Rabu, 01 Juli 2020

Marahnya Orang Jawa.



Jokowi berbicara di depan sidang kabinet dengan nada yang dianggap sebagian orang keras dan terkesan marah. Namun bagi saya itu biasa saja. Masih rasional. Tidak ada kosa kata keluar “ Kurang ajar” seperti ngocehnya anggota DPR dari etnis Arab dalam rapat kerja dengan Dirut Inalum. Atau tidak seperi HRS yang bicara keras di mimbar sampai bilang “ Pancasila di Pantat”. Jokowi berkata dengan tetap dalam kapasitas yang menjadi wewenang dia sebagai presiden. Tidak ada satupun kalimat yang menyerang secara personal kepada pihak tertentu. Yang jadi menarik sampai diartikan macam macam pidato presiden. Dibilanglah itu cermin dari kegagalan presiden. Padahal itu bagian dari seni memimpin dan berkomunikasi kepada bawahan. Biasa saja. 

Hanya saja karena Jokowi itu orang Jawa Solo. Memang engga pernah terdengar dia bicara keras seperti etnis Arab atau Betawi atau Sumatera. Saya punya banyak teman orang Jawa, dan bahkan mitra bisnis saya sebagian besar orang Jawa. Apa yang saya tahu tentang mereka.  Dalam kondisi apapun, suara mereka tetap lebih rendah daripada suasana hatinya. Mereka sangat cerdas menyembunyikan suasana hatinya. Sehingga kalau mereka berbeda pendapat atau tidak suka denga kita, tetap wajah mereka terkesan bertolak belakang dengan suasana hatinya. Kalau bisa senyum mereka akan tetap tersenyum. Kalau sudah keterlaluan, ya mereka memilih diam. Dan kelau nantinya mereka bersikap, itupun tanpa perlu memberikan penjelasan, yang akan membuat kita tersinggung atau terluka hati kita.  Bagi mereka tidak menjawab, adalah jawaban itu sendiri.

Kalau anda sudah terbiasa bergaul dengan beragam etnis dan bangsa, anda akan sampai pada pemahaman tentang kebudayaan. Bahwa bahasa itu bagian dari kebudayaan. Orang Barat selalu sikapnya disampaikan dalam bentuk verbal atau ungkapan kata kata.  Orang China punya cara menyampaikan sikap dalam kosa kata sesuai tingkatan kepatutan. Artinya intonasi nada suara tidak diperlukan. Karena penggunaan kosa kata sudah menjelaskan sikapnya. Orang minang menggunakan bahasa “mampek”. Budaya arab memang keras. Sama seperti orang betawi. Cara mereka berbicara tentu berbeda jauh dengan orang Jawa. 

Kalau kita memahami bahwa bahasa itu adalah kebudayaan, kita harus bisa memaklumi perbedaan. Jangan pula kita mengukur budaya orang seperti budaya kita. Contoh cara jokowi berbicara di panggung kepada rakyat dengan berbagai tingkatan. Dia menghadiahkan sepeda. Itu juga cara berkomunikasi orang Jawa yang suka menyampaikan maksud dan tujuannya lewat simbol. Tidak ada ilmu yang bisa memastikan bagi pemula bisa dengan mudah mengendarai sepeda kecuali dia harus berani mengendarainya walau karena itu harus terjatuh lebih dulu. Kehidupan juga begitu. Apapun ilmu dan kata kata, pada akhirnya kinerja lah jadi ukuran. Tuhan menilai orang dari  niat dan perbuatan, bukan dari kata kata. Jadi jangan mudah baper dengan kata kata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Inflasi momok menakutkan

  Dalam satu diskusi terbatas yang diadakan oleh Lembaga riset geostrategis, saya menyimak dengan sungguh sungguh. Mengapa ? karena saya tid...