Pemerintah meluncurkan kebijakan baru penyimpanan Devisa Hasil Ekspor (DHE)untuk komoditas Sumber Daya Alam (SDA). Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 8 tahun 2025 yang baru diteken, disebutkan kewajiban penempatan DHE SDA menjadi 100 persen dalam sistem keuangan Indonesia, dengan jangka waktu 12 bulan, dari sebelumnya hanya tiga bulan. “ Anda deposit DHE di Bank dan bank akan beli obligasi valas yang diterbitkan BI” Begitu beleid Peraturan pemerintah. Artinya kebijakan DHE hanya bersifat retensi.
Anda tidak perlu terkejut dengan PP ini. Karena aturan soal DHE itu sudah berkali kali diubah. Tidak efektif. Pembantu presiden hanya ABS kepada presiden. Tidak akan berpengaruh significant memperkuat cadangan devisa dan moneter. Mengapa ? Bagaimanapun aturan DHE itu bersifat insentif berupa bunga dan diskon pajak. Jelas bunganya lebih tinggi dibandingkan deposito pada umumnya. Malah nambah ongkos negara dan mengurangi penerimaan negara dari pajak.
Sebenarnya skema aturan DHE sama saja dengan skema open market SRBI. Hanya saja pemerintah dan BI berusaha menciptakan sumber valas dari dalam negeri, bukan dari luar negeri. Karena sumber valas dari luar negeri sudah semakin sulit akibat likuiditas ketat. Apalagi dengan kebijakan strong USD oleh Trumps. Yang bagaikan magnit besar menarik modal dari luar AS masuk kandang.
Setiap pemerintah mulai gamang terhadap adanya capital outflow, selalu mata diarahkan ke pengusaha yang tajir dari SDA. Indonesia produsen nikel nomor 1 dunia. Produsen emas terbesar nomor 6 di dunia. Produsen batubara nomor 3 dunia. Produsen CPO nomor 1 dunia. Semua ekspor oriented. Mengapa mereka tidak tempatkan DHE nya di Indonesia. Mau marah? Ya engga bisa. Kita kan menganut rezim devisa bebas ( UUnomor 24 tahun 1999 ).
Mari perhatikan model bisnis SDA di Indonesia. Sebagian besar investor SDA kita itu asing. Walaupun namanya local namun skema investasi sepenuhnya dikendalikan investor asing. Misal. China invest USD 100 juta di smelter Nikel. Itu duitnya dari pinjaman bank di China. Tentu ada kewajiban membayar dan kendali rekening penjualan dari lender bank. Ya otomatis hasil Devisa Hasil ekspor kita di control bank di China. Lokal hanya teman tidur doang
Freeport walau 51% saham dikuasai Indonesia. Namun 100% sumber daya keuangan untuk exploitasi berasal dari Global bond 144A (S). Ya mau engga mau, seluruh DHE sudah log in di rekening luar negeri. Mengapa ? Global Bond yang diterbitkan PT. Inalum sebagai share holder mayoritas Freeport adalah unsecure. Collateral dari Bond itu bukan neraca Inalum, tetapi produksi Freeport itu sendiri. Yang didalamnya termasuk skema DHE ditempatkan di luar negeri. Bahkan UU Minerba tidak berdaya memaksa Freeport tidak ekspor konsentrat tembaga ke luar negeri.
Sebagian besar batubara dan CPO itu bisnisnya sudah di offtake oleh perusahaan yang terdaftar di Singapore. Walau kredit investasi dan modal kerja dari Bank local namun financial guarantee sebagai collateral berasal di Singapore. Otomatis semua hasil ekspor di kuasai oleh bank penerbit financial guarantee. Masih banyak lagi skema investasi asing terhadap SDA seperti counter trade fund, in kind loan, yang pada ujungnya penguasan DHE ada pada investor asing.
Kok bego ? Ya karena struktur investasi pengolahan SDA itu kan dari awal memang sengaja mengundang investor asing. Lihatlah betapa bangganya kita saat China, Jepang, Korea, Sngappore, AS investasi SDA. Bahkan presiden Mulyono berserta Menteri hidungnya mekar saat meresmikan proyek smelter. UU minerba kita ubah agar otomatik renewel izin dan sekarang dibuka seluas luasnya izin konsesi minerba. Itu semua demi memanjakan investor asing. Maklum walau yang didepan local dibelakang tetap aja asing. Namanya Lina ( Lokal Indonesia dan Asing).
Saran saya, yang harus diubah bukan aturan DHE, tetapi UU konsesi investasi SDA. Misal UU Minerba. Buat keharusan bahwa setiap investasi SDA oleh asing harus bersifat FDI murni. Dan kalau diekspor diharuskan DHE di repatriasi ke IDR. Nah itu pasti efektif memperkuat stabilitas IDR dan moneter kita. “ Tapi kalau UU itu direvisi, makelar kodok sekitar ring kekuasaan makan bakiak. Karena yang akan invest adalah investor real player, bukan trader atau broker Singapore. Mana mau mereka deal dengan makelar kodok“ Kata teman.
Saya hanya bisa tersenyum masam atas omongan teman itu. Karena begitu besar SDA kita, namun utang valas kita mencapai USD 425 miliar. Sementara surplus ekspor hanya USD 32 miliar/ tahun. Engga sampai 10 % dari utang valas. Makanya sebagian besar Cadangan Devisa kita berupa utang luar negeri. Bahkan posisi asset financial luar negeri kita jauh lebih kecil dibandingkan dengan kewajiban financial luar negeri. Artinya kita itu besar tetapi kopong. Semua karena salah urus dan rakus nya para elite dan oligarki. Kalau tidak ada kebijakan yang mendasar untuk berubah, hanya masalah waktu kita bangkrut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.