Kamis, 04 Juni 2020

Saudi tunda haji, perang jalan terus.



Sesuai protokol kesehatan dalam rangka menekan penularan COVID-19, Arab Saudi tidak mengeluarkan VISA haji sampai dengan akhir juli. Artinya dapat dipastikan, tahun ini tidak ada ritual haji bagi umat islam. Padahal di tengah krisis ekonomi akibat jatuhnya harga minyan dan Gas, sumbangan wisata ziarah ( haji & umroh ) sangat significant bagi perekonomian Saudi. Setiap tahun Sekitar 7 juta wisatawan mengunjungi kerajaan Arab. Banyak dari mereka yang berziarah ke kota suci Mekah dan Madinah. Kementerian Haji dan Umrah Saudi mengatakan bahwa wisata Ziarah menyumbang sekitar 20% dari produk domestik bruto non-minyak, dan 7% secara keseluruhan. 

Artinya kalau tidak ada COVID-19, walau harga minyak jatuh, Saudi tetap bisa survive.  Bayangkan saja, 30% dari pendapatan sektor swasta di Mekah dan Madinah berasal dari ziarah.  Apa yang terjadi bila kegiatan Umroh dihentikan sejak bulan februari, dan Haji ditiadakan. Tidak sedikit terjadi penurunan ekonomi. Lantas apa yang membuat begitu kawatir Saudi terhadap penularan COVID-19? Ritual Umroh dan haji itu adalah ritual berjamaah yang membuat orang berada pada pusat kerumunan. Karena jadwal setiap jamaah sama. Seperti ritual Tawaf, Sai, jumroh lempar batu, Arafah. Di samping itu Arab dekat dengan Iran sebagai pusat penyebaran virus COVID-19 di tmur tengah. Terlalu beresiko bila dua kota Suci dibuka untuk umum. Bukan hanya kegiatan Haji dan Umroh yang ditunda. Saudi juga penolak penerbangan dari 16 negara di ASIA, termasuk Korea, Jepang dan China.

Tapi anehnya, di tengah pandemi COVID-19, pertengahan Maret , koalisi Saudi menerima usulan dari PBB agar melakukan gencatan senjata terhadap perang di Yaman. Koalisi Saudi mengusulkan dua minggu gencatan sejata. Namun gencatan senjata ini tidak disikapi oleh koalisi Arab dan Houthi dengan serius. Houthi melancarkan serangan di beberapa distrik di provinsi Marib dan Al-Jawf di timur laut. Mereka juga menembakkan dua rudal balistik di kota-kota Saudi, Riyadh dan Jizan. Ini kali pertama Rudal sampai ke wilayah Saudi sejak perang dengan Yaman terjadi. Tentu Saudi membalas dan perangpun tak bisa dihentikan walau pandemi melanda. Gencatan senjata hanya pada retorika politik saling,  membunuh terus aja. 

Bagaimana dengan Yaman? Perang selama lima tahun hampir menghancurkan sistem kesehatan masyarakat Yaman, menambah penderitaan di antara populasi yang sangat miskin dan kelaparan. Organisasi Kesehatan Dunia telah memberikan beberapa dukungan ke pusat-pusat medis di Aden, Sanaa, dan Mukala untuk merespons jika suatu kasus COVID-19 terkonfirmasi. Hingga kini, hanya ada satu kasus yang dilaporkan mengenai COVID-19. Tetapi aktifis kesehatan dan WHO tidak percaya. Apa urusanya bagi Yaman. Anda mau percaya atau tidak, toh kematian sangat akrab bagi rakyat Yaman. Kalau memang anda peduli kepada COVID-19 atas dasar kemanusiaan. Cobalah suruh koalisi Arab  tidak ikut campur dengan urusan dalam negeri Yaman.  

Di Saudi, di tengah pandemi COVID-19, penundaan haji, penutupan bandara bagi 16 negara asia, namun perang dengan Yaman tetap jalan terus. Saling lempar rudal dan saling membunuh. Pandemi COVID -19 Saudi tercatat 93.000 confirmed dan angka kematian mencapai 611. Tetapi kematian karena perang di Yaman sejak tahun 2015 mencapai 91.000 orang dan lebih 90.000 orang mati kelaparan, terutam anak anak. Entah berapa orang mati di Yaman karena COVID-19. Karena semua infrastruktur kesehatan hancur! Kalaupun ada banyak kasus COVID-19, mau dirawat di mana ? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Memahami ekonomi makro secara idiot

  Berita media massa soal kinerja pemerintah dan terkait utang selalu bias. Bukan pemerintah bohong. Tetapi pejabat yang melakukan pers rele...