Selasa, 19 Mei 2020

Menyikapi Covid-19



Saya memperhatikan perkembangan pandemic ini secara seksama, terutama pendapat dan sikap orang terhadap kebijakan negara. Maklum karena menyangkut kebijakan, tentu tidak mungkin memuaskan semua orang. Dan pasti tidak ada kebijakan yang sempurna. Pasti ada sisi kekurangan dan kelebihan. Dari situasi itulah terjadi polarisasi di masyaraka. Bukan hanya di Indonesia tetapi juga di luar negeri. Bahkan di AS yang negara majupun terjadi polarisasi di masyarakat terhadap kebijakan pemerintah. Kalau saya perhatikan ada tiga pendapat. 

Pendapat pertama, adalah mereka yang sangat mengkawatirkan Covid-19 sebagai pandemic. Umumnya mereka terpengaruh dari berita media massa dan pendapat para pakar. Terutama media massa selalu mengulas hal yang mengkawatirkan, menakutkan dan ancaman Covid-19 bagi manusia. Apapun informasi dari pemerintah yang menenangkan, mereka anggap tidak benar. Bahkan pendapat para ahli yang terkesan meremehkan Covid-19 mereka anggap ngawur. Bahkan data resmi pemerintah tidak dianggap kebenaran. Sementara praduga yang hanya berupa opini mereka anggap kebenaran, kalau itu menguatkan persepsi mereka bahwa covid-19 ancaman serius

Mereka ini sangat berharap pemerintah melakukan kebijakan ekstrim terhadap pandemic ini seperti Lockdown atau PSBB yang ketat. Apapun ada kesan ketidak disiplinan masyarakat mematuhi protokol PSBB, mereka anggap “ konyol”;  Tidak ada niat untuk mengurangi korban COVID-19. Tidak menghormati paramedis yang ada di garda terdepan dalam perang melawan COVID-19. Mereka hanya percaya masalah COVID-19 hanya bisa selesai apabila ada vaksin. Selama belum ada vaksin, pemerintah harus membuat kebijakan agar tidak ada penyebaran COVID-19, dan menghentikan korban.

Pendapat kedua, adalah mereka yang menjadikan COVID-19 ini sebagai issue politik. Bagi mereka, apapun kekurangan pemerintah, termasuk kesulitan menghadapi COVID-19 dijadikan sebagai amunisi untuk menjatuhkan citra pemeritah. Mereka menggunakan referensi pendapat pertama, namun pada waktu bersamaan memprovokasi umat beragama agar melanggar PSBB. Karena mereka tahu, umat beragama terutama para tokoh merasa dirugikan akibat  PSBB, yang membuat mereka terhalang melakukan kegiatan ritual  berjamaah. Bagi mereka semakin lama PSBB, semakin besar kerugian pemerintah dan semakin menderita rakyat, semakin besar peluang untuk chaos. Saat itulah mereka bergerak menjatuhkan pemerintah.

Pendapat ketiga, adalah apapun pendapat pertama dan kedua, bagi mereka engga ada urusan. Mereka hanya ingin hidup normal tanpa berharap ada donasi dari pemeritah. Mereka berpikir realistis, yang sadar bahwa COVID-19 itu berbahaya namun mereka juga tidak bisa  terlalu lama bersembunyi di rumah mengikuti PSBB. Karena hidup mereka secara ekonomi tidak aman. Kelamaan di rumah bisa membuat mereka kehilangan pendapatan. Nah mereka inginkan segera PSBB dilonggarkan dan mereka bisa kembali normal beraktifitas. Kalaupun PSBB dihentikan, mereka sudah paham bagaimana protokol kesehatan agar terhindar dari COVID-19. Mereka bisa saja masuk dalam protokol herd immunity.

Dari tiga pendapat itu semua benar. Karena berangkat dari persepsi berbeda. Namun baik pendapat pertama, kedua, ketiga, apapun  solusi mengatasi COVID-19 tidak akan ada hasilnya tanpa ditemukan vaksin. Yang ada hanya menunda masalah. Kapan Vaksin ditemukan? tidak ada yang tahu pasti. Yang jadi persoalan, menunda masalah itu perlu ongkos. Tidak ada negara yang kuat mengongkosi perang yang tidak jelas kapan berakhir. Tidak semua orang punya kemampuan financial menanggung ongkos selama masa menanti vaksin itu. Nah silahkan berpikir. Silahkan tentukan pilihan bersikap. Apapun pilihan pasti ada resikonya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Mengapa negara gagal ?

  Dalam buku   Why Nations Fail  , Acemoglu dan Robinson berpendapat bahwa pembangunan ekonomi dan kemakmuran atau kemiskinan suatu negara d...