Selasa, 26 Oktober 2021

Pinjol dan dampak sosial.

 



Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G Plate menyebutkan total omzet atau perputaran dana dalam bisnis tekfin (financial technology/fintech) atawa pinjaman online (pinjol) tercatat lebih dari Rp260 triliun. Ia mengatakan ada lebih dari 68 juta akun dalam bisnis pinjol saat ini. Namun, Johnny tidak menyebut secara pasti apakah ini termasuk pinjol ilegal atau tidak. 


Informasi itu dari sisi distribusi modal menurut saya bagus. Tapi kecepatan pertumbuhan yang begitu besar, tanpa pengawasan yang ketat, bisa bedampak negatif. Karena bisa mengundang predator menawarkan pinjaman diluar aturan yang ada. Hebatnya setelah terjadi massive pinjol ilegal dan setelah Jokowii teriak, barulah aparat bergarak. Kantor pinjol ilegal digrebek. Debt collector ditangkap. Bahkan Mahfud MD, Menko Polkam, ikut bicara dengan nada keras. “ Engga usah bayar pinjol ilegal”


Di Indonesia ini, masyarakatnya memang creatif dan mudah sekali masuk perangkap.  Tetapi sebenarnya bukan hanya di Indonesia, di China juga. Jadi sudah sifat dasar manusia, kalau terjepit akal sehatnya tidak berfungsi. Di benaknya kalau ada solusi too good to be true, langsung ditabrak.  Apapun dia teken dan setujui asalkan dapat uang sebagai solusi. Namun umumnya mereka yang suka too good to be true itu pride nya tinggi. Nah pride inilah yang dijadikan collateral. Engga bayar, disebarkan lewat sosmed. Makanya ada peminjam Pinjol yang memilih bunuh diri karena tak sanggup menanggung malu.


Karena korban pinjol ini massive sekali. Negara harus hadir menyelamatkan masyarakat. Engga bisa diserahkan kepada hukum perdata dan privat. Kalau dibiarkan maka 60 juta akun sosmed yang terlibat pinjol itu bisa jadi masalah politik.  Itu sebabnya pemerintah bersikap. Di China juga sama. Bukan hanya penyelenggaran Pinjol yang kena tangkap. 11 perusahaan ecommerce yang memfasilitasi Pinjol itu diwajibkan membayar denda. Totalnya puluhan triliun.


Memang fintech itu bagus sekali. Tapi juga sangat berbahaya. Karena dia bisa meruntuhkan sistem keuangan domestik. Merusak tatanan sosial dan ekonomi masyarakat. Itu sama dengan menuang racun sosial ke tengah masyarakat. Kalau pemerintah tidak mampu menjadi pengawas yang efektif, mending tunda saja Fintec dan bank digital. Karena ini bisa jadi biang kekacauan ekonomi di lapisan bawah.  Semua tahu, kalau sudah terlalu besar tekanan kepada rakyat kecil, akan dimanfaatkan oleh kaum oportunis. Apapun bisa terjadi. Kalau terjadi ya terjadilah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Mengapa negara gagal ?

  Dalam buku   Why Nations Fail  , Acemoglu dan Robinson berpendapat bahwa pembangunan ekonomi dan kemakmuran atau kemiskinan suatu negara d...