Jumat, 23 Agustus 2019

Perbedaan dalam islam

Mengapa ada perbedaan dalam islam? dan perbedaan itu terlalu dibesar besarkan? jawabannya singkat saja. Karena politik. Kalaulah umat islam itu cerdas dalam beragama, tentu tidak mudah diprovokasi sehingga terbelah. Kalaulah politik itu tidak berorientasi kepada kekuasaan, perbedaan itu engga laku dijual dan engga mungkin rame perang dalil. Pemain politik tidak ada urusan dengan kebenaran hakikat. Mereka hanya mempermainkan emosi umat yang bodoh melalui provokasi dengan dalil Al Quran dan hadith. Dari situlah muncul Mahzab. Dari situlah lahir teologi tentang agama yang berusaha menjadi jalan tengah menjembatani perbedaan itu. Namun kadang teologi pun tidak lepas dari pengaruh politik.
Betulkah ? Perbedaan itu terjadi karena setelah Nabi Wafat, kelompok dalam islam berusaha ingin menjadi penguasa. Mengapa ? karena memang Nabi tidak pernah menentukan siapa calon pemimpin setelah beliau. Jadi jangankan menentuk model negara ( khilafah ) , menentukan calon pemimpin yang pantas setelah beliau pun tidak ada wasiat. Puncak ketegangan antar golongan itu terjadi ketika proses suksesi dari Usman bin Affan ke Ali bin Abi Thalib. Sebetulnya ketegangan itu sudah terjadi sebelumnya dengan puncak terbunuhnya Usman bin Affan oleh kelompok radikal yang mengaku paling sholeh penerus Nabi.
Ketika Ali terpilih sebagai khalifah, perpecahan diantara Umat sudah masuk keperang secara fisik antara pasukan Ali bin Abi Thalib melawan para penentangnya. Perang sesama Islam. Peristiwa-peristiwa ini telah menyebabkan terkoyaknya persatuan dan kesatuan umat. Sejarah mencatat, paling tidak, dua perang besar pada masa ini, yaitu Perang Jamal dan Perang Siffin. Apakah murni karena keyakinan Al Quran dan hadith ? bukan. Terjadinya pembangkangan diantara elite karena Ali membuat para elite engga lagi menikmati kemewahan seperi era Usman. Para elite itulah yang memprovokasi umat agar membangkang dengan Ali.
Dari perselisihan ditingkat elite itulah lahir aliran keagamaan dalam Islam, seperti Syiah, Khawarij, Murjiah, Muktazilah, Asy'ariyah, Maturidiyah, Ahlussunah wal Jamaah, Jabbariyah, dan Kadariah. Jadi, aliran-aliran ini pada awalnya muncul sebagai akibat percaturan politik yang terjadi, yaitu mengenai perbedaan pandangan dalam masalah kepemimpinan dan kekuasaan (aspek sosial dan politik). Bukan niat untuk memperkuat dan meninggikan syiar islam sebagai rahmat bagi semua. Karena politik pulalah , Ali sebagai keluarga Nabi dan juga menantu Nabi, khalifah, dibunuh oleh kelompok khawarij. Setelah Khalifah baru di baiat —yang merupakan lawan politik Ali—keluarga Nabi dibantai dipandang karbala. Kejam sekali. Padahal Nabi tidak mengajarkan itu. Ini hanya politik.
Saat kini perselisihan itu dibakar lebih besar lagi. Bukan lagi soal cara merebut kekuasaan dan politik secara lokal tapi sudah international. Menguasai dunia. Gimana caranya ? menempatkan perbedaan bukan hanya soal politik tetapi lebih dari itu adalah soal keimanan. Yang dimusuhi adalah siapapun yang berbeda. Bukan hanya kalangan seagama tetapi juga berbeda Agama. Dari sinilah muncul sikap radikalisme dan terorisme atau teologi maut. Mati karena membunuh musuh agama adalah syahid. Menurut saya, mereka bukan lagi beragama islam yang mengajarkan rahmat bagi semua tetapi golongan sesat yang sengaja merusak citra islam. Mengapa ?
Sebagian orang islam memandang agama sebagai something to use but not to live. Orang berpaling kepada Tuhan, tetapi tidak berpaling dari dirinya sendiri. Agama digunakan untuk menunjang motif-motif lain: kebutuhan akan status, rasa aman atau harga diri. Orang yang beragama dengan cara ini, melaksanakan bentuk-bentuk luar dari agama. Ia puasa ,Sholat, naik haji, bahkan dikenal luas agamanya, tetapi tidak didalamnya. Imam Al-Ghazali, menyatakan bahwa beragama seperti ini adalah beragama yang ghurur (tertipu). Tertipu, karena dikira sudah beragama, ternyata belum. Dikira sudah sangat menguasai agama, ternyata tertipu.
Cara beragama seperti ini tidak akan melahirkan masyarakat yang penuh kasih sayang. Sebaliknya, kebencian, iri hati, , fitnah, merasa paling benar, masih tetap akan berlangsung. Sedangkan makna yang intrinsik, yang dianggap menunjang kesehatan jiwa dan kedamaian masyarakat, agama dipandang sebagai 'comprehensive commitment' dan 'driving integrating motive', yang mengatur seluruh hidup seseorang. Agama diterima sebagai faktor pemadu (unifying factor). Hanya dengan cara itu kita mampu menciptakan lingkungan yang penuh kasih sayang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Inflasi momok menakutkan

  Dalam satu diskusi terbatas yang diadakan oleh Lembaga riset geostrategis, saya menyimak dengan sungguh sungguh. Mengapa ? karena saya tid...