Rabu, 19 Oktober 2016

Jalan hidup...


Awan bergerak halus bersama embun pagi. Sinar matahari pagi menerobos membiaskan warna warni di balik gumpalan awan. Embun bergerak lambat dan akhirnya jatuh ketanah, menyuburkan bunga , memberikan warna kepada semua. Mei datang lebih dulu di bukit itu. Dia , seperti biasa dengan mata sipitnya tersenyum indah digurat lesung pipinya. " Aku sudah tak sabar untuk disunting. Tahukan, kamu. " Mei nampak manja. Membuat aku tak pernah puas memandangnya. 

Aku gelengkan kepala “ Aku harus berhenti kuliah. Ini membosankan. Aku tidak butuh titel. Tidak Mei. Harapanmu hampa.” Itu kataku. 

Kulihat Mei terdiam dalam keterkejutannya. Dia hendak marah tapi  dia terlalu sayang padaku. Dia hanya menahan kecewanya dengan menundukkan kepala.  Apakah Mei setelah ini akan pergi meninggalkanku. Mungkinkah itu ? oh, Jangan Mei. Kalau kau benar benar mencintaiku , tolong juga maklumi pilihanku. Ya, kan. Mei tetap diam. Benarlah setelah diam nya beberapa saat, diapun pergi. Tinggal aku sendiri. Banyak hal yang ingin kujelaskan kepadamu , Mei tapi apakah kamu bisa mengerti. Tentu kamu bisa mengerti karena kamu cukup cerdas dan memahami perasaanku terdalam. Benar katamu bahwa jadi sarjana dan kemudian jadi PNS adalah pilihan yang aman. Dan lagi Pegawai negeri adalah profesi mulia dan hanya segelintir orang saja yang bisa mendapatkan kesempatan untuk menjadi seorang pejabat. Masalahnya aku tak ingin menjadi segelintir orang itu ? Aku ingin menjadi orang kebanyakan. Tentu banyak profesi yang bisa dikatakan mulia. Bukan hanya PNS. Mei seakan membantah itu. Seperti dialogh ku sebelumnya dengannya.

“ Ya Hidup sebagai pengusaha juga tidak lebih buruk. Memang tidak sehebat PNS tapi setidaknya penghasilannya lebih besar dibandingkan PNS dengan sepuluh tahun pengalaman kerja. Kita bisa bebas dan merdeka untuk tidak d ibawah kendali orang. Apakah ada yang lebih baik hidup ini selain kemerdekaan itu sendiri. ? “

"Memulai bisnis bukan hal yang  mudah. Siapa kamu? Kamu terlahir dari keluarga miskin. Jangan terlalu bermimpi.Hadapi kenyataan” Itulah yang selalu diulang ulang oleh Mei. 

Mei selalu pandai memojokanku. Walau Mei banyak membaca buku namun dia tetap bisa berpikir dengan akalnya sendiri. Keliatannya dia tidak terpengaruh apapun dari banyak bacaannya. Dia mengagungkan Kapitalis dan juga sosialis. Kalau dalam prakteknya menyimpang maka yang salah adalah manusianya sendiri. Samahalnya , apakah kita bisa menyalahkan Tuhan yang menurunkan agama bila kenyataannya manusia beragama lebih jahat dibandingkan orang tak beragama, bahkan lebih jahat dibandingkaan binatang.

Tapi pikiranku sudah bulat. Berhenti kuliah. Mungkin Mei juga berhenti menjadi kekasihku. Sakit dan sangat menyakitkan kehilangan orang yang dicintai hanya karena perbedaan prinsip. Bukankah cinta itu alat ampuh untuk saling memaklumi dan meredam perbedaan, apalagi soal prinsip. Ya, keliatannya hubunganku dengan Mei tak lebih hubungan percintaan ala kapitalis. Selagi tidak menguntungkan sesuai pemikirannya maka hubungan tak perlu dilanjutkan.  Aku yakin Mei tidak akan merasa berdosa , apalagi kecewa bila harus menjauh dariku.  Tapi bagaimana denganku ? 

Benarlah setelah itu, akupun terlupakan oleh Mei. Dia pergi mencari pria lain, pria yang bisa mengerti rencana dan harapannya.  Aku tak ingin lagi mencari wanita lain. Aku ingin menjadikan bisnis ku sebagai istri pertamaku. Kalaupun ada wanita yang bersedia menjadi istriku maka itu adalah istri keduaku. Tak akan kunilai wanita calon istriku seperti banker menilai kelayakan proyek yang harus ideal dan feasible. Tidak. Tapi aku tetap tak bisa melupakan Mei. Melupakan mata sipitnya. Ya sudahlah. 

***
Awan diatas sana, dari waktu ke waktu selalu saja begitu. Dan setiap burung yang melintasi pagi yang sama. Kusaksikan segenap alam yang mengepungku disesaki bayang-bayang lembayung. Aku duduk di cafe menatap keluar kehamparan kehijauan taman Sheraton Shanghai Pudong. Dari arah samping kulihat perempuan bermata sipit dalam kecantikan wajah senja datang menghampiriku. 

”Kau…” desisku tertahan saat menatap perempuan bermata sipit itu pertama kali setelah 30 tahun tak bersua. Telunjukku tiba-tiba layu saat sosoknya kian menyergap di antara tiupan angin dan kabut yang menderu. Mei , kini ada dihadapanku. Ya Mei ku. Tatapan mata kami begitu teduh. Begitu lembayung. Butir-butir air mata Mei menepi di antara kelopak. Berderai di pipinya yang ranum. Jatuh satu-satu diembuskan angin. Bagai tempias gerimis, butir air mata itu menyelam di genangan bola mataku yang terdedah sedari tadi. Mei memelukku dan merebahkan kepalanya di dadaku. Hangat. Aku hanya diam tanpa ada keberanian membalas pelukannya. Aroma rambutnya membuat kelaki lakian ku sedikit bangkit. Bukan itu, tapi itu aroma yang dulu pernah hadir dalam hidupku...dulu sekali. Kutatap kedua bola matanya bergantian. Sorot matanya masih nyalang. Berbunga-bunga. ”Kusaksikan di bola matamu, kita ada dalam pergumulan masa lalu yang tak kunjung diam.” ucapku perlahan dan tertahan. Mei tersenyum. Mengangguk beberapa kali. Bola matanya mengisyaratkan sesuatu yang lebih dari sebuah sapaan mesra. Manja

Aku berkaca di bola matanya yang bening. Masih begitu bening. Aku menatap diriku dalam tiupan angin petang bagai alunan gazal yang lembut. Sayatan biola tua yang mendayu-dayu. Aku merasa sudah begitu tua. Tapi sapa lembut Mei bagai mengelupaskan kerutan-kerutan di keningku.

”Apa yang masih kau ingat?” bisiknya dengan irama rendah. Menyayat-nyayat.
Mataku kian terbuka lebar saat menyaksikan banyak lukisan, kata-kata, rekaman, dan irama berloncatan dari bola matanya. Tiap helaan napasku bagai memutar kenangan di sebuah layar seluloid yang usang. Warnanya lembayung kecoklatan. Sudah terlalu lama rekaman-rekaman tersebut mengendap di bola mata itu.

Di shanghai, pudong pagi ini di musim semi, 30 tahun kemudian, kami bersua. Bak seekor burung yang bersayap lembayung pula terbawa angin yang mengantarkan dirinya padaku. Dan aku pun bagaikan sebuah ranting kayu mendedahkan diri tempat berhinggap bagi dirinya. Tentu saja, ia agak lelah karena bertahun-tahun terbang menembus gumpalan awan dan tabir masa silam yang tertinggal jauh.

”Kau nampak masih berlum terlalu tua…” sapanya.

”kau juga masih tetap cantik ?” Kataku. 

Ia menggeleng. 

”Aku tidak muda lagi.…” katanya dengan senyumnya yang dulu. Tak berubah.

”Semua kita menua, Mey” sambutku meyakinkan dia semua orang menua namun persahabatan tak akan lekang oleh waktu.

”Aku kangen, kamu. Kangen sekali..?” ucapnya mengangkat alis kiri yang kian memperlihatkan kemanjaan yang pernah kurasakan di masa-masa yang sudah terlewati.

”Kau masih suka melukis, Mey…” kataku menunduk.

”Sudah lama aku tinggalkan kegemaran itu. Lukisan hidupku sendiri tidak pernah bisa menyelesaikan lukisan terakhirku…” ucap Mey

“ Ada apa Mey? Apa yang terjadi dalam 30 tahun ini? tanyaku dalam hati. Tatapan matanya yang teduh menangkap tanda-tanya itu. Ia menjawab tanpa ragu-ragu. Segalanya begitu bening. Bagaikan titisan gerimis yang jauh di sebuah telaga jernih yang menguraikan riak-riak kecil menjadi not angka dan nyanyian.

”Kau masih menyukai lagu “ always on my mind ?” tanya Mei menatap helai-helai rambutku yang mulai di selingi uban abu-abu.

”Iya… masa lalu dan masa kini, sama saja bagiku….”

Giliran ia terpekur.

”Aku masih ingat semuanya. Sebuah kehampaan yang membuat hatimu terluka. Aku tak banyak tahu apa maknanya waktu itu. Aku hanya seorang anak gadis yang mudah memalingkan diri dari siapa saja. Aku merasa bagai seekor burung berbulu keemasan yang boleh terbang sesukanya. Dan aku tak pernah hinggap di ranting mana pun. Aku hanya terbang dan terbang…” kata Mei dengan suara tertahan kerinduan dan air mata.

”Tentu kau sudah melupakan ku…”

”Iya..tepatnya 20 tahun sejak berpisah dengan mu. Namun setelah itu setiap bangun tidur pagi, wajahmu terus terbayang, sampai kini…”

”Aku baik baik saja, Mey?”

Mey mengangguk. 

Kemolekannya memukauku kembali. Kemolekan yang bertapis kematangan jiwanya. Ia memang sudah tidak muda lagi.

”Aku pernah jadi pramugari di usia mudaku,” tuturnya mengenang.

”Kau telah terbang begitu jauh. Melintasi awan, langit, gunung, kenangan, batu, hujan, lelaki… dan…”

”Jangan sebut itu…” tiba-tiba suaranya agak keras sambil meletakkan telunjuknya di bibirku. Aku terperanjat. Sentuhan lembut itu bagai menguliti diriku. 

Kami sama-sama terdiam. 

Ia bercerita tentang masa lalunya. Ia pernah menikah dengan seorang dokter pilihannya, tentu.. Punya sorang anak laki laki dan suaminya itu. 

”Aku kini sendiri…” tuturnya mulai berterus terang.

”Aku amat bersimpati…” sambutku lemah-lembut.

”Ada banya pria tempatmu berlabuh. Selalu ada untuk mu Mey ?” ucapku dengan tersenyum

Mei  merunduk. Diam. 

”Aku datang ke sini sekedar berlibur dan menghibur diri. Akhirnya takdir mempertemukan kita lagi disini." 

Kami kembali terdiam. Kemudian terdengar suara Mei dengan lembut " Ceritakan tentang kamu. Aku ingin tahu...boleh kan ”

" Aku memulai hidupku dengan sangat keras. Berkali kali aku membangun usaha berkali kali juga jatuh. Namun jatuh atau bangun ,tidak membuat aku berubah. Ya, aku tidak punya pilihan karena memang no way return. Aku harus terus melangkah. Aku menikmati proses hidup ku bagaikan ulat berusaha keluar dari kepompong untuk menjadi kupu kupu yang indah. Hambatan dan kegagalan tidak membuat aku kalah dan lelah tapi semakin membuat aku bijak. Bisnis tidak membuat aku bangga. Tidak. Namun dengan bisnis yang ada, setidaknya aku diperlukan oleh istri dan anakku, orang tuaku, keluarga besarku, serta sahabatku. Aku beharap lima tahun lagi aku pensiun,  Mey." 

”Sekarang…?” sela perempuan itu.

”Masih seperti itu. Selalu begitu. Aku bagaikan garis datar saja. Walau kehidupanku bergaul dengan banyak orang hebat tapi aku tetap seperti dulu.Tidak ada yang berubah.Tak pernah bisa meninggi. Aku tak bisa terbang seperti dirimu…”

”Setinggi-tinggi burung terbang… akan merendah juga suatu ketika. Seperti diriku kini…”

Aku sedih karena melihat Mey ku nampak lelah dan menua..

”Kau bahagia kan?” tanya Mei kepada ku. 

Kutatap wajahnya. Ada goretan kelelahan dan tentu harapan akan pertemuan ini. Apa yang harus kukatakan kepada dia? Kepada Mei ku .. Dan inilah jawabku tentang bahagia itu,

“ Kalau bahagia dalam persepsi kita dulu, tentu beda sekali. Diusiaku kini aku tak mau lagi berpikir memaknai bahagia itu apa. Aku hanya ingin mengisi sisa hidupku dalam realitas hidupku. Karena inilah sebaik baiknya untukku. Apapun pilihanku telah kucoba lakukan namun yang terjadi ternyata kehendak Tuhan juga yang berlaku. Kita hanyalah hamba Tuhan yang diberi tugas melewati rentang waktu seperti scenario Tuhan. Kamu bertemu dengan seorang dokter sesuai pilihanmu dan akhirnya menjanda. Akupun melangkah sesuai pilihanku sebagai pengusaha, dan akhirnya ingin cepat pensiun. Lelah "

Mei menunduk. 

“ Memang tidak seharusnya kita bertemu bila harus berpisah namun juga tidak seharusnya disesali yang telah terjadi. Mahal sekali pelajaran hidup kita. Sementara sang waktu terus bergerak kedepan. Rambut semakin memutih dan gigi semakin goyah. Langkahpun semakin lemah. Tak ada cara terbaik dalam hidup ini kecuali menerima semua ini dengan ikhlas karena Tuhan. Dan bersiap siap untuk pulang keharibaanNya. “ Kata Mei.

Aku tersenyum , dia mendapatkan hikmah dari pertemuan kami. Tentu Tuhan yang mengatur ini semua setelah rentang waktu 30 tahun terpisah. Untuk memberikan jawaban atas rahasia pilihan hidup kami dulu ketika remaja. Kita memang bebas memilih yang kita suka namun Tuhan pun bebas menentukan. Nasip buruk yang terjadi, tak bahagia dan menderita, bukanlah karena pilihan kita tapi karena kita tidak pernah ikhlas menerima kenyataan itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Mengapa negara gagal ?

  Dalam buku   Why Nations Fail  , Acemoglu dan Robinson berpendapat bahwa pembangunan ekonomi dan kemakmuran atau kemiskinan suatu negara d...