Tadi saya diskusi dengan teman. Kebetulan kami berdiskusi soal polemik sekitar HIP atau haluan Idiologi Pancasila. “ Kamu tahu, kalau baca Pancasila dan UUD 45 pasal 29, sebetulnya design Pancasila itu lahir dari pemikiran Atheisme. “ Katanya. Saya sempat bengong. Berani amat nih teman membuat kesimpulan seperti itu. Coba pahami, lanjutnya. Kalaulah Pancasila itu didesain sesuai dengan ajaran salah satu agama. Pasti sampai sekarang kita tidak akan pernah merdeka. Tidak akan ada persatuan di Indonesia. Karena memang tidak ada persamaan persepsi diantara golongan agama.
Apa hubungannya dengan Atheisme? Bukankah Atheisme itu anti Tuhan? Tanya saya. Dengan tersenyum dia katakan, atheisme bukan anti Tuhan. Mereka menolak persepsi Tuhan seperti ajaran agama. Kaum atheisme menempatkan agama bukan kebenaran absolut tetapi sebagai sebuah dialektika. Mereka percaya eksitensi Tuhan sebagai hal yang Transenden. Namun mereka menolak definisi Tuhan seperti ajaran Agama. Bagi mereka persepsi Tuhan itu melewati akal ; Tuhan tak berbilangan satu , dua atau tiga atau banyak. Bukan Tuhan itu atau ini. Tuhan tak terdefinisikan.
Dalam dimensi semesta, apapun itu hanya persepsi, yang selalu berujung kepada nihil ( ketiadaan), dan kembali kepada diri sendiri. Misal Mangga. Warnanya kuning. Rasanya manis. Kalau dibanting terdengar suara lembut. Warna kuning itu bukan karena mangga. Tetapi karena mata. Rasa manis itu bukan karena mangga tetapi karena lidah kita. Suara itu bukan karena mangga tetapi karena telinga kita. Andaikan kita tidak ada mata, telinga dan lidah. Apakah mangga itu ada? Kan engga ada. Artinya mangga itu hanya konsepsi. Sementara rasa manis, suara, dan warna itu hanya persepsi. Konsepsi itu bukan eksistensi itu sendiri dan persepsi hanyalah fiksi. Memahami tentang materi saja kita gagal apalagi mau mendefinisikan Tuhan.
Nah dengan pendekatan ini, sila pertama dalam Pancasila ditetapkan, dengan menyebut Tuhan Yang Maha Esa. Esa itu merujuk pada bahasa sansekerta, yang bentuk kata bendanya adalah Etad artinya, as this, as it is, the. Singkatnya nirmakna. Nirmakna artinya persepsi Tuhan tidak merujuk spesifik kepada salah satu agama. Tetapi secara universal, tentang humanisme, rasionalisme, dan naturalisme, dan itulah pemahaman kaum atheis. Bahasa romantisnya “ kita memang berbeda persepsi tentang Tuhan namun satu dalam kemanusiaan. Apakah ada yang lebih tinggi dari kemanusiaan? Orang beragama dianggap tidak ber Tuhan bila tidak ada nilai kemanusiaan.
Lantas mengapa sampai semua agama di Indonesia menerima persepsi Tuhan seperti kaum Atheis itu? Tanya saya semakin penasaran. Menurutnya ajaran agama yang tertuang dalam kitab mulia itu, diterjemahkan oleh kaum agama dalam teologi. Apa itu teologi ? Teologi adalah pengetahuan metodis, sistematis dan koheren tentang seluruh kenyataan berdasarkan iman. Secara sederhana, iman dapat didefinisikan sebagai sikap manusia di hadapan Tuhan, Yang mutlak dan Yang suci, yang diakui sebagai Sumber segala kehidupan di alam semesta ini. Bahwa Tuhan satu seperti dalam islam, Yesus anak Tuhan seperti Kristen, Dewa dewi dalam ajarang Budha dan Hindu, itu bukanlah definisi tentang Tuhan yang diimani. Itu hanya teologi. Ya dalam konteks teologi semua agama punya esensi yang sama tentang Tuhan.
Makanya ketika sila pertama ditetapkan sebagai Ketuhanan Yang Maha Esa, semua golongan agama, sepakat. Jangan kaget bila Pancasila tidak tertuju kepada prilaku ideologi apapun dan agama apapun. Ya sama dengan atheisme. Jadi kalau ada orang berusaha menyeret Pancasila seperti persepsi agama tertentu, atau idiologi tertentu, pasti akan tertolak dengan sendirinya. Pasti kacau pemahamannya. Tetapi sebagai sebuah kebenaran yang universal, Pancasila teruji dalam konteks teologi agama atau idiologi apapun.
Saya mengakhiri diskusi itu dengan tersenyum, membayangkan kaum agama yang menolak Haluan Idiologi Pancasila. Ingat juga kata Tan Malaka, " Ketika saya berdiri di depan Tuhan saya adalah seorang Muslim, tapi ketika saya berdiri di depan banyak orang saya bukan seorang Muslim, karena Tuhan mengatakan bahwa banyak iblis di antara banyak manusia! Secara romantis seperti ungkapan ini, “ hubungan saya dengan Tuhan itu masalah privat. Tidak perlu dibahas dan dibicarakan apa agama saya. Namun liatlah prilaku saya tentang kemanusiaan yang adil dan beradab, suka dipersatukan tanpa meliat perbedaan, gemar bermusyawarah demi kabaikan, dan cenderung kepada keadilan sosial. Kalau itu tidak nampak, apakah pantas saya menyebut diri sebagai orang beragama dan berTuhan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.