oktober 2019

BUZZER..?

Buzzer itu asal kata dari Bahasa inggris yang mempunyai arti lonceng, bel atau alarm. Pengertian buzzer secara harfiah diartikan sebagai alat yang dimanfaatkan dalam memberikan pengumuman atau mengumumkan sesuatu untuk mengumpulkan orang-orang pada suatu tempat. Setelah berkumpul, motif dagang keluar. Jadi sama dengan tukang obat keliling yang mengumpulkan orang melalui atraksi yang menarik. Setelah orang berkumpul, dia akan jual obat. Itu buzzer. Nah kalau dalam sosial media, Buzzer itu tujuan akhirnya adalah mendatangkan pemasukan dari popularitasnya. Entah dalam bentuk apapun.
Pak Moeldoko mengatakan bahwa buzzer saat ini merugikan Jokowi. Menurut saya, sebatas perang pemikiran lewat literasi , itu syah saja. Kalau karena itu buzzer dapat uang dari sosial media karena banyak yang ngefan, itu juga syah saja. Sebetulnya keberadaan Buzzer tidak perlu dikawatirkan berlebihan. Yang engga boleh itu adalah HOAX dan provokasi yang terkesan menebarkan permusuhan dan kebencian.
Saya tidak ingin mengatakan influencer itu bagus atau jelek. Yang pasti keberadaan mereka datang dari situasi yang galau. Galau karena keyakinannya terganggu akibat sikap orang lain yang seakan merendahkan keyakinannya. Dalam dunia maya, sikap ini sangat mudah terbaca dari setiap postingan orang. Ada yang langsung menyerang. Ada yang berargumentasi keras untuk menyatakan sikap berlawanan yang keras. Hal itu tak terhindarkan. Menurut saya, itu biasa saja. Karena suka tidak suka, keberadaan mereka juga memperkaya batin orang yang suka akan tulisannya.
Admin saya berkali kali minta saya agar menulis dengan nada menyerang seperti yang lainnya. Alasannya agar semakin banyak yang like dan semakin banyak yang follow saya. Kalau bisa agar lebih banyak yang komen dan follow, saya berpindah pindah dari kubu sebelah ke sebelah lainnya. Tetapi saya tolak tegas. Mengapa? Saya bukan buzzer. Saya tidak butuh banyaknya Like or dislike. Saya tidak ada niat cari uang dari sosial media. Anda bisa lihat fanpage saya tanpa iklan. Blog saya juga tanpa iklan. Bahkan akun pribadi facebook sudah saya deactived. Saya hanya focus di fanpage. Sebagaimana diketahui, Fanpage tidak punya lingkaran persahabatan seperti di akun Facebook. Jadi siapa saja bisa membaca Fanpage saya, yang pro maupun yang kontra.
Tulisan saya tidak ada urusan dengan influencer manapun. Bagi saya mereka bukan musuh. Walau ada yang menyerang saya, tidak akan saya ladenin. Saya tidak mungkin perang opini dengan mereka dan tidak mungkin pula menjadikan mereka nara sumber. Target saya bukan Influencer atau buzzer tetapi adalah pengamat, pejabat, politisi, tokoh masyarakat. Apapun sikap mereka yang menurut saya kurang tepat, saya akan berusaha meluruskan menurut persepsi saya. Tentu belum tentu benar. Kalau karena tulisan semacam itu tidak banyak like atau reaktif dari pembaca, saya juga tidak terganggu. Biarin saja. Motive saya berusaha menjadi pencerah. Dan itu kepuasan batin bagi saya.

***
Koran Al Jazeera, tanggal 4/10-2019 melaporkan terkait penghapusan yang dilakukan Facebook terhadap sejumlah halaman, grup, dan akun dari Timur Tengah, Afrika, dan Asia Tenggara. Lantaran menunjukkan "perilaku tidak autentik yang terkoordinasi" yang ditujukan untuk menyesatkan pengguna media sosial. Ada sebanyak 443 akun, 200 halaman, dan 76 grup Facebook, serta 125 akun Instagram, telah dihapus. Seluruhnya terlacak melakukan tiga operasi berbeda dan "tidak terkait". Salah satunya beroperasi di tiga negara: Uni Emirat Arab, Mesir, dan Nigeria, sedangkan dua lainnya di Indonesia dan Mesir, untuk menyebarkan unggahan dan artikel berita yang menyesatkan.
Di Indonesia, sejumlah akun terlibat dalam penyebaran berita yang berfokus pada isu dalam negeri. Akun-akun itu diduga menyebarkan informasi bohong saat gelombang aksi demokratis menentang rasisme serta menuntut hak menentukan nasib sendiri di Papua, ada yang berujung kerusuhan. “ Meskipun orang-orang di balik kegiatan ini berusaha menyembunyikan identitas mereka, penyelidikan kami menemukan tautan ke sebuah perusahaan media Indonesia InsightID," ujar pihak Facebook. Selain itu, ditemukan pula pembayaran dalam mata uang rupiah Indonesia Rp 4,2 miliar atau USD 300.000 untuk iklan Facebook.
Saya bisa katakan bahwa pelaku hoax lewat sosial media yang sehingga menimbulkan kerusuhan, tak lain adalah teroris. Hanya saja teroris semacam ini tidak membunuh orang lain tetapi menggunakan provokasi lewat sosial media agar ada pihak yang mau jadi pembunuh dan membakar. Semua tahu bahwa masalah Papua itu bukan hal yang sederhana. Di samping memang ada agenda asing yang ingin menggagalkan UU Minerba, dan kembali ke sistem KK, ada juga memang menjadikan kerusuhan Papua sebagai pemicu untuk terjadi kerusuhan rasis di seluruh Indonesia. Sehingga NKRI pecah atau Jokowi tumbang sebelum waktunya.
Sebelumnya media massa sibuk mengulas para buzzer Jokowi yang sudah pada tingkat mengkawatirkan. Padahal Buzzer Jokowi tidak pernah menebarkan Hoax untuk tujuan memecah belah bangsa ini. Mereka dengan cara bersahaja terus mengcounter berita lewat sosial media yang merugikan cintra Jokowi dan Indonesia. Tentu kadang dengan bahasa yang kadang meletup terkesan tidak sopan. Tetapi tetap saja tujuannya adalah menjaga keutuhan NKRI dari segala bentuk ancaman. Andaikan tidak ada buzzer Jokowi, saya yakin para teroris sosial media akan leluasa menciptakan konten yang membuat orang marah kepada pemerintah. Dan anehnya ini pula yang dianggap mengkawatirkan.
Yang harus dipahami oleh siapapun bahwa kalau anda menginginkan kebebasan menyampaikan pendapat, maka cerdas lah mengelola media, perbaiki niat. Selagi anda pahami ini maka tidak ada yang perlu dikawatirkan. Yang pasti di era IT sekarang, tidak ada yang bebas bicara seenaknya dan merasa paling valid. Karena akan ada pihak lain yang akan mengcounter nya. Selagi tanpa hoax dan profesional, biasa saja. Tapi kalau sudah hoax, itu sudah masuk ranah hukum pidana. Itu standar dari hukum kebebasan yang memang harus bertanggung jawab. Seharusnya media massa nasional meniru cara facebook dalam melakukan investigasi. Agar keadilan menang.

***
Saya suka dengan Koran Kompas. Sebelum ada era media digital, Kompas adalah bacaan wajib saya. Pagi sebelum beartifitas, Kompas menemani saya sarapan pagi. Sejak era sosial media, Kompas ikut melakukan diversifikasi bisnis online secara cepat. Hebatnya platform media online Kompas dan Cetak, sama. Sama sama dengan standar jurnalis yang ketat. Kompas sangat paham bagaimana mengelola media online yang real time. Rangking pertama media online di Indonesia adalah anak perusahaan Kompas yaitu Tribunnews. Secara global Tribunnews, menempati rangkin 59. Sementara Kompas.come sendiri rangkingnya urutan ke 9.
Saya tidak tahu bagaimana management kompas dalam mengelola media online. Tetapi yang saya pelajari dari buku mengenai bisnis news online, ada pemisahan yang jelas antara management bisnis dan management media. Management bisnis tidak boleh mencampuri tugas jurnalis. Para jurnalis harus bekerja secara profesional untuk mendapatkan berita yang aktual dan terpercaya. Itu prinsipnya. Bagaimana mendapatkan berita ter update dan bagaimana mendapatkan nara sumber, itulah tugas Jurnalis sebenarnya. Baik media cetak maupun online sebenarnya sama saja.
Lantas dimana peran bisnis ? Secara bisnis, jurnalis harus mematuhi kecepatan news. Jadi kecepatan news itulah bisnis media digital yang sebenarnya. Itu core nya. Makanya setiap Jurnalis online dilengkapi IT system database Editorial yang memungkinkan mereka bisa direct posting tanpa melanggar SOP bisnis dan konten. Semakin cepat news tersampaikan lewat media sosial, semakin tinggi hit nya dan semakin tinggi pula rating medianya. Dari sinilah uang masuk. Harga iklan akan naik. Pemasang iklan akan semakin banyak, yang pada gilirannya mendatangkan laba bagi perusahaan.
Makanya jangan kaget bila tahun lalu, Alexa Internet, Inc. lembaga riset menempatkan anak perusahaan Kompas, Tribune menempati rangking 1 sebagai media digital terbaik di Indonesia. Di bawah Kompas adalah detik.com yang menempati rangking 5 di Indonesia. Detik sahamnya dikuasai oleh CT Corp melalui aksi akuisisi yang dilakukan oleh anak perusahaannya PT Agranet Multicitra Siberkom/Agrakom.
Cairul Tanjung sebagai pebisnis handal sangat paham bagaimana mengelola bisnis media online. Dia tidak pernah mencampuri tugas jurnalis, namun mereka harus bekerja sesuai visi CT yaitu bagaimana meningkatkan value Detik melalui profesionalitas dan make money. Makanya Detik engga ikutan ikutan lebay soal politik.

Berbeda dengan Tempo yang menempati rangking 32 di Indonesia. Sekarang akibat berseteru dengan pendukung Jokowi, entalah rangkin berapa Tempo. Kesalahan terbesar Tempo adalah tidak focus kepada business media online dan terjebak dengan nafsu jurnalis, yang kadang bisa saja jadi tendesius atau tidak objective. Semoga ini bisa dijadikan bahan pelajaran bagi Tempo untuk lebih baik lagi di masa akan datang. Bagaimanapun kita tetap butuh media massa agar demokrasi tetap hidup.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Mengapa negara gagal ?

  Dalam buku   Why Nations Fail  , Acemoglu dan Robinson berpendapat bahwa pembangunan ekonomi dan kemakmuran atau kemiskinan suatu negara d...