Sabtu, 03 Desember 2022

How Democracies Die.




Saya membaca buku How Democracies Die. Itu saya baca tahun lalu. Buku itu biasa saja. Mengapa? Karena ditulis sebagai tesis atas fenomenan kepemimpinan Trumps. Namun karena penulisnya adalah Steven Levitsky and Daniel Ziblatt, keduanya adalah profesor Harvard, terkesan sangat kaya wawasan. Mereka melengkapi tesisnya atas dasar studi terhadap kerusakan demokrasi di seluruh abad 20 da 21. Seperti pemerintahan Jenderal Augusto Pinochet di Chili , Presiden Recip Erdogan, di Turki, di Brasil, Filipina, hingga Venezuela. Buku itu memberikan arahan bagaimana menyelamatkan demokrasi dari ancaman akibat kepemimpinan yang otoriter dan sekaligus memperbaiki proses demokrasi.


Menurut  Levitsky dan Ziblatt ancaman terbesar bagi demokrasi kontemporer adalah erosi norma. Norma adalah aturan dan konvensi tak terucapkan yang menyatukan demokrasi. Misal, anda sadar saat membuat kebijakan selama anda berkuasa, itu tidak menguntungkan dalam jangka panjang. Tapi bermanfaat bagi kepentingan anda. Anda bisa terima itu. Karena anda mana mikir soal jangka panjang. Anda hanya mikir selama periode kekuasaan anda saja. Nah saat anda akan turun, anda kawatirkan yang menggantikan anda menolak kepentingan anda. Sama seperti dulu  saat anda berkuasa memperlakukan dia


Padahal seharusnya kan anda membuka peluang siapapun yang berpotensi menggantikan anda, sehingga dia akan baik kepada Anda setelah turun. Jelas tidak semua orang di showbiz hidup dengan aturan itu. Namun dalam politik, saat ini, sepertinya hampir tidak ada yang melakukannya. Menolak melanjutkan apa yang telah dilakukan pendahulunya. Hebatnya, penolakan itu atas nama UU dan aturan. Masabodo konsekuensinya. 


Levitsky dan Ziblatt ingin melepaskan diri dari gagasan bahwa selama tatanan konstitusional utuh, demokrasi akan baik-baik saja. Mereka sangat curiga terhadap keyakinan naif bahwa politisi menyimpang dapat "ditahan" oleh lembaga Yudikatif yang kuat. Mereka menunjukkan bahwa sejarah AS dipenuhi dengan contoh-contoh perilaku politik yang konstitusional tapi tidak demokratis. Rezim rasis di Amerika selatan selama paruh pertama abad ke-20 didukung oleh serangkaian norma yang membuat hak suara Afrika-Amerika yang diperoleh dengan susah payah menjadi tidak berarti. Konstitusi dibonsai oleh prilaku premanisme brutal dan intimidasi yang tidak tahu malu, sementara para anggota parlemen duduk diam. 


Dua norma utama yang menurut Levitsky dan Ziblatt mendukung demokrasi adalah mutual toleration dan institutional forbearance.  Mereka memiliki arti yang sama: resisting the temptation to take every cheap shot going.  Di sinilah peran Trump. Ada banyak kata yang mungkin menggambarkan gaya politiknya tetapi toleransi dan kesabaran tidak termasuk di dalamnya. Trump memperlakukan kepresidenan sebagai platform yang dirancang untuk menyelesaikan masalah pribadi. Dia tampaknya hampir seluruhnya kurang dalam kontrol impulsif, namun tanpa kontrol impulsif tidak akan ada demokrasi yang langgeng. Akibatnya, di AS justru presiden sendiri yang menghancurkan norma itu.. 


Levitsky dan Ziblatt tidak menganggap Trump berarti kematian demokrasi AS. Apa yang mereka takutkan adalah apa yang akan Trump tinggalkan. Sikap saling tidak percaya dan curiga atas dasar intoleran. Levitsky dan Ziblatt menyebutnya " democracy without guardrails": kompetisi yang tidak cerdas terkesan culas. Seberapa buruk itu bisa terjadi? Buku ini hanya mentelaah sejarah kepemimpinan demokrasi di seluruh dunia, dan menemukan pola yang sama berulang. Orang kuat abad 21 tidak mengubah konstitusi dan menggantinya dengan tank di jalanan. Tetapi mempermainkan konstitusi atas nama demokrasi. 


Dengan  santai berkata “kalau DPR/MPR setuju presiden tiga periode atau diperpanjang ya itulah demokrasi. Bahkan wacana soal itu dianggap sah dalam demokrasi. Padahal mereka sendiri yang mendorong terjadinya wacana itu. Hipokrit kelas murahan. Mengapa? itu akan lain kalau datang dari lawan yang bertentangan dengan kekuasaannya. " Ah itu anti demokrasi. Anti konstitusi." Katanya dengan nada seperti orang terpelajar.


Sama halnya dengan Putin. Yang mempermainkan konstitusi dengan jabatan PM setelah habis periode kepresidenannya, dan setelah itu kembali lagi jadi presiden. Juga sama dengan Xijinping. Demi musuh bersama kepada AS, memungkinkan konstitusi diubah, tidak ada batasan kekuasaan presiden.. Erdoğan di Turki, Orbán di Hongaria, Maduro di Venezuela, Modi di India (untuk menyebutkan beberapa saja) juga sama. Yang memalukan sifat  mereka mencemooh, merendahkan mereka yang mengkritik, dan mempertanyakan legitimasi dari setiap suara yang bertentangan dengan mereka. Padahal demokrasi mati tanpa dialektika.


Karena putus asa melawan oligarchi politik, partai-partai arus utama , bisa begitu saja bersekutu dengan partai agama yang mengusung identitas. Itu yang terjadi misalnya di Belgia pada tahun 1930-an, ketika fasisme dikalahkan oleh kesediaan partai Katolik  ( politik agama/identitas ) berkoalisi dengan kaum liberal. Di Chili, Pinochet akhirnya dikalahkan pada tahun 1989 oleh koalisi Partai agama dan sosialis,  Demokrat Kristen dan Sosialis, yang  katanya berkomitmen bersama untuk melestarikan demokrasi. 


Kelangsungan demokrasi membutuhkan politisi yang bersedia menempatkan stabilitas jangka panjang di atas keuntungan jangka pendek dan siap untuk mengakui bahwa apa yang terjadi akan terjadi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Mengapa negara gagal ?

  Dalam buku   Why Nations Fail  , Acemoglu dan Robinson berpendapat bahwa pembangunan ekonomi dan kemakmuran atau kemiskinan suatu negara d...