Minggu, 01 Desember 2019

Pancasila dan UUD 45

Pendahuluan
Pancasila itu falsafah negara bukan idiologi. Apa itu falsafah? Definisi tentang filsafah antara filsuf berbeda. Karena memang sifatnya tidak absolut. Tetapi relatif. Mengapa? karena tergantung sudut pandang masing masing sesuai dengan kapasitas keilmuannya dan lingkungannya berada. Sementara idiologi adalah ide yang lahir dari pemikiran segelintir manusia dan orang banyak dipaksa untuk memahaminya. Jadi beda sekali antara Falsafah dengan idiologi.  Mari kita lihat analogi sederhana di bawah ini.

Waktu negeri ini akan didirikan, timbul pertanyaan, apa idiologinya ? kalau ditentukan katakanlah, nasionalis atau sosialis. Pasti kelompok komunis dan islam protes. Mereka engga mau. Begitupula sebaliknya. Kalau ngotot diterapkan idiologi, saya yakin sampai kapanpun tidak akan pernah negeri ini merdeka. Bahkan sebelum merdeka, perang lebih dulu.  Ok, katakanlah semua sepakat idiologi negara adalah islam. Pasti ribut lagi soal bentuk negara. Republik atau monarki?  Kalau monarki, siapa yang mau jadi raja atau khilafah. Baru saja ada yang tunjuk tangan langsung yang lain protes. “ Enak aja. Emang siapa loh? Kalau Republik , siapa yang jadi presiden? itu mudah, Tinggal musyawarah. Toh dia bukan kekuasaan absolut.

Kita bersyukur ketika mempersiapkan kemerdekaan negeri ini, para pemimpin kita orang yang waras atau rasional dan bijak. Mereka tidak berbicara tentang idiologi. Semua idiologi, nasionalis, komunis, sosialis, islam,  mereka lepaskan dari diri mereka. Sehingga persatuan dan kesatuan diantara mereka sangat kuat. Jadi apa yang mereka kemukakan? falsafah. Nah falsafah ini sebagai upaya spekulatif untuk menyajikan suatu pandangan sistematik serta lengkap tentang seluruh realitas. Realitasnya apa ? kita terdiri dari berbagai suku,  agama dan golongan. Itu realitas kita. Agar falsafahnya kepada definisi yang sama, maka dipilihlah Ketuhanan sebagai awal dan akhir.  Itu dasarnya.

Mengapa KeTuhanan ? Karena ketika bicara Tuhan, maka perbedaan atas suku, agama, dan golongan akan punya persepsi sama.  Sama dalam hal apa ? Tentang nilai nilai kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan sosial.  Dari persepsi yang sama itulah lahir istilah “ Pancasila” Jadi Pancasila itu adalah pandangan ( persepsi ) sistematik ( engga jelimet) tentang realitas. Nah kalau kita pahami ini maka tentu dengan mudah kita dapat simpulkan bahwa Pancasila itu alat persatuan, di mana di dalamnya ada agama, suku, dan golongan.

Bagaimana dengan idiologi dan bentuk negara? Idiologi dan bentuk negara tidak lagi jadi issue yang dibahas. Karena sudah dikunci oleh falsafah negara. Jelas tidak mungkin sistem monarki atau khilafah karena falsafah kita mengenal istilah musyawarah dalam mengambil keputusan, bukan tunggal. Soal idiologi, apapun itu selagi tidak bertentangan dengan nilai nilai kemanusiaan, persatuan, musyawarah dan keadilan sosial, ya silahkan diterapkan. Kalau ada perbedaan, ya harus disesuaikan dengan falsafah Pancasila.

Lantas mengapa kemudian sejarah mencatat komunis dan Darul Islam berbeda persepsi tentang Pancasila ? Karena baik Islam maupun komunis dalam konteks politik punya prinsip internationalisasi. Sementara akar dari falsafah  Pancasila itu digali dari sosial kultural ( kebudayaan) nusantara. Engga ada kaitannya dengan internationalisasi. Jadi keberadaan Komunis dan darul Islam itu tertolak secara otomatis oleh Falsafah Pancasila. Walau mayoritas penduduk Indonesia adalah islam, namun islam mereka adalah kearifan lokal bukan international. Jadi tidak mungkin mereka bisa menerima konsep darul islam atau komunis. Kalaupun ada, itu persentase nya hanya di bawah 10%. itu tercermin dari suara PKS.


Orba dan era Reformasi
“ Babo, kalau kita kembali kepada UUD 45 yang asli itu artinya kita kembali kepada era Orba” Demikian tanya nitize. Menurut saya selama 32 tahun kekuasaan Soeharto, kita hanya punya UUD 45 untuk melegitimasi kekuasaan Soeharto. MPR dan DPR adalah lembaga yang dibentuk untuk memilih hanya dia sebagai Presiden. Sehingga sebelum sidang MPR sudah ketahuan siapa yang akan jadi presiden. Tetap aja Soeharto. Dalam pelaksanaanya dia menjadikan dirinya sendiri sebagai hukum. Inpres ( instruksi presiden) adalah dokumen yang paling sakral diantara produk hukum lainnya. Tidak ada orang yang berani membantahnya. Tidak ada lembaga terkuat, selain presiden.

Saya berani mengatakan bahwa sejak awal Soeharto berkuasa, dia langsung membuang ruh Pancasila ke tong Sampah, dengan mengesahkan KK Freeport tahun 1967 dan mengawal KK itu berlagsung selama 30 tahun lebih. Itu sama saja Soeharto sudah melanggar UUD 45 pasal 33. Kemudian tahun 70an Soeharto mengesahkan UU PMA, sehingga Indonesia menjadi negara terbuka terhadap kapitalisme, dan menempatkan negara tergadai dengan skeme hutang luar negeri berspesifikasi sovereign guarantee. Padahal ruh dari Pancasila itu salah satunya ada pada UUD 45 pasal 33. Apabila pasal 33 dalam UUD 45 itu dilanggar maka Pancasila mati. Tujuan keadilan sosial tidak terjadi.

Tapi hebatnya semua UU yang membonsai UUD 45 dibuat karena adanya instruksi Presiden. MPR dan DPR dipaksa oleh ABRI untuk patuh kepada instruksi Presiden. Ini demi stabilitas ekonomi agar stabilitas politik terjaga dan stabilitas keamanan terjadi. Semua kekuatan politik diam dan patuh. Bahkan Soeharto pun memaksa orang punya sudut pandang sama terhadap Pancasila, seperti dia mau. Sehingga tidak ada yang protes bila 90% SDA kita dikuasai asing. Mengapa? karena takut dicap atau dikasih label anti Pancasila, yang dianggap sama dengan PKI. Itu sangat menakutkan bagi semua orang. Karena ancamannya bisa di cekal atau lebih jauh lagi bisa “dikarungi”.

Jadi saya dapat simpulkan bahwa selama 32 tahun Soeharto berkuasa, tidak pernah melaksanakan UUD 45 secara murni seperti design dari bapak bangsa kita. Diktator nya Soeharto yang melahirkan KKN bukan karena UUD 45, bukan karena Pancasila tapi karena produk hukum yang bernama INPRES. Nah ketika Soeharto lengser, kita membuat UUD dengan merevisi UUD 45 yang ada. Apa hasilnya ? Dari 194 ayat, 3 Pasal Aturan Tambahan, 2 Aturan Peralihan yang terdapat dalam UUD 2002 hanya 25 ayat yang terdapat dalam UUD 45 dipertahankan. Jadi ini bukan amendment tapi merubah UUD 45.

Bagaimana struktur Indonesia setelah perubahan UUD 45 ini ? 1) kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan langsung oleh rakyat; (2) MPR hanyalah sekedar majelis pertemuan bersama (joint session assembly) yang tidak punya kewenangan mengubah dan menetapkan UUD karena bukan merupakan lembaga tertinggi pelaksana kedaulatan rakyat; (3) menggunakan sistem presidensial, dan (4) memisahkan perekonomian nasional dengan kesejahteraan sosial sehingga mengakibatkan sistem perekonomian Negara tidak lagi dilandasi oleh asas pemerataan dan kekeluargaan untuk menciptakan keadilan sosial, tetapi telah berubah menjadi sistem ekonomi pasar dan bebas seperti pemikiran ekonomi kapitalistis.

Apa yang terjadi ? Tidak ada lagi perlakuan istimewa kepada satu pelaku ekonomi. Siapa saja dapat mengusahakan perekonomian secara bebas alias liberalisasi perekonomian. Hal ini tertuang dalam ayat selanjutnya yaitu UU 45 pasal 33 ayat 5 dimana ketentuan lebih lanjut diatur UU. UU yang mana? lihat saja UU penanaman modal dan UU PMA yang kental sekali nuansa liberalnya. Negara tidak lagi sebagai pemilik SDA secara phisik tapi pengendali SDA melalui pemberian konsesi kepada dunia usaha, yang mana pemerintah hanya berhak atas bagi hasi dan pajak. Dari penerimaan inilah ekspansi APBN dapat dilakukan. Artinya, benar benar APBN itu bergantung dari pajak dan bagi hasil. Negara sangat butuh dunia usaha. Engga ada pajak, ya bangkrut.

Kalau Soeharto membonsai UUD 45 dan Pancasila lewat INPRES, namun era Reformasi membonsainya lewat amandemen UUD 45. Jadi kalau boleh menyimpulkan bahwa amandemen UUD 45 itu tidak lebih sama dengan melegitimasi INPRES Soeharto. Kita berubah, dan meninggalkan masa lalu yang bau amis darah demi Pancasila.

***
Memahami jalan berpikir Bapak Bangsa.
Andaikan FPI dan HTI, hadir dalam rapat BPUPKI ( Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia ), saya yakin Indonesia tidak akan merdeka. Mengapa? karena kita masih sibuk bertengkar , apa bentuk negara kita. Saya yakin setelah Jepang takluk, pasukan sekutu sebagai pemenang perang dunia kedua, datang. Kita belum sempat memproklamirkan kemerdekaan. Sehingga tidak ada legitimasi untuk mempertahankan kemerdekaan. Pasukan Sekutu tinggal menyerahkan Indonesia kepada Belanda sebagai bagian dari rampasan perang. Selesai. Sampai kini kita masih terjajah.

Tetapi untunglah waktu persiapan kemerderkaan, saat yang genting , kita diberkati bapak pendiri bangsa yang berhati lapang dan punya wawasan jauh kedepan. Tidak ada tokoh dan ormas semacam FPI dan HTI. Disamping itu, semua yang hadir dalam rapat BPUPKI adalah orang orang hikmat yang bijaksana. Mereka tidak berpikir atas nama pribadi dan golongan. Mereka datang karena cinta. Dan berdiskusi soal masa depan bangsa ini dengan nuasa cinta. Sehingga mereka mudah dipersatukan untuk seiya sekata. Maka lahirlah Pancasila.

Ada pertanyaan sangat mendasar dalam rapat BPUPKI itu. Mengapa kita harus mendirikan negara? Pertanyaan ini wajar. Karena orang Kutai, merasa sudah nyaman sebagai kesultanan. Orang jawa sudah nyaman dengan kesultanan Yogya. Orang Bali sudah nyaman dengan kerajaan Buleleng. Orang Aceh sudah nyaman dengan kesultanan Samudera Pasai. Untuk apa lagi bikin negara ? Apalagi harus melebur semua status kesultanan dalam satu nama Republik Indonesia. Kebayangkan, gimana perasaan keluarga kesultanan ketika itu yang ikut hadir dalam rapat.

Tapi ketika disampaikan alasan bahwa kita mendirikan negara karena Tuhan. Semua tidak bisa mengelak argumen itu. Maka ditetapkanlah sila pertama adalah Ketuhanan. Tapi Tuhan yang mana ? Setiap agama punya teologi masing masing soal Tuhan. Dan akhirnya semua sepakat bahwa bukan Tuhan itu, atau bukan Tuhan ini. Tapi Tuhan yang Maha Esa. Esa itu bukan berati satu. Kalau satu, itu Eka. Tetapi Tuhan Esa itu tidak ada arti sesungguhnya. Dalam bahasa sansekerta , itu hanya kata keterangan menjelaskan kata di depannya. Contoh Tuhan yang Maha Esa. Itu artinya Tuhan yang " semacam itu” Semua sepakat.

Kemudian, apabila negara didirikan karena Tuhan Yang Maha Esa, semua aturan dan hukum harus berdasarkan nilai nilai Ketuhanan. Apa itu nilai nilai Ketuhanan? Kemanusiaan yang adil dan beradab. Mengapa bukan syariah? Nilai tertinggi Ketuhanan adalah kemanusiaan. Semua agama sepakat soal itu. Karena di dalam kemanusiaan itu ada sifat adil dan beradab. Itulah esensi dari Tuhan. Maka ditetapkanlah itu sebagai sila kedua. Nah dengan sila kedua itu, maka semua sepakat bersatu. Tidak ada lagi jawa, sunda, batak, padang, dan lain sebagainya, yang ada adalah Indonesia. Selanjutnya dengan mudah ditetapkan sila ketiga yaitu Persatuan Indonesia.

Lantas negara seperti apa yang akan kita dirikan. Apakah kerajaan? Khilafah? republik ? atau apa? Para bapak pendiri bangsa yang rapat dalam BPUPKI sepakai bahwa bentuk negara bukan kerajaan, bukan khilafah, bukan republik. Tetapi negara kerakyatan. Siapa yang akan memimpin rakyat ? oleh mereka yang hikmat dan bijaksana. Ukurannya bukan S3 tetapi hikmat dan bijaksana. Kepemimpinan itu tidak bersifat tunggal tetapi kolektif atas dasar musyawarah untuk mufakat. Siapa yang akan bermusyawah itu? ya para wakil. Wakil di sini bukan hanya wakil orang perorang tetapi juga wakil golongan dan daerah. Sila keempatpun ditetapkan. Tujuan apa negara didirikan? Semua sepakat bahwa tujuannya adalah keadilan Sosial. Keadilan proporsional.

Kalau diperhatikan dengan seksama, dalam Pancasila tidak ada sistem pemerintahan di mana presiden dipilih langsung melalui PEMILU. Yang ada adalah dipilih secara tidak langsung oleh golongan dan perwakilan. Nah dalam UUD 45 ada menyebutkan Pemilu tetapi belum dijadikan UUD yang final karena ketika UUD 45 itu di buat, kondisi Indonesia belum punya lembaga resmi yang bisa mensyahkan UUD itu. Para pendiri negara ketika itu sependapat bahwa bila keadaan sudah damai dan sudah ada lembaga Resmi maka UUD akan disusun lagi.

Lantas apa dasar legitimasi PEMILU tahun 1955? Ya UUD-Sementara 1950. Namun hasil Pemilu 1955 gagal membuat UUD yang legitimate dan Indonesia kembali kepada UUD 45. Bahkan ketika Era Soeharto, kita masih menggunakan UUD 45. Barulah ketika Era Reformasi UUD 45 di revisi sebanyak empat kali ( tahun 1999, 2000, 2001, 2002) . Jadi walau kita sudah merdeka sejak tahun 1945 namun negeri ini baru punya UUD hasil dari PEMILU tahun 1999. Dan kita menerapkan Sistem demokrasi tidak langsung, yang kemudian tahun 2002 diubah lagi jadi demokrasi langsung dengan munculnya SBY sebagai presiden pertama sesuai UUD yang legitimate.

Nah yang jadi pertanyaan adalah mengapa Pancasila masih melekat sebagai Batang Tubuh UUD itu ? kalau menjadikan Pancasila sebagai Pembukaan UUD maka seharusnya kita memilih “sistem kerakyatan” dalam permusyaratan perwakilan. Ini berbeda dengan Pemilu langsung yang melahirkan “Dewan Perwakilan”. Sampai hari ini, riset saya masih menyisakan pertanyaan. Mengapa kita tetap mempertahankan Pancasila, sementara kita tidak bisa menterjemahkannya dalam bentuk amandemen UUD 45? Ada apa ? Kalau memang ingin mempertahankan UUD 45 yang diamandemen ya sebaiknya Pancasila dihapus saja. Cukup jadikan Pancasila sebagai kebudayaan, bukan sebagai idiologi atau falsafah.

Saya bersyukur PBNU mulai bangkit memperjuangkan Pancasila agar sesuai dengan sistem kekuasaan kita. Bagi NU ini masalah menjaga konsesus bapak pendiri bangsa. Karena akhlak tertinggi adalah menjaga amanah dan setia dengan konsesus.

***
Amandemen UUD 45
Belakangan ini MPR sibuk membangun wacana atas recana revisi UUD 45 secara terbatas. Ada wacana untuk menambah satu periode presiden. Jadi bisa tiga periode. Saya tidak mau berkomentar apapun. Bagi saya ini politik. Dari sebelum ketua MPR terbentuk saya sudah menulis soal tekad PDIP dan Gerindra untuk menjadi motor perubahan UUD 45 secara terbatas. Sekarang saya mulai ingin mengulas. Bukan karena suara dari Parlemen. Tetapi suara dari PBNU yang mengusulkan kepada MPR agar pemilihan presiden dan wapres lebih bermanfaat, bukan lebih baik, lebih tinggi kemaslahatannya, lebih baik dikembalikan ke MPR, ketimbang dipilih rakyat langsung. Saya akan membahas secara utuh terhadap sistem negara kita setelah diamandemen empat kali pada 1999-2002. Selanjutnya silahkan anda menilai. Kalau tidak cocok abaikan saja.

Sejak negara ini diproklamirkan maka para pendiri negara telah berhasil menciptakan system kenegaraan dan pemerintahan dalam bentuk UUD 45. Visi dari UUD 45 itu tertuang dalam Pancasila dengan menempatkan Ketuhanan diatas segala galanya.Kemudian nasionalisme diurutan kedua, Human right diurutan ketiga, Serta demokrasi diurutan ke empat dan akhirnya mencapai tujuan nasional berupa keadilan sosial. Dari philosopy Pancasila, jelas sekali bahwa tujuan akhirnya berdirinya negara hanya mungkin dicapai bila system negara berjalan dengan urutan pancasila tersebut. Dari sinilah, semua aturan dalam bentuk UUD dicreate.

Sejak berdirinya negeri ini , UUD 45 selalu menjadi silang sengketa untuk dirubah sesuai dengan kepentingan politik paska kemerdekaan. Mengapa ? Karena kemerdekaan melahirkan peluang untuk berkuasa bagi kelompok ataupun golongan. Beda ketika negeri ini belum merdeka. UUD 45 di create karena tuntutan murni tanpa ada niat untuk berkuasa kecuali lepas dari penjajah asing secara phisik maupun system. Perubahan demi perubahan dibuat namun tetap tidak berhasil membuat negeri ini mencapai tujuan akhir "keadilan sosial ". Puncaknya, adalah ketika rezim reformasi berhasil menjatuhkan Soeharto. UUD 45 pun di Amandemen agar sesuai dengan konsep Democratic reform,Constitutional reform and yudicial reform. Maka selesailah sudah segala impian pendiri negara ini.

Mari kita lihat bagaimana system negara ini diubah..

Kedudukan MPR RI.
Tidak ada lagi di negeri ini yang menjadi lembaga tertinggi yang menjamin pondasi semua kepentingan untuk tetap dalam barisan dan tujuan yang sama. Dalam reformasi, lembaga ini dikebiri kewenangannnya karena alasan semua orang yang diduduk di MPR haruslah orang yang terpilih dalam demokrasi langsung. Nah, mari kita lihat philosopy keberadaannya dalam UUD45 , dimana disadari oleh para pendiri negara bahwa tidak semua rakyat mengerti tentang hak politik untuk menentukan pilihannya. Karena faktor keterbelakangan pendidikan dan wawasan.

Makanya system perpolitikan kita mengadopsi system perwakilan yang terdiri dari , Anggota DPR yang dipilih secara langsung dan Anggota Golongan ( wakil dari ormas , profesi, agama ) serta Utusan Daerah. Dengan demikian ada keadilan perwakilan dalam konteks sosio culture situasional bangsa. Dengan perubahan ini, maka semua orang, siapa saja dan tidak peduli latar belakangannya , kualitasnya , dapat saja berbicara atas nama rakyat dengan predikat terhormat asalkan dapat terpilih sebagai anggota DPR.. walau kenyataannya 90% menggunakan uang untuk terpilih. Maka jadilah negeri ini dimana kekuasaan adalah komoditi yang dapat dibeli oleh siapa saja asal punya uang.

GBHN
Negeri ini yang luasnya sama dengan lintas london –Siberia , ternyata tidak lagi memiliki grand design pembangunan nasional. Tidak ada lagi road map untuk membangun. Itulah hasil amandement UUD 45. Akibatnya, tidak ada satupun yang dapat dipertanggung jawabkan oleh president atas program kerjanya. Keberhasilan president tidak ada barometernya. Yang pasti , negeri ini , masa depannya tergantung siapa yang menang dan diatur oleh mereka yang ada di parlemen untuk membuat aturan yang sesuai mereka mau. Dreaming negara hanyalah sebatas usia kekuasaan dan kelak akan digantikan lagi oleh mereka yang menang. Semua berdasarkan kepentingan sesaat, semasa jabatan mereka.

Kalaupun keberadaan GBHN ini digantikan oleh RPJPN ( rencana pembangun Jangka Panjang Nasional ) namun kedudukannya hanyalah sebuah undang undang biasa yang setiap saat dapat diubah.. Tidak sama seperti GBHN yang tidak dapat diubah karena disahkan oleh lembaga tertinggi negara berdasarkan permintaan president terpilih. Makanya kini adalah tidak aneh bila kebijakan negara tidak terstruktur, atau cenderung pragmatis. Pembangun di bidang ekonomi, sosial, budaya, agama, pertahanan, menimbulkan kebingungan. Kualitas kesejahteraan , daya saing , moral berbangsa dll dari tahun ketahun mengalami penurunan. Antara moneter dan fiskal menjadi timpang. Kebijakan pasar bebas menciptakan ketidak seimbangan. Pembangunan infrastructure kalah cepat dengan pembangunan mall. Negara agraris tapi menjadi pengimpor pangan. Alam melimpah tapi hanya menghasilkan kerusakan lingkungan. Law emporcement tidak jalan. Dll.

DPD.
Dengan adanya amandemen UUD 45 maka dibentuklah Dewan Perwakilan Daerah (DPD), yang keliatannya hasil kompromi setengah hati atas dihapuskan Utusan Dearah dalam MPR. Anehnya tidak ada aturan yang jelas tentang kedudukan antara DPD dihadapan DPR. Apakah DPD adalah bagian dari DPR ataukah setara ? Kalau DPD pun dapat membuat UU maka bagimana fungsi DPR sebagai satu satunya lembaga pembuat UU ? Anehkan ? Berati secara defacto diakui bahwa di dalam lembaga tinggi negara ada dua kamar. Mana yang benar ? Kacau,kan ?

DPA.
Keberadaan DPA dalam UUD 45 diakui sebagai bagian dari lembaga tinggi negara yang bertugas sebagai “ Advisory council “ . DPA di bentuk sebagai dasar atas prinsip kekeluargaan dan semangat gotong royong dalam system pemerintahan. Tapi dalam amandement UUD 45 , ini dihapuskan. Digantikan oleh Tim penasehat president melalui keputusan President. Kedudukan Tim Penasehat president sangat lemah legitimasinya dibandingkan dengan DPA yang dijamin oleh UUD 45. Integritas dan legalitas serta akuntabilitas jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Tim Penasehat President. Mengapa DPA dihapuskan ? Apakah reformasi takut mendapatkan masukan dari orang orang yang diatur haknya dalam UUD ? Inikah kekuasaan yang diinginkan oleh konsep reformasi ?

Mahkamah Konstitusi ( MK).
Sebagai kelanjutan dari kompromi dari Amandement atas hak MPR untuk menilai setiap keberadaan UU yang dibuat oleh DPR maka dibentuklah Mahkamah Konstitusi, yang anggotanya dipilih oleh anggota DPR. Yang jadi pertanyaan , apakah Mahkamah Konstitusi adalah lembaga politik yang berhak menilai sebuah keputusan politik berupa UU ataupun aturan? Aneh kan ? Lembaga ini sebagai wasit untuk menentukan benar atau salah setiap kebijakan politik yang dikeluarkan oleh lembaga tinggi negara yang diatur oleh UUD. Siapakah penguasa politik di republik ini sebenar nya ? yang lebih lucu lagi adalah keputusan Mahkamah konsitusi adalah bersifat final tidak ada hak banding bagi yang bersengketa. Aneh, kan?

Kedudukan Partai Politik ( Parpol ).
Amandemen UUD 45 telah merombak structure ketatanegaraan dan bersifat kontroversial, membuka peluang kepada parpol untuk memberi intepretasi subyektive mengenai posisi parpol didalam lembaga legislative. Bahkan ada yang menganggap bahwa amandemen ini telah merubah system pemerintahan dari presidential menjadi semi parlementer, dan karena itu merasa tidak mempunyai pegangan untuk bisa menyatakan posisi dirinya dan fungsinya di DPR. Makanya ada istilah Kubu oposisi dan kubu pemerintah.

Pada sejatinya, dalam UUD 45, fungsi DPR adalah bertugas secara fungsional tanpa kecuali untuk mengawasi tugas eksekutive, membuat UUD, menetapkan APBN. Jadi tidak ada istilah kubu pemerintah ataupun oposisi. Makanya , dengan amandement ini terjadi perpecahan kelompok pemikiran di DPR sesuai kepentingannya terhadap kebijakan pemerintah. Akibatnya menciptakan ketidak pastian yang tak berujung, sehingga melahirkan politik dagang sapi. Pasal UU diperdagangkan atau dibarter dalam sharing kekuasaan di parlemen. Makanya, jangan aneh bila UU dicreate bukan untuk kepentingan rakyat tapi kepentingan partai /kekuasaan.

Mahkamah Agung ( MA)
Sejak Amandemen UUD 45, Inilah lembaga Tinggi negara yang super power. Sangat berkuasa dan tak tersentuh oleh kekuatan manapun. Dizaman Gus Dur lembaga ini berhasil menjatuhkah keputusan menganulir keputusan President , yang merupakan lembaga tinggi negara yang dipilih oleh rakyat. Padahal lembaga ini orang orangnya bukanlah mewakili rakyat. Ini bukan lembaga politik namun berkuasa lebih dari politik. Sekilas , nampaknya kelompok reformasi begitu percaya dengan trias politica tentang ” separatioan of power. Padahal senyatanya tidak ada separation of power di negara manapun di dunia. Yang ada adalah Distinction of Power. Bukan pemisahan kekuasaan tapi pembedaan kekuasaan. Artinya harus ada pembedaan namun tidak dapat dipisahkan satu sama lain untuk saling mendukung. Karena ketiganya mempunyai visi dan misi yang sama sesuai tugasnya masing masing.

Dalam UUD 45, kekuasaan dan kebebasan hakim adalah ketika dia mengambil keputusan di pengadilan. Bukan kekuasaan dalam kelembagaannya. Jadi ini ada penyalahartian tentang kekuasaan dan kebebasan Hakim. Makanya kini jadilah MA sebagai lembaga yang untouchable dan super body. Jangan kaget bila BPK tidak berhasil menyeret kasus Korupsi di MA dan juga gagalnya KPK menyeret ketua MA kepengadilan. Hebat, kan ?

Departement Hukum dan HAM.
Ada kasus sengketa Niaga di luar negeri yang melibatkan badan usaha di Indonesia. Ketika pihak pengadilan international meminta legal opinion dari pemerintah kita , ternyata tidak bisa. Apa pasal ? Ternyata kita memang tidak ada lembaga pemerintah yang berhak mengeluarkan legal opinion atas kasus hukum international. Syarat yang ditetapkan untuk dapat mengeluarkan legal opinion adalah Ministry of Justice. Di negara manapun ministry of justice itu ada, kecuali indonesia yang berganti menjadi Minister of law and human right. Inilah hasil dari amandement UUD 45 tentang “ Kekuasaan Kehakiman “, yang menghapuskan keberadaan Departement Kehakiman. Aneh, kan ?

Dalam UUD 45 , kekuasaan kehakiman ( lembaga ) ada di tangan pemerintah namun hak judicial hakim dilindungi oleh Undang Undang untuk bebas menentukan keputusan tanpa ada kekuatan lain yang dapat mempengaruhinya. Jadi sangat jelas sekali membedakan kelambagaan dengan profesi hakim orang perorangan. UUD 45 tidak mengizinkan Hakim mengelola urusan rumah tangganya yang berkaitan dengan gaji, administrasi. Agar hakim hanya focus menjalani profesinya.

Organisasi Pertahanan Negara
Amandement UUD 45 menyebutkan bahwa president adalah pemegang kekuasaan tertinggi atas AD, AL,AU. Tapi dalam UU ini, TNI ditempatkan di bawah Menteri Pertahanan. Padahal menteri Pertahanan adalah pembantu President. Sebaliknya Polisi ditempatkan langsung dibawah president.. Kan , aneh. Kok TNI di bawah menteri sementara Polisi di bawah presdent. Sementara pemilihan Pimpinan TNI tetap harus melewati fit and proper test di DPR sama dengan Polisi. Apakah peran TNI memang tidak lagi diperhitungkan dalam menjaga kedaulatan negara ?

Makanya jangan kaget ketika President memerintahkan agar Anggaran TNI ditingkatkan untuk memperbarui persenjataanya tidak ditanggapi oleh Menteri Keuangan. Juga jangan kaget bila Polisi menentang keras RUU tentang Kemanan Nasional yang diusulkan oleh Departement Pertahanan untuk mereposisi Polri. Lantas siapakah yang bertanggung jawab soal Keamanan Nasional ?

System Presidential.
Nah , inilah kesimpulan dari pesan dibalik amandemen UUD 45. Apakah itu ? Membuat system presidential yang diakui oleh UUD 45 menjadi lemah dan tak berdaya untuk menjaga persatuan dan kesatuan VISI , MISI pembangunan dalam kebersamaan. President sebagai pemegang komando tertinggi dalam bidang pemerintahan, kenegaraan, angkatan perang telah dilucuti secara systematis oleh amandement UUD45.. Jadi tidak ada lagi imam yang bisa memastikan para makmun untuk mengikutinya. Bahwa kekuasan President untuk mengangkat Panglima TNI telah dicampuri oleh DPR. Kekuasaan President untuk mengangkat Kapolri, juga dicampuri ole wewenang DPR.Kekuasaan DPR untuk mengangkat Duta Besar dan Konsul ,juga dicampuri oleh DPR. Termasuk hak mengangkat Gubernur BI, tidak lepas dari campur tangan DPR.

Bila pemimpin negara dan pemerintahan secara system lemah maka negeri ini tidak akan pernah dapat menyelesaikan masalah, apalagi berdaulat terhadap pengaruh atau tekanan dari pihak asing. Juga tidak akan bisa mengambil keputusan yang cepat dan praktis untuk menjawab perubahan dan tuntutan pembangunan yang bergerak cepat. China bisa cepat berkembang dan berubah karena sistem negara yang efisien dan efektif. Ini semakin memperjelas bahwa reformasi lahir karena keterlibatan asing yang tahu pasti membuat bangsa ini lemah secara sistematis, sehingga dapat dengan mudah digiring dalam jaringan globalisasi untuk memuaskan kapitalisme , agar bebas memanfaatkan semua potensi negeri ini. Inilah neocolonialism yang sejak awal dikawatirkan oleh pendiri negara ini ketika berhasil mengusir kolonialisme. .. Inilah yang menjadi keprihatinan PBNU dan berharap UUD 45 kembali seperti awal negeri ini berdiri. Yang jelas, PKB akan berjuang menggolkan hasil munas PBNU tahun 2012 di Cirebon tentang amandemen UUD 45. Mungkinkah ini juga menjadi agenda dari PDIP dan Gerindra, dan juga Gokar.

Idiologi negara
Belakangan ini ribut berita soal HRS yang masih ada di luar negeri. Polemik terjadi. Kata HRS dia dicekal oleh Pemerintah. Tapi Pemerintah membantah omongan HRS. Soal izin FPI juga jadi polemik. Menteri Agama telah memberikan rekomendasi agar izin FPI diperpanjang dengan alasan FPI setia kepada Pacnasila dan NKRI. Sebagian besar Nitizen pendukung Jokowi minta pemerintah bersikap tegas. Bubarkan FPI!. Pak Mahfud, menjawab dengan tidak tegas, bahwa izin FPI ‘belum” bisa diperpanjang. Alasannya soal idiologi. Namun FPI sendiri membantah idiologi itu yang ada pada AD/ART itu dimaknai sebagai anti Pancasila. FPI punya definisi berbeda dengan Pemerintah soal Pancasila.

Pertanyaannya adalah mengapa pemerintah tidak bisa tegas kepada FPI, sebagaimana sikap tegas pemerintah terhadap HTI? Mungkin belajar dari pengalaman pencabutan izin HTI sendiri. Walau izin HTI dibubarkan, namun eksistensi HTI bisa tetap ada di lapangan. Aktifitas HTI dengan bendera Tauhid semakin mendapat dukungan dari pendukungnnya. Bahkan berani dengan terang terangan menunjukan kekuatannya dalam aksi demo. Dan tidak pernah bisa disalahkan. Karena memang tidak ada bendera HTI. Yang ada bendera Tauhid. Kalau pemerintah melarang bendera Tauhid itu sama saja melanggar UUD 45.

Saya mengikuti politik negeri ini sejak awal reformasi. Saya mengamati. Tokoh yang bertindak sebagai creator Amandemen UU 45 adalah tokoh Islam, dan ketika itu DPR/MPR dikuasai oleh Kelompok tengah ( Islam), yang ketuanya Amin Rais. Kelompok Tengah juga yang berhasil menjadikan Gus Dur sebagai presiden walau berdasarkan pemilu Megawati lebih pantas jadi presiden. Karena PDIP sebagai pemenang pemilu 1999 ketika itu. Jadi wajar saja bila dalam amandemen UUD 45 itu, ada pasal yang membuat peran agama sangat besar secara politik. Mau tahu apa pasal itu?

Pasal 29 UUD 1945 ayat (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Tahu artinya ? Dari isi pasal 29 ayat 1 dijelaskan ideologi negara Indonesia adalah Ketuhanan yang Maha Esa, oleh karena segala kegiatan di negara Indonesia harus berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dan itu besifat mutlak. Jadi idiologi Negara ini bukan pancasila tetapi Ketuhanan yang Maha Esa. Jadi pancasila itu apa ? Pancasila itu adalah azas. Apa itu azas ? Pengertian asas adalah prinsip dasar yang menjadi acuan berpikir seseorang dalam mengambil keputusan-keputusan yang penting di dalam hidupnya. Pancasila itu mindset. Falsafah. Hanya itu.

Itu sebabnya mengapa partai-partai dan kelompok Islam(is) itu menyatakan bahwa aspirasi syariat mereka selaras dengan Pancasila? Dasar penafsirannya sederhana saja: sila pertama Pancasila, “Ketuhanan Yang Maha Esa”, berarti pengakuan dan kewajiban negara untuk mengakomodasi nilai-nilai agama. Walau UU Ormas menegaskan harus mengikuti Pancasila namun itu hanya administrasi. Secara prinsip syariat islam tidak bertentangan dengan prinsip UUD 45.

Menurut saya, dalam amandemen UUD 45 itu, ada dua kelompok yang bermain dengan menitipkan pasal jebakan. Kelompok Islam memasukan pasal tentang Pancasila bukan idiologi tetapi azas. Dan TNI mengaminkan agar kekuatan kedepan, Politik sipil nasionalis maupun pragmatis tidak terlalu dominan. Maklum karena Amandemen UUD 45 juga terjadi perubahan UU TNI, yang harus masuk barak. Engga bisa lagi berpolitik seperti era Soeharto. Namun TNI jadi politik negara. Ya TNI berpolitik atas UUD 45 itu. Kalau pemerintah menentang UUD 45, TNI berhak tidak setia kepada pemerintah.

PSI pernah berencana mendukung pembatalan UU Pencegahan Penodaan Agama (UU PPA) yang menjerat Ahok masuk penjara. Pasti gagal. Mengapa ? UU PPA sudah pernah diujimaterikan ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2009-2010, dan keputusannya adalah UU ini konstitusional. Pendapat MK dalam Putusan itu sendiri menyatakan bahwa falsafah negara (Pancasila) mengenai agama mengejawantah dalam UUD 1945 melalui Pasal 29 ayat 1 (“Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa). Penodaan agama, sama saja melawan idiologi itu sendiri.

Solusinya agar negeri ini aman dari polemik hukum soal idiologi, maka UUD 45 harus diamandemen khususnya pasal 29 ayat 1 itu. Makanya saya lebih focus kepada issue soal amandemen UUD 45 secara terbatas yang sekarang sedang dibicarakan oleh MPR. Tapi issue ini jadi bias karena adanya wacana perubahan pemilihan presiden secara tidak langsung. Tujuannya agar rakyat membatalkan amandemen UUD 45. Sama dengan dibatalkannya RUU KUHP dan RUU Pertanahan. Rakyat awam tidak paham politik, mereka hanya melihat issue dipermukaan, tetapi tidak tahu permainan dibalik issue itu. Kalau Amandemen ini gagal, maka kita benar benar menghadapi masalah serius soal idiologi...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Inflasi momok menakutkan

  Dalam satu diskusi terbatas yang diadakan oleh Lembaga riset geostrategis, saya menyimak dengan sungguh sungguh. Mengapa ? karena saya tid...