“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil (an lâ tuqsithǔ) terhadap hak-hak perempuan yatim (bila kamu mengawininya), maka kawinlah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan berlaku adil (an lâ ta’dilǔ), kama (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” Q.S. an-Nisa’/4:3. Semua umat islam paham akan ayat poligami itu. Selalu ada pertentangan tentang ayat ini. Ada yang menganggap poligami itu merendahkan wantia. Ada juga bersikukuh bahwa ayat itu sebagai cara bertaqwa kepada Allah. Perbedaan pandangan yang kadang radikal itu sebenarnya berangkat dari perbedaan tafsir Ayat itu sendiri.
Saya mau membahas tentang tafsir kontemporer. Semua sepakat bahwa Al-Qur’an al-Karim sebagai wahyu Allah yang diturunkan terakhir bagi umat manusia menempati posisi sangat penting sebagai salah satu pilar epistemologi Islam. Karena dari Al-Qur’an-lah seluruh struktur, aspek, pandangan, tujuan dan hukum Islam bersumber dan disandarkan. Maka dari itu, upaya-upaya untuk menggali dan memahami nilai-nilai al-Qur’an dilakukan secara terus menerus sejak generasi pertama umat ini dan tidak pernah berhenti sehingga menghasilkan literatur yang sangat luar biasa berlimpah, terutama jika dibandingkan apa yang dilakukan terhadap kitab suci agama lain manapun. Peradaban berkembang, semakin mempertajam metodelogi penafsiran kitab suci.
Menarik membahas pemikiran seorang Muhammad Syahrūr al-Dayyub. Ia sebenarnya insinyur dan doktor dalam spesialisasi Mekanika Pertanahan dan Fondasi. Namun sejak sekolah dasar sampai SMU dia sekolah agama. Jadi dia punya dasar kuat belajar mandiri tentang Al quran dan hadith. Ia tidak menggunakan metode tafsir yang bertumpu kepada asbabun nuzul. Dia menafsirkan Al Quran lewat epistemologi Islami yang dieksplorasi dari teks-teks al-Kitab. Ia kemudian menawarkan konsep epistemologi dialektika, sebagai paradigma dalam memahami Islam. Memang kekosongan epistemilogi Islami dalam bentuknya yang modern menyebabkan terpecahnya pemikiran umat Islam, fanatisme golongan, dan berlindung pada pemikiran masa lalu, yang mudah sekali menuduh orang yang berbeda kafir atau bid’ah.
Dalam hal Poligami, mari kita perhatikan pendapat Syahrur dalam magnum opus-nya al-Kitâb wa-al-Qur’ân : Qirâ’ah mu’âsyirah berpendapat bahwa poligami bukan sekedar ajaran Islam tentang poligami, bukan sekedar hak atau keleluasaan seorang suami untuk beristri lebih dari satu, akan tetapi yang lebih esensial dari itu adalah pemeliharaan anak-anak yatim. Artinya istri kedua, ketiga dan keempat seharusnya adalah Janda beranak yang miskin. Bukan perawan. Perlakuan adil itu bukan kepada istri istri tetapi kepada anak anak dari janda miskin itu. Perlakuannya sama dengan anak kandung sendiri.
Syahrur juga menafsirkan Al Quran dengan metode hermeneutika hukum dari aspek filologi dengan prinsip antisinonimitas. Metode itu menggambarkan bahwa setiap istilah di dalam Al Quran punya makna yang tidak identik. Dari sini dia bisa menemukan definisi zina. Apa itu ? aitu hubungan intim disebut zina bila dipertontonkan ke publik. Bila hubungan intim dilakukan di ruang privat, berlandaskan suka sama suka, keduanya sudah dewasa, tidak ada penipuan, dan niatnya tulus maka tidak bisa disebut zina. Maka hubungan intim tersebut halal. Pernikahan yang dilembagakan dan dilegitimasi, tapi dilakukan dengan keterpaksaan karena berbagai sebab, dan kadang menipu, itu tetap saja zina.
Walau tafsir Muhammad syahrur dengan metode sains yang rumit, namun di Indonesia itu tidak diakui sebagai sebuah tafsir dan disikapi dengan sinis dan kritis. Sikap kritis para pengkiritik memang beragam. Sebagian kritik berisi hujatan-hujatan kasar dan kata-kata kotor serta cacian terhadapnya, bahkan sebagian pengkritik mengatakan bahwa Syahrūr merupakan bagian dari zionis dan telah menjadi kafir hanya karena dia mengemukakan pokok-pokok pikirannya dan menafsirkan ulang ayat-ayat al-qur’an. Namun, mayoritas pengkritik semacam ini tidak memberikan argumentasi-argumentasi ilmiah yang cukup kuat. Kritik semacam ini bisa dijumpai misalnya, dalam karya Syaikh Ramdhan al-Buthi (al-Khalfiyyah al-Yahudiyyah li Syi’ar Qira’ah Mu’asyirah), yang diterbitkan pada 1990 di jurnal Nahj al-Islam , dan dalam karyanya Khalid bi ‘Abdurrahman al-‘Akk yang berjudul al-furqan wa al-Qur’an.
Sementara Syahrur menjawab kritik itu dengan sangat terpelajar dan sesuai dengan kaidah ilmiah, yang dia tuangkan dalam bukunya “ Ta’liq ala al-Kutub wa al-Maqalat wa al-Rudud allati Shudirat Haula “al-Kitab wa al-Qur’an Qira’ah Mu’ashirah”. Dan juga dalam buku keduanya Dirasat Islamiyah Mu’ashirah fi al-daulah wa al-Mujtama’. Syahrūr adalah benar-benar seorang “kontekstualis” sejati yang meyakini keharusan perubahan penafsiran dan pemahaman terhdap ajaran Islam. Perubahan ini menuntut kebebasan atau keterbukaan epistemologi tanpa harus terkungkung oleh turāts walaupun berasal dari generasi pertama umat ini, ataupun sesuatu yang telah disepakati sebagai sebuah hasil kesepakatan ulama (ijmā’).
Yang paling mengerti arti sebuah teks Al-Quran tentu hanya Allah. Namun tak seorang pun bisa meminta penjelasan langsung kepada Allah. Nabi sebagai saksi dan messenger udah lama tiada. Kini para ulama hebat selalu mengakhiri tafsirnya dengan kalimat Wallahu Alam Bissawab. “ Hanya Allah yang tahu. Kami sih hanya menduga benar. Jadi dimungkinkan untuk ditulis dan dibaca lebih dari satu macam makna. Ya biarkan sajalah. Yang penting jangan bertengkar karena perbedaan. Karena apapun itu, kebenaran itu milik Allah. Sementara bertengkar itu pasti dosa dan tidak disukai Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.