PT Obsidian Stainless Steel (OSS) dan Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) yang beroperasi di Sulawesi Tenggara kini terpaksa menghentikan produksi. Apa pasal? Karena induk perusahaannya di China, Jiangsu Delong Nickel Industry (JDNI), mengalami kebangkrutan. Sebelumnya Tsingshan Holding Group Company juga kolaps karena future trading dan dibeli oleh Baowu Steel Group. Padahal mereka adalah perusahaan tambang nikel terkemuka di dunia berkat sumber nikel Indonesia.
Penyebab ada tiga. Dan ini penyakit bagi pengusaha tambang yang tidak focus kepada ekosistem bisnis tambang. Lebih focus meleverage sumber dayanya dengan melipat gandakan kapasitas produksi tanpa mengukur resiko penurunan harga jual
Pertama. Mereka menggunakan tekhnologi yang murah pada tahap awal pembangunan smelter. Namun dalam proses produksi jadi mahal. Awalnya tidak dipermasalahkan soal strategi ini. Karena harga nikel yang tinggi dan terus naik -dipicu oleh kebutuhan Nickel Mangan Cobalt- masih memberikan margin besar. Namun ketika LFP ditemukan, harga nikel jatuh di pasar dunia sejak tahun tahun 2022, ongkos produksi itu jadi terasa sangat mahal. Pilihan hanya dua. Lanjut produksi dalam keadaan merugi atau stop.
Kedua. Sumber dana investasi mereka berasal dari trader yang offatake market. Pinjaman dikaitkan dengan future trading. Nah umumnya trader itu terhubung dengan hedge fund institution. Cost of money sangat mahal. Namun karena margin tinggi, tidak ada masalah. Namun dengan turunnya harga jual nikel. Utang itu jadi masalah serius. Artinya mereka harus delivery barang dengan harga disepakati. Kalau terjadi bankrupt, maka trader akan dapat hak tagih lebih dulu.
Ketiga. Dai Guofang pemilik dari Jiangsu Delong Nickel Industry dan Guangda pemilik Tsingshan Holding Group tidak punya kompetensi sebagai trader dan tidak punya visi sebagai industri mining. Mereka businessman ordinary, yang sangat bergantung kepada team professional dan dukungan sumber daya dari pemerintah Indonesia. Cepat naik dan tentu cepat jatuh. Sudah bisa ditebak. Karena begitu besar sumber daya yang mereka kuasai, memancing pemain hedge fund untuk memangsanya.
Padahal Indonesia pemain utama nikel dunia. Produsen nikel nomor 1 dunia. Nah dengan runtuhnya mereka, tentu mengurangi kapasitas produksi nikel. Sementara harga batubara juga jatuh karena melemahnya permintaan dari berbagai negara, seperti China, India, Jepang, Korea Selatan, dan Eropa. Sudah seharusnya Indonesia mengurangi kuota produksi nikel maupun batubara. Agar harga bisa membaik atau setidaknya diatas biaya produksi.
Nah ayolah putar otak. Sudah saatnya arahkan SDA kita kepada downstream yang produksinya langsung ke konsumen akhir. Engga melulu jadi suplier pabrik di China.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.