Rabu, 07 November 2018

Arab Saudi dan gerakan HT



Muhammad bin Abdul Wahhab
Tersebutlah dua orang sahabat yang saling melengkapi. Satu bernama Muhammad bin Abdul Wahhab. Ia dikenal sebagai ulama hebat. Satu lagi bernama Muhammad bin Saud. ia seorang politisi dan juga pemimpin dari Al-Diriyah. Kedua orang ini membangun gerakan politik bernama Wahabi Salafi atau Wahabi di kawasan Najed di semenanjung jazirah Arab pada akhir abad ke-12 hijriah. Secara politik, wahabi memang bertujuan menghilangkan persepsi umat bahwa kekuasaan tidak berasal dari keluarga nabi. Apapun yang mengkultuskan keluarga Nabi Muhammad dianggap sesat.Tentu tujuan politik adalah melegitimasi Ibnu Saud sebagai khalifah untuk Arab. Maka berdirilah negara Arab Saudi pada tahun 1744 (1157 H).

Muhammad bin Saud
Makanya engga kaget bila pada tahun 1801 dan 1802, golongan Wahhabi Saudi di bawah Abdul-Aziz bin Muhammad menyerang dan merebut kota suci Syiah Karbala dan Najaf di Irak, dan menghancurkan makam Husain bin Ali, cucu Muhammad, dan Ali bin Abu Thalib, menantu Muhammad.  Cukup sampai disitu. Tidak.   Pada tahun 1803 dan 1804 orang-orang Saudi merebut Makkah dan Madinah dan menghancurkan berbagai makam Ahlul Bait dan para Sahabat, monumen kuno, situs dan reruntuhan Islam. Menurut Wahhabi, mereka "menghapus sejumlah dari apa yang mereka pandang sebagai sumber atau gerbang menuju perbuatan syirik - seperti makam Fatimah, putri Muhammad. Hal ini menyebabkan kemarahan kesultanan Utsmaniyah, yang telah menguasai kota suci sejak tahun 1517, dan membuat Utsmaniyah bergerak. Tugas untuk menghancurkan Wahhabi diberikan oleh Utsmaniyah pada raja muda kuat Mesir, Muhammad Ali Pasya. 

Muhammad Ali mengirim pasukannya ke Hejaz melalui laut dan merebutnya kembali. Anaknya, Ibrahim Pasha, lalu memimpin pasukan Utsmaniyah ke jantung Nejd, merebut kota ke kota, dan membuat pasukannya menghancurkan desa yang melawan dengan sedikit belas kasihan, kejadian yang masih diingat di Nejd sampai saat ini. Akhirnya, Ibrahim mencapai ibukota Saudi, Diriyah dan menyerangnya untuk beberapa bulan sampai kota itu menyerah pada musim dingin tahun 1818. Ibrahim lalu membawa banyak anggota klan Alu Saud dan Ibn Abd Al-Wahhab ke Mesir dan ibukota Utsmaniyah, Istanbul, dan memerintahkan penghancuran Diriyah, yang reruntuhannya kini tidak pernah disentuh kembali. Imam Saudi terakhir, Abdullah bin Saud dieksekusi di ibukota Utsmaniyah, dan kepalanya dilempar ke selat Bosphorus. Sejarah Negara Saudi Pertama berakhir.

Namun, Wahhabi dan klan Al Saud hidup terus dan mendirikan Negara Saudi Kedua yang berdiri tahun 1891. Kemudian digagalkan oleh Kesultanan Ustamaniah. Namun persekutuan kedua pendiri wahabi ini terus dilanjutkan oleh anak cucu mereka bahkan setelah cicit Ibnu Saud yang bernama lengkap Abdulaziz bin Abdul Rahman bin Faisal bin Turki bin Abdullah ibn Muhammad Al Saud (1876-1953 M) yang juga dikenal sebagai Ibnu Saud berhasil mendirikan kerajaan Arab Saudi (Al-Arabiyah Al-Saudiyah) pada tahun 1932. Itu berkat keluarga Saud melakuan konspirasi  dan aliansi dengan Inggeris dan Prancis menjatuhkan kesultanan ustmaniah di Turki yang berkuasa atas jazirah Arab. Pendirian negara Arab Saudi ketiga kali ini sampai sekarang masih bertahan. Namun kekuasaan Arab sudah dipreteli oleh Prancis dan Inggeris dengan menanamkan paham nasionalisme. Maka jazirah Arab menjadi beberapa negara seperti Irak, Iran, Suriah, kwait, Qatar, Jordan, Libanon. Khusus  Israel yang mendapatkan legitimasi tanah palestina dari transaksi jual beli kawasan hunian antara Baron Rothschild dengan inggeris sebagai pemilik tanah Palestina.

Walau Khilafiah Ustmaniah telah runtuh namun pengaruh idiologi khilafiah tidak hilang dikalangan elite politik di timur tengah. Mereka para elite itu yakin bisa menguasai kembali Jazirah Arab bersatu dalam khilafah islamiah.  Apalagi mereka tahu lahirnya Kerajaan Arab pada ketiga kalinya ini tidak dalam arti kehendak rakyat Arab. Itu berkat hadiah dari Prancis dan Inggeris sebagai pemenang perang dunia pertama menjatuhkan Dinasti Usmaniah yang berkuasa di jazirah Arab. Maklum para kepala Suku yang tergabung dibawah bendera Al Saud ikut terlibat membantu Prancis dan Inggris perang melawan pasukan Ustmaniah. Ada gerakan politik yang ada di Mesir yang tidak menerima campur tangan asing di Arab dan lebih menginginkan persatuan Arab. 

Hasan Al Banna
Gerakan itu adalah Ikhwanul Muslimin. Organisasi ini berdiri pada 1928. Pendirinya adalah Syaikh Hasan Al-Banna. Sebetulnya pemikiran Syaikh Hasan Al-Banna ini moderat. Dia berusaha mengakomodasi kelompok salafy yang wahabi, merangkul kelompok tradisional yang mungkin perilaku keagamaannya sama dengan NU dan juga merangkul kelompok pembaharu yang dipengaruhi oleh Muhammad Abduh. Syaikh Al-Banna menyatakan bahwa Ikhwanul Muslimin itu harkah islamiyah, sunniyah, salafiyah, jadi diakomodasi semua, sehingga ikhwanul muslimin menjadi besar. Dalam Ikhwanul Muslimin ada lembaga bernama Tandhimul Jihad. Yaitu institusi jihad dalam struktur Ikhwanul Muslimin yang sangat rahasia. Kader yang berada dalam Tandhimul Jihad ini dilatih militer betul, doktrinnya pakai kesetiaan seperti tarikat kepada mursyid. Ini dibawah komando langsung Ikhwanul Muslimin. Para militer atau milisi ini menarik kelompok-kelompok sekuler yang ingin belajar tentang disiplin militer. Mereka bagian dari militernya, bukan dari ideologi Ikhwanul Muslimin. Jadi mereka belajar aspek militernya. 

Taqiuddin Nabhani
Ketika pada 1948 Israel mempermaklumkan sebagai negara maka terjadi perang. Nah, Tandhimul Jihad ini ikut perang, dan kelompok ini yang punya prakarsa-prakarsa. Waktu itu Mesir kan masih dibawah kerajaan Raja Faruk dan sistemnya masih perdana menteri, Nugrasi. Tapi akhirnya Arab kalah dan Israel berdiri.  Nah, dalam kelompok ini ada Taqiuddin Nabhani yang kemudian mendirikan Hizbut Tahrir. Jadi Taqiuddin itu awalnya bagian dari Ikhwanul Muslimin. Namun antara Hasan Al-Banna dan Taqiuddin ini kemudian terjadi perbedaan. Hasan Al-Banna berprinsip kita terus melakukan perjuangan dan memperbaiki sumber daya manusia. Sedang Taqiuddin bersikukuh agar terus melakukan perjuangan bersenjata, militer. Taqiuddin berpendapat kekalahan Arab atau Islam karena dijajah oleh sistem politik demokrasi dan nasionalisme. Sedang Hasan Al-Banna berpendapat sebaliknya. Menurut dia, tidak masalah umat Islam menerima sistem demokrasi dan nasionalisme, yang penting kehidupan syariat Islam berjalan dalam suatu negara. 

Pada 1949 Hasan Al-Banna meninggal karena ditembak agen pemerintah dan dianggap syahid. Sedang Taqiuddin terus berkampanye di kelompoknya di Syria, Libanon dan Yordania. Kemudian Tandhimul Jihad diambil alih Sayid Qutub, ideologinya Ikhwanul Muslimin. Ia dikenal sebagai sastrawan dan penulis produktif, termasuk tafsir yang banyak dibaca oleh kita di Indonesia.  Sayid Qutub mendatangi Taqiuddin agar secara ideologi tetap di Ikhwanul Muslimin. Tapi Taqiuddin tidak mau karena ia beranggapan bahwa Ikhwanul Muslimin sudah masuk lingkaran jahiliyah. Ya, itu menurut Taqiuddin hanya gara-gara Ikhwanul Muslimin menerima nasionalisme. Akhirnya Taqiuddin mendirikan Hizbut Tahrir ( partai pembebasan). Maksudnya, pembebasan kaum muslimin dari cengkraman Barat dan dalam jangka pendek membebaskan Palestina dari Israel. Itu pada mulanya. Ia mengonsep ideologi khilafah Islamiyah.  Ini menjadi ancaman bagi kerajaan yang ada di Timur Tengah yang sudah nyaman dengan sistem monarki.

Makanya di Jordania yang merupakan basis utama gerakan ini, sejak pertama kali mendaftar pada 1952 sebagai partai politik, Hizbut Tahrir langsung ditolak oleh pemerintah Jordania. Saat itu Hizbut Tahrir tidak mendaftar sebagai organisasi sosial kemasyarakatan, tetapi mendaftarkan diri sebagai partai politik.  Namun langkah yang diambil Hizbut Tahrir langsung ditolak karena dianggap bertentangan dengan konstitusi Jordania. Salah satunya, Hizbut Tahrir menentang nasionalisme yang sudah menjadi common platform seluruh warga negara. Di samping itu, Hizbut Tahrir menentang sistem dinasti yang sudah mapan. Ada beberapa hal lainnya yang dianggap dapat menerabas konstitusi yang sudah disepakati oleh berbagai faksi politik dan masyarakat.

Kemudian Hizbut Tahrir mendapat peluang untuk mengembangkan gerakannya di beberapa kawasan Palestina yang kekuasaannya berada di bawah otoritas Jordania, karena situasi objektif Palestina yang memberikan ruang bagi kelompok apapun untuk tumbuh. Pada mulanya Hizbut Tahrir hanya sebagai kelompok pengajian setelah Salat Jumat. Lalu kemudian membuka cabang di beberapa daerah di Tepi Barat, terutama di kawasan pedalaman.  Pada 1951, Taqiyuddin Nabhani mengikuti pemilu legislatif di Palestina. Tetapi ia kalah dari wakil Partai Ba'ast. Semua kandidat Hizbut Tahrir kalah, kecuali Ahmad Da'ur dari Tulkarem lolos ke parlemen setelah berkoalisi dengan Ikhwanul Muslimin. Kekalahan tersebut disebut-sebut menjadi titik-balik untuk meninggalkan gelanggang politik dan memilih jalur dakwah kultural. Mereka kembali menggariskan program untuk menguasai mimbar-mimbar masjid dan lembaga pendidikan keagamaan.

Selain itu, konflik internal yang terjadi di dalam Hizbut Tahrir menyebabkan eksistensi mereka di Palestina semakin tenggelam, yang menyebabkan beberapa pengurus terasnya mengundurkan diri, menyusul hijrahnya Taqiyuddin al-Nabhani ke Beirut. Pada 1956, beberapa aktivis Hizbut Tahrir diusir dari Jordania sehingga aktivitas mereka mati total pada saat itu. Kondisi objektif yang terjadi di Jordania menjalar ke seantero negara di Timur-Tengah. Hampir tidak ada negara di Timur-Tengah yang kemudian memberikan ruang yang leluasa terhadap Hizbut Tahrir.  Mengapa ? Ada dua alasan utama yang menjadi landasan kenapa Hizbut Tahrir dilarang di Timur-Tengah. Pertama, Hizbut Tahrir mempunyai ideologi khilafah, yang secara nyata bertentangan dengan realitas politik kontemporer. Di masa lalu, sebelum jatuhnya Dinasti Ottoman di Turki pada 1923, khilafah masih menjadi sistem politik. Tetapi setelah itu, dunia Islam khususnya Timur-Tengah mengalami trauma politik yang sangat akut perihal kembalinya sistem khilafah. Namun Hizbut Tahrir tetap pada pendiriannya untuk menegakkan khilafah. Negara-negara Timur-Tengah lainnya pun mempunyai argumen berbeda. Karena setelah jatuhnya Dinasti Ottoman sudah tidak mungkin lagi diterapkan sistem khilafah.

Kedua, Hizbut Tahrir ditengarai terlibat dalam beberapa kudeta di Timur-Tengah. Menurut Musa Kaylani (2014), pada dekade 60-an aktivis Hizbut Tahrir terlibat dalam kudeta di Jordania dan dekade 70-an di Tunisia. Pada 1974 juga para aktivis Hizbut Tahrir terlibat dalam kudeta di Mesir. Dua alasan menonjol tersebut telah menyebabkan Hizbut Tahrir mempunyai posisi yang sangat tidak menguntungkan. Mereka tidak mudah mengepakkan sayapnya, karena adanya benturan yang sangat serius dengan realitas politik di Timur-Tengah. Apalagi negara-negara Teluk yang mempunyai sistem monarki, yang secara diametral akan bertabrakan dengan sistem khilafah yang diusung Hizbut Tahrir. Maka dari itu, pengalaman di Jordania telah menyadarkan para aktivis Hizbut Tahrir untuk mengambil langkah strategis yang jauh lebih jitu dengan cara bergerak di bawah tanah. Mereka memaksimalkan penyadaran personal, berinteraksi secara luas dengan banyak kalangan, serta mempengaruhi para tokoh politik dengan gagasan khilafah. Ya HT menempuh jalur silent revolution di beberapa negara,termasuk di Indonesia.

Kerajaan Arab sangat paham bahwa HT adalah ancaman serius bagi eksistensi dinasti Al Saud. Niat HT untuk menghabisi kerajaan Saudi bukan hal baru tetapi sudah sejak lama. Dua kali kerajaan Arab berdiri dua kali di hancurkan oleh Khilafah Usmani. Tentu Saudi tidak mau hancur untuk ketiga kalinya karena ulah Khilafah. Aksi HT sangat dipahami oleh intel Saudi. Sekecil apapun riak yang mengarah ke HT langsung di habisi dan di hukum pancung. Itu sebabnya HRS dapat masalah di Makkah hanya karena mengibarkan bendera HT. Ini masalah seriues. Karena mengancam posisi Raja. Bukan paranoid tetapi kerajaan Arab tidak mau ambil resiko sekecil apapun soal kekuasaan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Inflasi momok menakutkan

  Dalam satu diskusi terbatas yang diadakan oleh Lembaga riset geostrategis, saya menyimak dengan sungguh sungguh. Mengapa ? karena saya tid...