Sabtu, 27 Juni 2020

Ketuhanan yang Berkebudayaan ?


Pasal 7 dalam RUU HIP terdapat frasa "Ketuhanan yang Berkebudayaan”.  Beberapa pihak protes soal frasa itu. Mereka anggap frasa itu menghilangkan nilai agama pada Pancasila. Padahal kalau berangkat dari keberadaan Pancasila, maka sebetulnya Pancasila itu bukan pedoman beragama tetapi pedoman bernegara, yang disebut dengan filsafah. Kalau persepsi tentang Pancasila itu ajaran agama, artinya kita terjebak dengan negara agamais. Engga begitu. Sebaliknya kalau persepsi Pancasila itu sekuler, kita akan menapik eksistensi Agama. Tidak juga tepat.  Yang harus dipahami bahwa pancasila itu filsafah. Cukup. Tidak perlu dipersepsikan ke kanan atau ke kiri. Mengapa? dari persepsi agama, Pancasila tidak bertentangan dengan ajaran agama. Dari persepsi sekular, Pancasila tidak bertentangan dengan kebenaran universal.

Untuk memperjelas tentang RUU HIP, ada baiknya kita pahami perbedaan frasa: budaya dan kebudayaan. Perbedaan frasa :  tuhan dan Ketuhanan. Ini penting agar kita bisa mendudukan persoalan dengan tepat, dan tentu tepat juga bersikap atas polemik. KIta tidak bisa bersikap dengan asumsi dan persepsi sendiri tentang RUU HIP. Karena RUU itu dilengkapi dengan kajian akademis, yang tentu sudah mempertimbangkan semua aspek akademis terhadap perlunya RUU itu. Saya tidak dalam posisi membela atau menolak. Saya hanya minta kita semua berpikir jernih dalam menghadapi polemik politik kebangsaan. Perbedaan itu biasa dalam demokrasi. Tetapi jangan karena perbedaan itu kita jadi hakim diatas asumsi dan persepsi yang salah. Dan tentu jangan sampai menjadi sumber masalah. Nah saya akan bahas soal frasa itu.

Pertama, Budaya itu berhubungan dengan tradisi yang sudah ada turun temurun secara genetis. Contoh orang suka sex, baju bagus, rumah bagus, harta, uang, itu budaya. Sementara kebudayaan itu adalah nilai nilai atau akal budi , kepercayaan yang ada pada budaya itu. Contoh orang suka, sex, kebudayaan mengatur tradisi menikah.  Orang pakai baju bagus, kebudayaan mengatur pakaian yang sopan. Apapun modelnya terserah saja.  Orang suka harta, kebudayaan mengatur soal moral dan etika dalam mendapatkan harta. Orang suka kekuasaan, kebudayaan mengatur soal kejujuran, amanah dan taggung jawab. Untuk lebih lengkapnya anda bisa baca buku " Teori Budaya" yang ditulis oleh David Kaplan dan Robert A. Manners

Kedua, setelah kita pahami apa beda budaya dan kebudayaan. Sekarang kita pahami apa itu Tuhan dan Ketuhanan. Bahwa tuhan itu bukan terminologi agama. Bagi islam tidak ada tuhan, selain Allah. Begitu juga umat kristen , dan lainnya. Bagaimana dengan ketuhanan? Ketuhanan itu bukan terminologi spesifik pada agama tertentu. Tetapi itu adalah konsep filsafah memahami Tuhan. Lebih kepada keyakinan yang bersumber pada pengetahuan ilmiah sehingga dapat diuji kebenarannya. Maka ketuhanan merupakan suatu kebenaran yang dapat diterima oleh akal pikiran dan kaidah-kaidah logika. Untuk lebih jelas anda bisa baca buku " Filsafat Ketuhanan Studi Relasi Tuhan dan Manusia", oleh  Gazali. 

Nah sekarang kita sampai pada frasa “ ketuhanan yang berkebudayaan”.   Perhatikan frasa itu, “ketuhanan”, bukan “tuhan”. “Kebudayaan”, buka “budaya”. Mengapa ? karena terminologi tuhan itu adalah berhubungan dengan budaya. Anda suka uang. itu budaya. Anda suka sex , itu budaya, Anda suka harta, itu budaya. Anda suka baju bagus, itu budaya. Anda menghormati patron atau tokoh agama, itu budaya. Anda suka kekuasaan, itu budaya.  Yang jadi masalah adalah apabila budaya budaya itu menjadi Tuhan.  Orang bijak berkata " jangan mentuhankan harta, mentuhankan istri, mentuhankan uang, mentuhankan kekuasaan atau patron. Karena itu semua berhala. Peradaban akan hancur kalau kita menyembahnya. Karena jelas tidak sesuai dengan "Ketuhanan yang berkebudayaan" yang mengharuskan tunduk kepada nilai nilai  kebudayaan yang bertumpu kepada etika, moral, norma atau akal dan budi. 

Nah kembali kepada pertanyaan, mengapa ada tokoh agama justru yang menentang istilah Ketuhanan berkebudayaan? Teman saya menjawab pertanyaan ini "  karena mereka sudah jadi tuhan. Mana mau mereka menerima konsep ketuhanan berkebudayaan. Sama halnya ex orba juga menentang. Karena mereka pernah merasakan jadi tuhan di negeri ini. Jadi tuhan itu enak. Tanpa kerja bisa kaya raya dan punya selir banyak. Persepsi mereka sudah terbentuk bahwa Pancasila itu pintu masuk mendirikan khilafah atau negara islam. Yang memang orientasinya kepada mentuhankan diri dan kekuasaan dihadapan rakyat." Saya tidak sepenuhya setuju. Karena perbedaan pendapat itu diakui dalam sistem demokrasi. Biasa saja.

Tetapi memang banyak orang menentang HIP sebetulnya mereka sendiri tidak paham struktur UU dan dasar konsiderannya. Mereka pikir UU HIP itu akan mengubah Pancasila. Pancasila itu dasar dari dasar UUD45. Bagaimana mungkin UU HIP bisa mengubah Pancasila?. Jadi itu cara berpikir yang tidak tepat. Mereka mempermasalahkan dalam RUU HIP tidak ada konsideran TAP MPRS XXV Tahun 1966 tentang larangan PKI dan ajaran komunis. Padahal tap MPRS XXV itu sudah ada pada  ketetapan MPR RI Nomor I/MPR/2003 sebagai konsideran RUU HIP.  Karena tahun 2003, semua TAP MPRS digabung dalam TAP MPR. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Mengapa negara gagal ?

  Dalam buku   Why Nations Fail  , Acemoglu dan Robinson berpendapat bahwa pembangunan ekonomi dan kemakmuran atau kemiskinan suatu negara d...