Rabu, 12 Oktober 2016

Memburu harta (11)

Aku baru saja terjaga pagi itu, tapi masih enggan untuk langsung bangkit dari tempat tidur. Rasanya baru dua jam tidur setelah sholat Subuh. Karena semalaman sibuk mempelajari berbagai dokumen yang berkaitan dengan transaksi yang sedang kuperjuangkan. Juga terlibat komunikasi panjang dengan Chang di Shanghai lewat telepon internasional. Chang meminta maaf atas masalah yang kuhadapi di Swiss. 
Aku berusaha memejamkan mata kembali namun pikiranku tidak bisa lepas dari masalah yang sedang kuhadapi. Chang, dokumen-dokumen, The Fed, Swiss dan puzzle-puzzle itu terkumpul jadi satu. Memberi bayang-bayang yang sulit dilepaskan. Lebih-lebih tentang sahabatku, Budiman.
Dering telepon membuatku terkejut dan membuyarkan pikiran.
“Ya?” kataku agak parau.
“Hi, aku Amir. Bangunlah! Aku punya berita bagus untukmu,” sahut suara dari seberang. Mendengar suara parau, Amir yakin aku masih terbaring di atas tempat tidur.
“Oh ya?” Aku kaget dan segera bangkit dari tempat tidur. Aku melirik jendela, tersadar bahwa matahari pagi sudah mulai menerobos masuk.  Aku tersenyum saat istriku masuk ke kamar membawa sarapan pagi dan secangkir teh hangat.
“Ya, aku temukan cara untuk selesaikan masalahmu. Datanglah ke kantor pagi ini ya?”
“Ok!”
“Oh ya, jangan terlalu siang, karena di atas jam 10 nanti, ada banyak tamu yang ingin bertemu denganku.”  Sambungan terputus.
Aku bisa memaklumi, bahwa sebagai pejabat tinggi, Amir banyak disibukkan dengan berbagai pihak yang ingin bertemu. Dan lagi, Amir adalah orang yang sangat menghargai tamu. Baginya, tamu  harus diterima karena tamu yang datang itu membawa rejeki. Demikian kata Amir suatu ketika, sambil bergurau.
Namun, sebetulnya aku tidak begitu bersemangat bertemu dengan Amir. Informasi yang kudengar semalam dari Chang menyiratkan bahwa masalahnya tidak lagi menyangkut berapa nilai uangnya yang terbuang, tapi bahkan lebih daripada itu.
Chang mengabarkan, Beijing telah membentuk sebuah team untuk menyelesaikan masalah ini. Chang juga memintaku untuk tetap dalam posisiku sekarang, dan tidak melakukan hal bodoh hanya karena dananya diblokir. Bahkan mereka berjanji akan mengganti seluruh biaya operasi yang sudah kukeluarkan. Hanya soal persahabatan dengan Amir saja, yang membuatku terpaksa memenuhi undangannya.
Kedatanganku disambut seorang sekretaris. Seorang wanita jawa berwajah ningrat, yang selalu berusaha bersikap ramah. “Bapak sudah menunggu Anda di dalam.” Sapanya dengan ramah. Aku tersenyum sambil melirik sekilas wajah ayu itu. Di ruang kerja, nampak Amir sedang asik dengan tumpukan dokumen di atas meja. Dia langsung berdiri dan menghampiri ketika melihat aku datang.
“Maaf, terlalu pagi ketemuannya,” kata Amir sambil menyalamiku.
“Tidak ada masalah. Tapi, aku heran, sepagi ini kamu sudah sibuk dengan tumpukan dokumen. Sementara aku masih terlelap di tempat tidur. Sampai kapan kamu akan terus begini?”
“Ah, aku hanya menikmati kesibukanku saja, kok. Sistem birokrasi kita memang mengharuskan aku sibuk dengan berbagai dokumen. Stafku butuh petunjuk dan keputusan. Jadi beginilah, setiap hari aku harus membaca semua dokumen ini. Yah, memang benar-benar pekerjaan membosankan.” 
Amir duduk di kursi tamu dan kuikuti saja tanpa harus meminta ijin. Tak berapa lama, sekretaris Amir datang dengan dua cangkir teh hangat.
“Silahkan diminum tehnya.” Amir menyerahkan cangkir padaku yang kusambut dengan ucapan terima kasih.
“Mir, aku tidak mengerti kenapa Otoritas Penyelesain Utang  harus melelang semua aset?” Tanyaku membuka percakapan.
”Ya, itu semua terkait dengan kebijakan IMF. Kita semua tahulah negara ini sedang dalam proses recovery  akibat krismon. Dan IMF bertindak sebagai dokternya.”
“Apa tidak ada lagi rasa nasionalisme sedikit pun, untuk mencari solusi selain melelang aset itu ke tangan asing? Kan masih banyak cara lain.”
“Ya tapi itulah cara yang disukai IMF. Mau apalagi?” Amir tersenyum pahit. Seakan enggan menjelaskan lebih jauh alasan di balik pelelangan aset-aset itu. Aku merasa ada yang disembunyikan. Namun sepertinya diam adalah pilihan bijak demi menjaga perasaan teman.
“Kelihatannya masalahmu tidak sesederhana seperti dokumen yang kamu perlihatkan ke aku?” Amir mengalihkan topik. Matanya fokus menatap langsung ke arahku.
“Mengapa?”
“Temanku dari lembaga keuangan multilateral yang memberi tahu.”
“Siapa?”
“Ah, tidak penting.”
“Jadi?”
“Aku hanya ingin kamu keluar dari transaksi ini dan aku pastikan uang yang sudah kamu keluarkan akan diganti. Juga akan ada kompensasi lainnya. Kamu bisa bebas gunakan untuk apa saja termasuk menyelamatkan usaha temanmu. Tapi tolong, jangan pernah lagi terlibat dalam urusan seperti ini. Terlalu rumit untuk bisa kamu mengerti.”
Aku memperhatikan setiap gerak bibir Amir. Mencoba mencerna apa di balik kata-katanya ini, yang seolah menyembunyikan sesuatu. “Tidak semudah itu, Mir,” kataku sembari berdiri dari sofa. “Sekarang masalahnya bukan lagi tentang rekening yang diblock, atau biaya yang sudah terlanjur dikeluarkan. Tapi lebih dari itu!”
“Memangnya apa?!” tanya Amir setengah berteriak.
“Pemilik collateral memperingatkan aku agar tetap commit dengan posisi sekarang. Seluruh dana yang sudah aku keluarkan dalam transaksi itu akan diganti. Mereka juga berjanji akan memberi komisi tambahan untukku.”
“Jadi?”
“Terima kasih untuk bantuanmu. Aku pikir masalah ini sudah selesai.”
“Tidak semudah itu, Jaka. Kamu harus mengerti, bahwa yang kamu hadapi sekarang adalah sebuah group raksasa yang mempunyai sumber dana tak terbatas. Mereka dapat melakukan apa saja. Aku minta agar kamu keluar dan tidak perlu menciptakan perang yang kamu sendiri tidak akan bisa menghadapinya.”
“Bukan aku yang akan menghadapinya, tapi pemilik collateral.”
“Tapi tetap saja kamu yang berada di garis depan. Apapun yang terjadi, kamu yang akan jadi sasaran tembak lebih dulu. Mengertilah, aku sayang kamu dan inginkan yang terbaik untukmu.”
“Terima kasih. Tapi aku harus pergi, ada janji dengan putraku untuk makan siang di restoran bersama istri.”
“But!” Amir tak sampai menyelesaikan kalimatnya. Melihatku tetap kekeuh, dia pun pasrah. “Ok!”
Amir tidak bisa berbuat banyak walau sebenarnya dia khawatir dengan pilihanku. Dia hanya bisa berharap suatu saat ada yang bisa diperbuatnya untukku.
“Salam untuk Rizky, ya? Oh ya, sudah tingkat berapa kuliahnya sekarang?” Tanya Amir saat mengantarku keluar kamar.
“Tingkat persiapan,” jawabku sambil tersenyum.
Dalam perjalanan menuju restoran, aku merasa ada sesuatu yang luar biasa sedang terjadi. Kata-kata Amir yang memintaku keluar dan akan memberiku dana kompensasi, sesaat setelah bertemu dengan lembaga keuangan multilateral, menyiratkan sesuatu yang tidak sederhana. Tapi apakah itu?
Awalnya, Tomasi mengenalkanku dengan Chang yang menawarkan aset sebagai collateral untuk masuk dalam  trading program. Aset itu disimpan di salah satu bank terkemuka di Eropa, dengan nilai yang sangat luar biasa. Bahkan melebihi cadangan devisa negaraku. Chang memberiku posisi sebagai mandate  atas kepemilikan aset itu. Untuk pekerjaan ini, aku akan mendapatkan komisi sebesar lima persen. Jumlah yang sangat luar bisa dan hampir tidak mungkin aku peroleh meski dengan kerja keras seumur hidup. 
Setelah semua proses transaksi terlewati, ternyata ada penolakan dari The Fed. Upaya hukum yang ditempuh untuk menuntut hakku, tidak membuahkan hasil. Bahkan dana premium yang telah kukeluarkan turut amblas. Sedangkan keberadaan rekening trading dan aset tersebut terkunci di dalam sistem. Aku terjebak. Buntu! 
Tapi sekarang situasi berubah. Pihak Chang yang awalnya sangat pelit untuk mengeluarkan dana, sekarang berubah menjadi pemurah. Temanku, Amir juga menawarkan solusi cepat. Hanya saja permintaan keduanya bertolak belakang. Pihak Chang meminta agar aku tetap dalam posisi gugatan, sementara Amir memintaku keluar. Dua-duanya menjanjikan uang. Antara bertahan dan keluar akan memberikan hasil yang sama. Lantas, manakah yang harus kupilih?
Sudah saatnya aku mulai mencari tahu apa sebetulnya di balik transaksi ini. Aku  membutuhkan seseorang yang ahli dan tahu rahasia ini, untuk membantuku melewati semua proses ini dengan benar. Setidaknya membantuku menentukan pilihan yang tepat. Tapi siapakah dia?
Aku baru menyadari tentang perlunya kembali kepada seseorang yang pertama kali memperkenalkanku pada transakasi ini. Setelah semua yang terjadi, aku tidak lagi bisa mempercayai siapapun. Aku harus berusaha mengetahui sendiri, ada apa di balik semua ini. Aku tidak ingin lagi menemui pihak Chang, juga Amir sebelum aku mengetahui yang sebenarnya. I have to know about the truth! 
Anehnya, setelah kesepakatan kerjasama dengan Chang dilakukan, Tomasi tidak pernah lagi menghubungiku. Dia seolah menghilang ditelan angin. Saat itu aku tidak peduli. Aku lebih memilih untuk fokus menyelesaikan transaksi. Aku pun mulai disibukkan dengan pencarian team profesional untuk mendukung transaksi. Ditengah segala kemelut misteri yang seakan tak terungkap, aku teringat dengan seorang sahabat lama yang juga pernah tinggal di Jakarta. Dia adalah Fernandez. Tapi, aku juga tidak pernah lagi mendengar keberadaan Fernandez. Dimana dia sekarang?
Aku harus menghubungi Fernandez untuk melacak keberadaan Tomasi. Masalahnya, aku juga tidak tahu di mana alamat Fernandez. Dulu aku pernah coba menghubungi kedutaan Meksiko di Jakarta, tapi tentu saja data tentang nama Fernandez terlalu banyak. Aku tidak tahu siapa nama lengkap pria Meksiko itu.
Sepertinya semua jalan keluar nampak semakin menyempit. Padahal saat ini aku sedang terjepit di antara dua pilihan. Menuruti kemauan Amir atau Chang. Dan lalu-lalang kendaraan di ibu kota ini semakin membuatku sesak. Aku terdesak dalam sebuah ruang yang tak hendak memberi pintu keluar. Tapi lihatlah itu, seorang pria muda sedang menyetir mobil dengan penuh keyakinan. Dengan gagahnya, dia membawaku ke restaurant untuk menemui istriku, seorang yang telah memberikan aku banyak arti dalam hidup ini. Terlebih lagi ketika dua orang anak, dengan bangganya telah memanggilku dengan sebutan Papa!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Inflasi momok menakutkan

  Dalam satu diskusi terbatas yang diadakan oleh Lembaga riset geostrategis, saya menyimak dengan sungguh sungguh. Mengapa ? karena saya tid...