Rabu, 02 Desember 2020

Intrik Politik

 



Saya punya mentor. Di zaman Soeharto dia punya bisnis bermitra dengan konglomerat. Dia juga sebagai arranger soft loan untuk proyek pemerintah. Jadi kebayangkan network business dia dikalangan pejabat dan politisi. Tahun 1996 dia mulai dekat dengan megawati dan TK. Dia memberikan dukungan secara tidak langsung kepada Megawati.  Apa yang dia pahami tentang Megawati? Menurutnya Megawati itu dalam berpolitik berdasarkan tiga hal saja. Pertama. Memastikan rakyat tidak lapar. Artinya pangan terjaga. Kedua, Pastikan TNI loyal kepada kekuatan sipil. Ketiga, pastikan umat islam tidak merasa terganggu. Itu saja.


Menurutnya. Tiga hal itu jadi mindset Megawati dalam berjuang. Apapun program PDIP, pasti tidak akan menyimpang dari tiga hal itu. Mengapa? Megawati belajar dari kejatuhan Soekarno. Soekarno gagal menyediakan tiga tuntutan rakyat ( tritura) salah satunya tersedianya pangan. Di era Soekarno rakyat antri beli beras. Soekarno memberikan peluang TNI berpolitik sehingga TNI terpecah. Akibatnya loyalitas tidak lagi 100% kepada presiden. Dengan politik demokrasi terpimpin, tidak ada upaya rekonsiliasi. Soekarno gunakan itu untuk menghadapi lawannya, terutama partai islam. Sehingga Hatta terpaksa mundur dari jabatan Wapres.


Kekalahan Megawati dalam Pilpres 2004 dan 2008 itu karena emosi agama digunakan lawannya dengan dalil “ haram memilih wanita sebagai presiden”. 2004 bukan hanya mega kalah tetapi menggerus suara PDIP dari 33 % menjadi 15 %. Itulah dahsatnya. PDIP harus menerima pahit dua kali kalah dan dua periode SBY sebagai oposisi. Selama oposisi itu, yang menjadi sahabatnya adalah JK dan Wiranto. Persahabatan antara mega dengan Wiranto dan JK itu terjalin secara personal. Walau JK secara politik bergabung dengan SBY, itu tidak mengurangi nilai persahabatan mereka. Terbuktik periode kedua JK pecah kongsi dengan SBY. Tahun 2014 Mega minta JK mendampingi Jokowi dalam pilpres


Setelah Jokowi terpilih sebagai Presiden, walau jokowi sempat menunjuk LBP sebagai Menko Polkam, namun akhirnya Jokowi terpaksa mengikuti kehendak mega untuk menyerahkan Menko Kepada Wiranto. Masalahnya Mega sangat percaya dengan Wiranto. Mengapa? Wiranto sangat piawai mengendalikan politik tersulit ketika masa transisi dari Soeharto ke Reformasi. Wiranto bisa dengan efektif memanfaatkan TNI menjaga proses suksesi itu tanpa melahirkan revolusi dari umat islam yang punya dendam pribadi kepada Soeharto. Wiranto berjasa meminta TNI berusaha netral dan menjaga proses pemilu agar tidak merugikan suara Jokowi. Ingat! tanpa dukungan TNI hampir sulit orang bisa muncul sebagai pemenang. Karena Lembaga dan sistem teritorial terluas dan terbesar di Indonesia adalah TNI. Maklum Babinsa ada di semua desa.


JK berperan besar menggalang kekuatan Islam akar rumput untuk mengurangi serangan politik identitas terhadap Jokowi yang didukung PDIP. Bukan itu saja, JK pula yang mengusulkan Jokowi sebagai Gubernur DKI kepada megawati. JK yang menjaga proses Jokowi muncul ke panggung nasional. Caranya? menciptakan ketidak pastian terhadap Jokowi sebagai capres PDIP. Mengapa? agar jokowi terhindar dari pembusukan politik dari lawan PDIP. Sehingga disaat kekuatan sudah siap, Jokowi bisa ditampilkan sebagai Capres. Kalaupun ada serangan, jaringan JK sudah siap menghadapi pembusukan dari lawan politik PDIP, terutama islam.


Periode pertama Jokowi sebagai presiden, ada gesekan sedikit antara Jokowi dan PDIP. JK bisa mendamaikan. Namun setelah itu ada lagi perbedaan antara Mega dan Jokowi. Jokowi ingin agar Ahok didukung oleh PDIP. Platform PDIP sebagai partai terbuka dan nasionalis harus Mega jaga. Jadi tidak ada alasan Mega menolak. Namun pertimbangan politik akan rumit. Mega kawatir kalau sampai keberadaan Ahok dipakai oleh lawan politik untuk mendiskriditkan PDIP sebagai partai anti islam. Karena Mega punya pengalaman kalah dengan Sby karena emosi agama itu. Namun team PDIP bisa meyakinkan Megawati. Ahok siap maju dengan dukungan PDIP.


***

Teman saya yang juga pengusaha berada dibalik pencalonan Anies sebagai Cagub DKi bercerita. Anies setelah berhenti sebagai menteri, berusaha untuk bertemu dengan Jokowi. Namun Jokowi tidak bersedia bertemu. Melalui ring 1 presiden, Anies berhasil menyampaikan pesan kepada Sekneg untuk minta dukungan Jokowi maju sebagai Cagub DKI. Anies punya alasan. Karena dia team sukses Jokowi dalam Pilpres 2014. Tetapi setelah tiga bulan tidak ada jawaban dari Jokowi. Kemudian, Anies dapat telp dari JK bahwa dia akan dukung Anies jadi Cagub DKI. Jk yang atur soal biaya dan termasuk mendapatkan dukungan dari Prabowo dan PKS.


Apakah ini inisiatif JK? Yang jelas ada peran salah satunya. Yaitu Jokowi atau Mega yang menempatkan Jk sebagai posisi creator keberadaan Anies sebagai cagub DKI.


Menurut teman saya. Setelah peristiwa 411 dan 212, PDIP terkejut. Apa yang dikawatirkan Mega terbukti sudah. Semua ormas islam, dari NU, Muhammadiah, MUI dan lain lain ada dibalik aksi tersebut.  Semakin antipati setelah Ahok menyudutkan Ma’ruf Amin dalam sidang pengadila. Dalam pertemuan dengan ulama di Istana, jelas para ulama lebih banyak suara yang menentang Ahok sebagai Gubernur daripada yang mendukung. Kalau sampai ini tidak diredam, maka AHY dari Demokrat dipastikan akan menang. Kemenangan itu akan sekaligus menciptakan stigma PDIP anti Islam. Bukan tidak mungkin aka menjadi bola salju dukungan umat islam ke PD seperti tahun 2004. Sehingga dari sebagai Gubernur DKI, AHY akan terlontarkan sebagai RI 1 dalam pemilu 2019. 


Apa yang terjadi kemudian? Anies dari yang tidak diperhitungkan, bisa maju putaran kedua dalam Pilgub DKI. AHY malah tereliminasi. Ongkosnya adalah Ahok harus kalah. Dikalahkan secara politik, bukan oleh pilkada. Setelah itu, reward bagi PDIP dan Jokowi adalah ormas islam besar seperti Muhammadiah, NU dan MUI kembali memberikan dukungan kepada pemerintah. Tentu dukungan mereka tidak 100%. Tetap waspda dan hati hati menyikapi langkah Jokowi dan PDIP. Dari proses dan ongkos politik itu memang dibayar lunas dengan menangnya Jokowi- Ma’ruf Amin dalam Pilpres 2019. 


***

Kalau periode ke 1 Jokowi lebih banyak kompromi dengan PDIP melalui peran JK sebagai Wapres. Namun periode ke 2 ini, peran ring 1 terutama LBP sangat berpengaruh besar. Megawati punya agenda dasar yaitu disamping menjaga stabilitas ekonomi dan loyalitas TNI, juga menjaga hubungan baik dengan umat islam dan  menjaga perasaan umat islam. Sikap ini dibaca dengan baik oleh lawan politik PDIP untuk memainkan kartu umat islam dalam intrik politik menuju 2024. Sukses agenda dasar itu aakan memudahkan meraih Agenda lain yaitu  memastikan Calon PDIP menang dalam Pilpres 2024. 


Namun LBP orang yang sangat dipercaya oleh Jokowi punya pandangan lain. Teman saya pernah menceritakan pertemuan antara Megawati dan Jokowi ketika sedang membahas calon anggota kabinet. “ Aku engga mau ada dia itu. Sudah cukup 1 periode.” Kata Mega.

“ Apa engga boleh saya pilih teman saya satu saja.”  kata Jokowi.  Karena itu Mega engga bisa nolak LBP. LBP sadar bahwa keberadaannya tidak diinginkan Megawati secara personal. Wajar saja bila diapun tak berharap banyak PDIP bisa menang lagi dalam Pemilu 2024. Karena Jokowi tidak akan mencalonkan diri lagi. Tentu dia berharap calon lain yang akan muncul dan itu tentu tidak dari PDIP. 


LBP itu orang rasional. Dia melihat atas dasar elektabilitas. Saat sekarang elektabilitas tertinggi tetap Ganjar dari PDIP, Kemudian Prabowo dan Anies. Namun selisih mereka bertiga itu tipis sekali. Artinya dia melihat ke Prabowo dan Anies. Kalau prabowo bergabung ke PDIP maka tentu pilihannya ke Anies. Nah kelemahan PDIP yang sangat hati hati menyikapi perasaan umat islam tentu diperhatikan dengan baik oleh LBP. Dinamika politik baru baru ini begerak cepat sekali.  Kepulangan MRS juga salah satu upaya PDIP membangun citra diri tidak anti islam. Sama halnya tawaran Jokowi kepada Abubakar bashir untuk menerima Grasi. Itu bukan karena  kemauan Jokowi, tetapi menjaga platform politik PDIP. Itu sebabnya Jokowi tidak bisa besikap tegas terhadap Anies dan MRS.


MRS memang bukan siapa siapa. Anies juga bukan siapa siap. Dia bukan kader partai. Tetapi mereka berdua itu dilambungkan keatas oleh  rekaya politik sehingga menjadi icon, yang apabila mereka dizolimi itu akan memicu persatuan umat islam. PDIP paham sekali dan itu jangan sampai terjadi. Lantas apakah PDIP harus berjalan dengan krikil dalam sepatu atau kutu dalam selimut? PDIP punya cara untuk membuang krikil dalam sepatu itu tanpa harus mengubah langkahnya. Bagaimana ? yang sangat paham soal itu adalah Wiranto dan JK.


***

Banyak orang melihat kedekatan LBP dengan Jokowi itu dengan konotasi negatif. Seakan LBP mengatur Jokowi. Sebetulnya tidak seperti itu. Terlalu besar posisi presiden yang dipilih langsung rakyat untuk  bisa dibawah kendali seorang LBP. Sama halnya terlalu merendahkan Jokowi kalau dibilang petugas partai. Benar, hubungan antara LBP dan Jokowi itu lebih bersifat personal. Namun   dalam sistem pemerintahan posisi Jokowi 100% memimpin semua hal. Itu bukan karena Jokowi presiden tetapi kecerdasannya memang teruji dalam mengelola koplik dan intrik antar berbagai kekuatan politik. 


Caranya? Jokowi focus kepada pembenahan ekonomi. Dia tahu bahwa awal kekuasaannya adalah euforia politik. Makanya kebijakan keras yang berhubungan dengan ekonomi dia lakukan. Misal memangkas belanja rutin APBN untuk disalurkan ke sektor infrastruktur dan sekaligus memperbesar ruang fiskal. Sehingga dia punya peluang untuk menarik hutang tanpa menekan rasio hutang terhadap PDB. Dengan demikian dia punya sumber daya keuangan untuk melaksanakan agenda politiknya. Untuk melaksanakan ini dia  butuh tangan kanan yang bukan hanya secara resmi membantunya tetapi juga secara personal ada di sampingnya. Wajar bila dia lebih mengandalkan LBP. 


Reputasi LBP memang sangat tinggi integritasnya, itu tidak perlu  Jokowi ragukan. Seperti upaya menggolkan tax amnesty, reformasi migas, UU cipta kerja, membangun hubungan kerjasama ekonomi dengan China, menyelesaikan sengketa laut china selatan dengan China, memperbaiki hubungan dengan AS, menyelesaikan masalah Freeport,  menghadapi sengketa dagang international dan lain lain. Itu semua kerja besar Jokowi , dan LBP ada dibalik itu semua, baik langsung maupun tidak langsung. Karena itu Jokowi punya bargain  position politik dengan PDIP dan partai lainya. Apalagi kinerja ekonomi dari tahun ketahun semakin baik.


Dalam menghadapi intrik politik dengan Partai dan ormas, LBP juga dimanfaatkan oleh Jokowi terutama melunakan oposisi, dan membangun koalisi yang kuat. Anda mungkin masih ingat, ketika Ahok bersikap keras kepada Ma’ruf Amin dalam sidang, Jokowi mengutus LBP kerumah Ma’ruf Amin untuk minta maaf. Dalam proses politik menjelang Pilpres, LBP ada digaris depan menghadapi dinamika politik. Sehingga PS tidak berpasangan dengan kelompok islam tetapi dengan Sandi, yang semua tahu sangat dekat dengan LPB. LBP juga terlibat secara tidak langsung mereformasi Golkar,PPP, PAN untuk loyal kepada Jokowi. Termasuk konsolidasi dengan TNI agar semakin solid melaksankan politik negara. Dan terakhir menarik Prabowo dalam barisan Jokowi.


Namun pencapaian itu semua berkaitan langsung dengan agenda politik dan ekonomi PDIP. Tidak  ada program Jokowi bertentangan dengan Nawacita. Jokowi tidak keberatan bila Sekretaris kabinet, BIN orang PDIP. Artinya dia bersikap transparans kepada PDIP. Singkatnya “ Saya komit untuk melaksanakan agenda partai. Tetapi dengan cara saya.” kira kira begitu sikap Jokowi kepada partai pendukungnya. Artinya dia lead, bukan follower. 


Namun lagi lagi dalam kontek politik nasional berkaitan dengan posisi PDIP, Jokowi tentu tidak bisa 100% berpihak kepada PDIP. Karena Jokowi presiden bagi semua partai dan semua golongan. Nah disinilah tarik menarik antara PDIP dan Jokowi terjadi. Dan hebatnya Jokowi, dia tempatkan dalam kuridor konstitusi. Artinya kalau memang Anies dan MRS melanggar hukum, biarkanlah hukum yang menyelesaikan. Dia tidak akan intervensi. Kalau ada pelanggaran hukum, siapapun, Jokowi tidak ikut campur. Apapun konsekwensinya, ya itu urusan hukum. Kalau karena itu ada intrik politik mempengaruhi aparat hukum, Jokowi engga ikut ikutan. Tapi kalau sampai aparat hukum keluar dari sistem, dia sendiri yang jewer seperti kasus pencopotan dua kapolda setelah kedatangan MRS. 


***

Tahun 2004, ada pesawat Amerika Serikat mendarat di Halim lengkap dengan tim intelijen. Mereka mendatangi rumah Presiden – yang waktu itu dijabat Bu Mega, untuk meminta Ustaz Abu Bakar Ba’asyir. Tetapi dengan tegas Mega menolak permintaan itu. Alasannya, Ustadz Ba'asyir adalah warga negara Indonesia yang harus dilindungi dan tidak bisa diambil begitu saja. Begitu jiwa nasionalisme Mega. Walau kepada teroris rasa keadilanya tetap ada. Walau karena itu dia harus berhadapan dengan tekanan dari AS, Polisi dunia. Mega sangat memahami akar masalah bangsa ini. Golongan islam bukan musuh. Kalaupun ada perbedaan, itu tidak harus jadi penindasan karena alasan politik. Harus kasus per kasus dan diselesaikan secara hukum.


Sikap tegas pembelaan Mega bukan hanya kepada umat islam. Kepada minoritas juga sama. Dia tak takut mendukung Ahok sebagai Gubernur DKI walau ongkos politik mahal sekali dan dia harus berkompromi akibat tekanan sentimen agama yang tak bisa dikendalikan pemerintah. Dia harus mengalah tapi bukan kalah. Setelah Ahok keluar dari Penjara, Ahok dipersilahkan menjadi kader partai PDIP. Anda bisa bayangkan. Orang islam khususnya lawan politik PDIP kalau menyebut nama ahok langsung ingat penistaan agama. Tetapi Mega tidak peduli. Ahok salah ya hukum menyelesiakannya. Setelah itu hak politiknya harus dibela. Termasuk mendorong Ahok jadi Preskom Pertamina.


Sikap Mega ini sejalan dengan sikap Jokowi. Mungkin Jokowi belajar dari Megawati. Mereka berdua ini sangat hati hati menjaga perasaan umat islam khususnya tokoh agama. Jokowi tidak ragu menuntun tangan Kiyai. Dan mencium tangan kiyai.  Tak terbilang hujatan dan fitnah datang ke Mega dan Jokowi. Namun tidak pernah disikapi berlebihan oleh mereka. Kalaupun karena ada yang dipenjara bukan karena mereka tetapi karena delik aduan dari masyarakat yang tidak nyaman pemimpinnya difitnah. Karena sikap Jokowi ini membuat sebagian pendukungnya tidak sabar. Mereka anggap Jokowi lemah dan tidak bisa tegas dengan kelompok intoleran.  Tapi itulah harga yang harus dibayar menjadi bapak bagi semua orang.


Ya kadang kita lupa. Jokowi adalah presiden bagi semua golongan. Bukan hanya mereka yang memilihnya tetapi juga yang tidak suka dengan dia. Bukan hanya mereka yang memujinya tetapi juga yang membencinya. Dalam sistem demokrasi ukuran salah atau benar itu adalah hukum. Bukan soal perasaan suka dan tidak suka. Siapapun yang melanggar hukum, apapun alasannya dia akan berhadapan dengan pedang hukum. Misal, mengapa Jokowi tidak bisa keras dengan pelaku aksi teror dan radikalisme. Itu karena hukum yang tersedia memang menempatkan mereka itu sebagai kejahatan sipil. Jadi tidak mungkin dihadapi dengan cara kekerasan lewat kekuatan militer. 


Nah UU itu diubah dan diperbaiki. Tahu 2018 UU anti teror disahkan. Tetapi sampai sekarang belum ada Perpresnya. Karena ada keberatan dari DPR. Anggap pemerintah islamphobia. Kalau dipaksakan akan jadi masalah baru dari elite islam. Jokowi dan mega tidak berseteru dengan elite islam. Jadi terpaksa harus sabar sampai ada konsesus dari elite politik agar Perpres ini bisa efektif sehingga TNI bisa dilibatkan dalam operasi anti teror. Tapi bukan karena itu upaya menangkal radikalisme jadi lemah. Operasi intelijen terhadap kelompok radikalisme tetap dilakukan dengan sangat serius.  Sejak era Jokowi anggaran BIN naik 4 kali lipat. UU Ormas disahkan. UU ITE di revisi. Secara hukum sikap radikalisme itu sudah diantisipasi. 


Ada anggapan bahwa karena sikap lemah Jokowi itu akan membuat Indonesia dikalahkan oleh kaum radikalisme. Kita akan bernasip sama dengan Suriah, Mesir dan lainya ya seperi tragedi Arab Spring. Sebetulnya kalau kita pelajari, kasus arab spring itu terjadi bukan  bersumber karena intoleran atau radikalisme.  Penyebab atau pemicu utama karena krisis pangan. Harga gandung melambung dan pemerintah tidak bisa lagi menyangga harga sesuai dengan kemampuan rakyat. Saat itulah keresahan meluas. Resa lapar. Nah saat itulah dimanfaatkan oleh kelompok radikalisme dan proxy asing untuk merebut kekuasaan. Jadi radikalisme itu hanyalah penyedap rasa untuk meletusnya chaos sosial akibat krisis pangan. 


Jokowi tahu bahwa pangan itu sudah jadi alat politik bagi elite, di samping sebagai sumber rente juga sekaligus bargain politik terhada pemerintah. Makanya dengan cepat jokowi menunjuk Budi Waseso sebagai Ka Bulog. Dia tahu bahwa Buwas mantan Kabareskrim sangat hapal pemain mafia pangan dan tahun siapa elite politik dibalik sembilan naga. Tentu dia tahu menghadapi mereka. Jokowi memberikan kepercayaan penuh kepada Buwas. Kini Indonesia terlalu kuat untuk krisis pangan. Stok pangan dikuasai Bulog 8 bulan. Apa artinya chaos sosial karena agama itu tidak akan terjadi. Karena untuk melibatkan semua orang atau diatas 10% berontak perlu alasan kuat. Alasan yang takbisa dibantah adalah soal perut, bukan agama. Politisasi Agama itu hanya micin. Engga lebih.!


***


Proses dan dinamika politik yang terjadi tidak bisa lepas dari operasi intelijen yang rumit. Sehingga ada yang kena trap dan keselek bakiak. Ada yang tersenyum menikmati semua itu. Fenomena MRS tidak datang dengan sendirinya. Ini by design. Engga mungkin dilakukan oleh FPI sendiri, tanpa bantuan mesin partai dan logistik kuat. Mudah ditebak siapa di balik itu semua. Bisa  dilihat dari sikap mereka terhadap keterlibatan TNI menurunkan Baliho ini. Perhatikan sikap partai berikut ini. 


Yang jelas mendukung MRS dan menolak keterlibatan TNI adalah PKS,  Gerindra, Nasdem, PPP, PKB.  PKS berkomentar “Reformasi menempatkan TNI sebagai kekuatan pertahanan untuk menjaga kedaulatan wilayah NKRI. Tugas utamanya perang melawan musuh negara yang mengancam kedaulatan, kelompok sparatis, dan kekuatan asing yang mengancam. Sehingga mohon jangan sampai sikap, kata, dan tindakannya terjebak politik praktis menyangkut dinamika politik di dalam masyarakat,  Nasdem “ Aspek keamanan lingkungan itu domain aparat keamanan, bukan pertahanan. Urusan kriminal, itu urusan polisi. Soal baliho, itu urusan Satpol PP. Jadi mestinya, dalam hal ini, Satpol PP yang melakukan itu. 


Gerindra “ Rakyat Indonesia mencintai TNI. Kami tidak rela muruwah TNI turun karena urusan baliho. Urusan baliho itu urusan Satpol PP. Kalaupun ada pelanggaran hukum, itu urusan kepolisian, bukan TNI. TNI adalah tentara rakyat. Mari bersama kita jaga NKRI untuk tetap Jaya” 


Nah yang mendukung sikap TNI adalah Golkar, PDIP.  Golkar berkomentar terkesan normatif“ Apa yang diutarakan Pangdam Jaya sudah sesuai dengan aturan UU yang berlaku. Mereka tuh melanjutkan apa yang Panglima TNI ucapkan sebelumnya. Jadi ini sudah searah, dan juga ini menegakkan aturan UU. Jadi tidak ada yang dilanggar, justru ini menegakkan.” Sementara PDIP “ mendukung langkah TNI yang mencopot baliho Habib Rizieq Syihab. Dia menilai, TNI harus turun tangan ketika ada ancaman terhadap negara.”


Sementara PD bersikap dengan nada menyidir kepada pemerintah “  Kerterlibatan TNI itu menandakan bahwa negara sudah tidak mampu memainkan perannya sehingga harus menurunkan TNI untuk mencopoti spanduk Habib Rizieq" Apa yang menjadi sikap PD senada dengan Jusuf Kalla “ Kenapa ratusan ribu orang itu, kenapa dia tidak percayai DPR untuk berbicara? Kenapa tidak dipercaya partai-partai khususnya partai Islam? Untuk mewakili masyarakat itu. “ Namun sikap JK lebih kepada menyindir partai Islam yang gagal menjadi tokoh seperti MRS.


Kalau diperhatikan semua partai Islam berada dibalik fenomena MRS. Walau PKB dan PPP adalah teman koalisi PDIP tetapi tetap saja keluar watak aslinya yang tidak 100% mendukung Jokowi dan PDIP.  Bagi Jokowi dapat memaklumi ini. Secara politik mereka pantas kecewa dengan Jokowi. Kamu bayangin aja. Tadinya Sertifikasi Halal , dana haji , itu financial resource bagi elite ormas islam. Itu engga kecil loh. Itu sumber daya keuangan puluhan triliun. Sekarang sertifikasi halal dan dana haji diambil alih negara. Kebayang dech, sebelumnya mereka hidup senang dari patron tetapi sekarang itu pahit banget hidup. Artinya kekuatan politik memang didesain untuk memotong sumber daya keuangan elite ormas islam.


Gurita ekonomi dan Politik cendana itu masih sangat luas di Indonesia dan mereka berada di belakang elite Islam. Bambang Tri dicekal oleh kejaksaan. Ini operasi menyasar kemana mana. DPR sudah meratifikasi kerjasama dengan Swiss tahun ini untuk memburu money laundry. Saya dengar kabar beberapa pengusaha sudah mulai stress dengan sikap SMI menyentuh Bambang Tri itu. Kasus Jiwasraya itu keliatan sederhana. Tetapi sangat politis. Kasus Mayapada dan Bukopin itu juga langsung menyentuh ujung rahim elit senior partai. Beberapa eiite Partai tersangkut. Tetapi sengaja disandera secara politik.


Puncaknya adalah disahkannya UU Cipta Kerja. Disahkannya UU ini tidak mudah dan tidak ikhlas bagi anggota DPR. Ini yang dihantam adalah statusquo sistem birokrasi dan otonomi daerah yang selama ini sebagai sumber rente bagi elite partai. Tetapi karena segudang kasus elite yang di trade off  terpaksa UU ini disahkan DPR. Yang namanya engga ikhlas, tentu kapan saja bisa jadi masalah kalau ada kesempatan. Tetapi apa mau dikata. Itu sudah dikunci oleh PDIP. Ada PDIP man di jatung penegakan hukum; Kejaksaan agung, BIN, KPK , BPK. Mereka akan kawal itu dengan baik. Setiap gerakan, akan berujung kasus. Karena stok kasus di tangan mereka buaaanyak.

Apa tujuannya? agar politik tetaplah politik. Tidak tercemar oleh pengusaha rente. Proses politik adalah proses konstitusi tanpa tercemar politik identitas. Siapapun boleh tampil sebagai pemenang asalkan dia memang dicintai rakyat dan mampu. Ya seperti layaknya kerja profesional. Kedatangan MRS dengan segala riak, adalah trial and error sejauh mana pemerintah lead atas semua sumber daya. Tentu penyelesaian bijak akan bertumpu kepada rekonsiliasi. Bukan antara MRS dengan pemerintah. Tetapi antara sesama elite saja; Partai dan Ormas. Tentu rekonsiliasi untuk rakyat, bukan bagi bagi kavling sumber daya. Di sinilah peran TNI sebagai penyeimbang.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Inflasi momok menakutkan

  Dalam satu diskusi terbatas yang diadakan oleh Lembaga riset geostrategis, saya menyimak dengan sungguh sungguh. Mengapa ? karena saya tid...