Jumat, 15 Oktober 2021

Bisnis model dan ekosistem.

 




Business model

Anda tahu semua minuman mineral kemasan plastik. Kalau harga minyak jatuh, pabrik air mineral untung besar dari kemasan. Karena harga nafta sabagai bahan baku biji plastik PP juga turun. Artinya produksinya air mineral tapi untung di kemasan. Lain halnya air mineral kemasan botol kaca, memang dapat untung dari airnya. Tentu itu kelas premium yang minum untuk sehat. Begitu juga pabrik rokok. Mereka dapat untung bukan dari rokok tetapi untung dari kemasan. Karena kemasan tidak masuk komponen kena cukai / pajak negara.


Bekakangan bisnis model terus berkembang pesat. Bukan hanya pada produksi barang tetapi juga jasa. Angkutan publik seperti kereta dan buss suttle di china dan Hongkong, bukanlah untung jualan ticket tetapi jualan jasa uang digital dan kawasan TOD. American Airline setelah restruktur bisnis, justru untung bukan dari hanya jual ticket penumpang tetapi juga untung dari angkutan logistik dan ekosistem financial.


Itulah contoh penerapan bisnis model. Era modern sekarang bisnis engga lagi jualan seperti dagang sapi. Ukurannya berat. Tetapi menjual dengan dukungan value.  Angkutan massal kalau mahal tidak akan efektif dan layak. Kalau murah, engga untung. Tetapi dengan ticket murah, komunitas massal itu mendatangkan bisnis putaran uang digital. Itu mendatangkan fee tidak kecil.Jalur yang dilewati  angkutan massal itu melahirkan  bisnis TOD yang menghasilkan laba dan sustain.


Di negara maju, penerapan bisnis model dalam pembiayaan proyek dianggap sebagai sumber daya keuangan negara yang berkelanjutan. Karena ia menciptakan ekosistem bisnis dan iklusif. Tapi di Indonesia, bisnis model sulit diterapkan secara utuh karena adanya bisnis rente.   Contoh aja. MRT dan LRT , Pengelola hanya dapat untung secuil dari tiket, sementara putaran uang digital akibat MRT dan LRT dinikmati bank. Kereta cepat jakarta bandung, yang menikmati bisnis TOD adalah developer Mafia tanah. Akibatnya, bisnis model sebagai sumber daya keuangan negara engga bisa diterapkan. Semua akhirnya tergantung APBN lewat hutang dan penjaminan. Dan akhirnya publik dikorbankan.


Ekosistem bisnis lewat ecommerce

Saya sering diminta jadi angel investor untuk start up IT. Kadang juga diminta teman diskusi soal rencana investasinya dibidang start up. Sebagian besar yang bawa proposal selalu bercerita tentang pengalaman kerjanya di perusahaan Unicorn atau  Decacorn atau hectocorn. Juga cerita tentang pengalaman kerjanya di Laboratorium software. Keren dah. Apalagi dia sebut nama almamater kampusnya. Seakan dengan segudang pengalaman dan skill itu, mengajak kita bermimpi seperti start up yang sudah sukses mendulang capital gain berlipat.


Bagi saya, itu semua nothing. Saya focus pada peluang apa dari rencana bisnis start up ini. Umumnya datang dengan konsep market place bidang  jasa seperti travel, logistik, transfortasi dll atau barang dagang. Kalau dibedah rencana itu, yang saya lihat hanya uang keluar. Itu pasti. Sementara hasil masih harapan. Belum pasti.  Sementara bagi saya pelung bisnis itu sederhana. Cukup jawab secara sederhana, mengapa orang tertarik membeli barang atau jasa ? itu saja. Mengapa pertanyaan sederhan itu penting. Baik saya jelaskan secara sederhana:


Pertama. Mengapa orang tertarik membeli barang atau jasa? Alasannya, karena trend mode berbelanja secara online yang didukung berbagai program dan aplikasi IT. Soal marketing engga ada masalah. Bisa lewat iklan besar besaran dan potongan harga. Duh maaf, bagi saya  itu omong kosong. Bakar uang. Tidak akan ngejar biaya tetap. Mengapa ? ecommerce itu biaya tetapnya ( Fixed cost)  besar sekali; Gaji karyawan, co-location server,  gateway, biaya pernyusutan atas hardware. Maklum IT itu cepat sekali berubah. Kalau engga update cepat , investasi yang ada akan ditelan pesaing. Sekali target meleset, itu bisnis bisa digulung ole biaya tetap ( Fixed cost trap).


Kedua. Kalau pertanyaan pertama itu dijawab “ Kami punya business model. Targetnya adalah transformasi dari ekosistem offline ke ekosistem online” 


“ Itu bagus. Tapi apakah kalian sudah pernah kelola business yang jadi bagian ekosistem offline?


“ Pernah. Bahkan kami sudah established sekian tahun. “


Nah ini peluang. Artinya dengan adanya IT,  peluang bisnis itu punya keunggulan bersaing.  Bersaingnya bukan karena kehebatan iklan. Tetapi karena adanya komunitas. Berkat IT, memungkinkan komunitas itu diikat dalam satu ekosistem business.  Ia akan terus berkembang secara mandiri namun saling terikat. Contoh sederhana. Alibaba punya bisnis yang sudah established puluhan tahun sebagai pengelola pameran dagang international. Mereka punya data supplier dan buyer besar sekali. Dengan IT, Alibaba kembangkan business model supply chain global. Buyer dan seller berada dalam satu ekosistem. Sukses besar. Jack ma sukses bukan karena dia punya team IT yang hebat tetapi memang business modelnya hebat.


Paham kan.  Mudah. ? Ya engga. Kalau anda belum pernah unggul dalam business offline, jangan ngomong melaksanakan business model online. Apapun rencana anda,  itu sama dengan anak kecil membayangkan kehidupan rumah tangga suami istri. Terlalu jauh ngayalnya. Pasti rencana yang anda susun itu omong kosong semua.  Apalagi anda merasa dengan IT, bisa menjangkau segala galanya. Ya tentu bisa. Tetapi itu ongkos dan buang waktu sia sia.


Kalau saya perhatikan business ecommerce berkelas unicorn seperti BukaLapak, traveloka, GoJek, Grab dan lain lain, hanya masalah waktu mereka akan tumbang. Mengapa ? Mereka tidak berangkat dari business offline yang solid. Tapi langsung membuat platform ecommerce untuk menarik semua business offline. Bagus, tetapi tidak membumi. Pengelola start up itu langsung terbang kelangit tanpa pernah nginjak bumi. Sementara pelanggannya ada di bumi. ya engga nemu. Onani doang.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Di balik tataniaga Timah.

  Direktur Utama PT Timah Tbk (TINS) Ahmad Dani Virsal mengatakan bahwa Indonesia kini merupakan produsen timah terbesar kedua di dunia. Dia...