Jumat, 01 Oktober 2021

Pemilu 1955, awal krisis politik.



Pendahuluan.

Waktu pemilu 1955, belum ada sosmed. Belum ada televisi. Yang ada hanya koran. Keberhasilan partai sangat ditentukan oleh militansi kadernya sendiri. Ada 172 partai, yang lolos dapat kursi hanya 28 partai. Tapi empat besar dikuasai oleh PNI, Masyumi, NU dan PKI. Kalau gigabung suara NU dan Masyumi ada 39,% suara. Sementara PKI 15,3% dan PNI berjumlah 22,3%. Praktis pemenang sebenarnya adalah golongan islam. Momentum golongan islam sangat besar menentukan idiologi negara. Apalagi pemilu 1955 itu bertugas membentuk UUD. Karena UUD 45 dan Pancasila sudah dibatalkan oleh hasil Konferensi Meja Bundar 1949 sebagai bentuk pengakuan kedaulantan Indonesia oleh PBB.


Nah dalam lembaga Konstituante yang bertugas menyusun UUD itu, apa yang sekarang sering kita dengar retorika politik identitas Islam, sebenarnya adalah copy paste dari retorika politik Masyumi. Seperti retorika Isa Anshary yang dicatat dalam salah satu dari 17 jilid Risalah Perundingan Tahun 1957, yang diterbitkan Sekretariat Konstituante—dan dikutip dalam buku Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia, isinya; 


”Kalau saudara-saudara mengaku Islam, sembahyang secara Islam, puasa secara Islam, kawin secara Islam, mau mati secara Islam, saudara-saudara terimalah Islam sebagai Dasar Negara.  [Tapi] kalau saudara-saudara menganggap bahwa Pancasila itu lebih baik dari Islam, lebih sempurna dari Islam, lebih universal dari Islam, kalau saudara-saudara berpendapat ajaran dan hukum Islam itu tidak dan tidak patut untuk dijadikan Dasar Negara… orang demikian itu murtadlah dia dari Agama, kembalilah menjadi kafir, haram je-nazahnya dikuburkan secara Islam, tidak halal baginya istri yang sudah dikawininya secara Islam….


Perhatikan, ia menyatakan, ”Hanya orang yang sudah bejat moral, iman dan Islamnya, yang tidak menyetujui berdirinya Negara Islam Indonesia. Masyumi menganggap ”haram” pandangan Bung Karno yang melihat gotong-royong sebagai hakikat Pancasila. Sebab ”Tuhan yang Maha Esa” dilebur dalam kata ”gotong-royong”. Artinya, Tuhan yang Maha Sempurna tak sepatutnya dipertautkan dengan ikhtiar bersama manusia yang masing-masing terbatas dan daif dan cacat. Tapi sikap politik Masyumi itu, oleh PNI dan PKI didebat, “ Kalau Tuhan dipisahkan dari ikhtiar manusia, lantas dimana Tuhan? Emangnya Tuhan juga berpolitik? Tuhan itu bersama manusia menciptakan peradaban.


Empat tahun bersidang Lembaga Konstituante itu, selalu gagal mencapai kata sepakat untuk lahirnya UUD. Akhirnya Soekarno terpaksa melobi  NU agar keluar dari koalisi Masyumi dan mengusulkan kembali ke UUD 45. Tetapi dalam tiga kali voting, selalu gagal. Karena walau NU setuju namun ketika  voting sebagian besar mereka tidak hadir dalam sidang. Akibatnya tidak tercapai kuorum. Terpaksa Soekarno menggunakan dukungan ABRI untuk mengeluarkan dekrit kembali ke UUD 45 dan Pancasila, dan  Indonesia masuk ke era demokrasi terpimpin. 


Tidak ada lagi Pemilu setelah itu. Soekarno jadi presiden seumur hidup. Hanya dengan cara  itu kekuatan islam tidak tampil. Karena kalau ada pemilu lagi, kemungkinan besar golongan islam akan menang telak, dan kemungkinan juga akan pecah NKRI. Karena disebelah golongan Islam ada PKI yang juga pengaruhnya semakin luas di Indonesia, dengan jargon, “ Jangan pilh partai yang tokohnya tukang kawin.” Padahal saat itu,  baik PNI maupun NU  dan Masyumi, memang banyak tokohnya poligami, sementara PKI melarang Poligami. Itu cara smart PKI menarik dukungan dari kaum perempuan yang mayoritas pemilih.


***


Pemilu 1955, paling demokratis.

Undang-Undang Nomor 7 tahun 1953, ( UUDSementara) mengamanahkan diadakannya pemilu. Tujuan pemilu adalah memilih anggota-anggota parlemen (DPR) dan Konstituante. Konstituante sendiri adalah lembaga yang memiliki tugas dan wewenang untuk melakukan perubahan terhadap konstitusi negara. Jadi pemilu itu sangat penting agar kita punya UUD yang legitimasi international dan punya dasar hukum untuk membatalkan RIS ( Republik Indonesia Serikat ) hasil kesepakatan dengan PBB berkaitan dengan pengakuan kedaulatan Indonesia.


Pemilu pertama kali dilakukan Indonesia adalah tahun 1955. Itu pemilu yang paling demokratis. Karena tanpa money politik. Benar benar kekuatan akar rumput dan dukungan kader partai yang menentukan. Antusias rakyat ikut pemilu sangat tinggi.   Pemilu 1955 sendiri dibagi menjadi dua tahap! Pembagian ini dilakukan berdasarkan tujuannya, yaitu: Tahap pertama merupakan pemilu untuk memilih anggota DPR. Tahap ini diselenggarakan pada tanggal 29 September 1955 dengan diikuti oleh 29 partai politik dan individu. Tahap kedua merupakan pemilu untuk memilih anggota Konstituante. Tahap ini diselenggarakan pada tanggal 15 Desember 1955.


Partai yang ikut pemilu ada 172 kontestanm namun hanya 28 kontestan yang berhasil memperoleh kursi. Empat partai besar secara berturut-turut yang memenangkan kursi adalah Partai Nasional Indonesia sebesar 22,3 persen, Masyumi 20,9 persen, Nahdlatul Ulama 18,4 persen, dan Partai Komunis Indonesia 15,4 persen. Sementara ABRI dan Polri bebas memilin sesuai pilihannya. Jadi waktu itu ABRI dan Polri ada disemua partai, termasuk di partai komunis. Usai pemilu itu pemerintah mengeluarkan Undang-undang No.13 tahun 1956. Indonesia secara sepihak membatalkan seluruh perjanjian KMB , dan sejak itu Indonesia tidak terikat lagi dengan seluruh perjanjian KMB, termasuk soal yang berkenaan dengan status wilayah Irian Barat.


Gagal membentuk UUD baru dan kembali ke UUD 45

Namun timbul masalah setelah pemilu. Apa itu ? Rapat konstituante selama empat tahun tidak pernah bisa menghasilkan kesepakatan untuk lahirnya UUD. Partai nasionalis, PKI dan Masyumi engga pernah bisa sepakat. Maklum, PKI dan Islam engga bisa sepakat soal prinsip. Nasionalis juga tidak bisa sepakat dengan PKI dan Islam. Jadi mbulet begitu aja. Akhirnya jalan buntu. Nah saat itu Soekarno sebagai presiden harus mencari solusi atas kebuntuan politik agar roda pemerintahan bisa jalan. Caranya adalah dengan meminta diadakan voting untuk kembali ke UUD 45. Namun tiga kali voting gagal. Karena tidak mencapai kuorum.   Stuck.


Akhirnya Soekarno melobi PNI, NU dan PKI agar bersama sama dia dalam front nasional mengembalikan UUD 45 dan Pancasila. Ketiga partai itu mewakili suara 56,1%. PNI, NU dan PKI setuju. Kecuali Masyumi menolak. Namun dukungan politik saja tidak cukup. Soekarno butuh dukungan Militer. Jenderal A Nasution sebagai wakil dari mliter setuju. Atas dasar dukungan politik dari 3 partai dan militer itulah, Soekarno pada tahun 5 juli 1959 membubarkan Lembaga hasil pemilu ( Konstituante)  dan kembali kepada UUD 45. Masyumi meradang. Ketika meletus PRRI, banyak tokoh Masyumi bergabung dengan PRRI- Permesta. Karenan itu Soekarno membubarkan Masyumi dan menangkapi tokoh Masyumi.


Lahirnya Golkar dan Soeharto tampil

Selanjutnya kita menganut demokrasi terpimpin dengan UUD 45  yang tidak disusun oleh mereka yang terpilih lewat pemilu. Namun Soekarno sudah terlanjur tidak nyaman dengan banyak partai. Mengapa? karena trauma dari keberadaan Lembaga konstituante yang hampir membubarkan NKRI. Sikap Masyumi yang konsisten mendirikan negara Islam, akan menjadi ancaman kalau ada lagi pemilu.  Makanya Soekarno punya ide membentuk barisan nasional dari para pekerja, bukan partai.  ide Sukarno tersebut diilhami dari negara China dan Yugoslavia yang menerapkan negara satu partai. Di dalam parlemen, kedua negara itu memiliki semacam golongan fungsional atau wadah yang mewakili golongan-golongan yang memiliki fungsi dalam masyarakat.  


Pada akhir 1959, ketika Demokrasi Terpimpin akhirnya dimulai secara resmi, Angkatan Darat lebih dulu membangun jaringan dengan organisasi berbagai golongan seperti kelompok organisasi-organisasi pemuda, petani, jurnalis, dan sebagainya.  Itu terus berproses lewat operasi intelijen sampai tahun 1964. Soekarno selaku presiden pada saat itu mengeluarkan Keputusan Presiden (Kepres) No. 193/1964 tentang penginstruksian organisasi-organisasi yang berada dalam Front Nasional segera berafiliasi dengan partai-partai politik yang ada atau bergabung menjadi satu organisasi. Berdasarkan keputusan ini, pada tahun 1964 juga militer dengan konsep Dwifungsi ABRI membentuk Sekber Golkar runtuk menampung organisasi-oranisasi yang tidak memiliki afiliasi politik pada golongan golongan tertentu.  Langkah ini juga sebagai cara Angkatan Darat  menandingi kekuatan pengaruh PKI yang semakin meluas.  


Soekarno saat itu tentu saja terkejut. Karena begitu cepatnya Angkatan Darat membentuk kekuatan politik non partai. Artinya Soekarno didului oleh Angkatan Darat.  Padahal Golkar itu ide dan konsep Soekarno. Tetapi tidak semua perwira tinggi Angkatan Darat setuju dengan Sekber Golkar.  Sebagian besar masih sangat loyal dengan Soekarno. Namun dengan tegas mereka menyatakan tidak setuju dengan PKI. Berbeda dengan Soeharto yang tidak begitu phobia dengan PKI. Namun dianggap oleh Soekarno tidak seloyal jenderal lain. Itu sebabnya Soeharto ditempatkan sebagai pangkostrad. Dulu Kostrad itu benar benar pasukan cadangan. Engga efektif sebagai garis komando kecuali Pangad berhalangan tetap dan atau untuk tugas khusus saja.


G30 S PKI meletus dengan terbunuhnya jenderal Loyalis Soekarno.  seperti Ahmad Yani. Mayjen M.T. Haryono, Mayjen S. Parman, Mayjen R. Soeprapto, Jenderal Nasution, Mayjen R. Soeprapto. Mengapa Soeharto tidak termasuk yang jadi korban ? spekulasi sejarah mengatakan G 30 S PKI itu istilah yang berasal dari Soeharto, yang katanya dia tahu percis dibalik kedeta itu adalah PKI. Karena dia bergaul dengan banyak perwira pendukung PKI.  Apakah benar PKI melakukan kedeta?  Kita tidak tahu pasti. Yang pasti, dengan terbunuhnya jenderal jenderal tersebut, terbuka peluang Soeharto menguasai Angkatan Darat, sehingga berkat dukungan sekber Golkar, memuluskan upayanya menjadi RI-1

Kesimpulan.

Pertama. Pemilu 1955 sukses melegitimasi keberadaan NKRi secara international dan membubarkan RIS ( Republik Indonesia Serikat ) hasil KMB ( pengakuan kedaulatan Indonesia di forum PBB). Namun gagal membentuk UUD karena perbedaan yang lebar antara partai PKI, Masyumi, NU dan PNI. Akhirnya kita kembali kepada UUD 45 yang tidak dirancang oleh mereka yang dipilih lewat Pemilu.

Kedua, terjadi intrik Politik antara ABRI dan Soekarno berkaitan dengan pengaruh PKI yang semakin besar dalam perpolitikan di Indonesia. Walau Soekarno berusaha merangkul Nasionalis, agama dan PKI  ( NASAKOM) dalam barisan nasional namun tidak sepenuhnya diterima oleh golongan islam ( NU) dan ABRI. 


Ketiga, Soeharto tampil dengan memanfaatkan intrik politik antara ABRI dengan Soekarno tanpa terkesan dia membenci PKI. Sehingga dia sangat mudah memainkan kartunya untuk menjadi pemenang tanpa dia harus berhadapan dengan Soekarno secara langsung dan menggunakan kekuatan ABRI dan golongan islam untuk menghabisi PKI. Dan akhirnya dia bisa memanfaatkan Golkar  untuk berkuasa selama 32 tahun. Selama ia  berkuasa, Golongan kanan ( Islam)  maupun kiri ( komunis ) berani melawan, dia gebuk. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Memahami ekonomi makro secara idiot

  Berita media massa soal kinerja pemerintah dan terkait utang selalu bias. Bukan pemerintah bohong. Tetapi pejabat yang melakukan pers rele...