Saya bergaul dengan banyak kalangan. Dari pengusaha, elite partai, wartawan, profesional, pejabat dan tentu direksi BUMN. Tidak ada satupun satu persepsi terhadap kebijakan pemeritah. Saya meliat itu buah dari demokrasi yang membuat orang berpikir pragmatis, tidak ideologis. Ada komaris BUMN yang ditunjuk pemerintah, soan ke partai oposisi.Kadang soan juga ke ormas besar. Dia ikut menjelekan pemerintah dengan tujuan dapat simpati politik untuk menang dalam intrik dengan direksi. Ada pejabat negara yang seenaknya mentertawakan kebijakan pemerintah. Padahal dia bagian dari abdi negara yang harus satu visi dengan presiden.
Ada teman pendukung setia Jokowi, menebarkan kebencian terhadap Taliban. Padahal dia tahu. Tanpa peran Jokowi tidak pernah taliban diperhitungkan secara politik. Bagi rezim Ghani, Taliban adalah Kelompok kriminal bersenjata. Tetapi berkat Indonesia, Taliban bisa masuk dalam dialogh perdamaian. Kebayangkan, KKB ikut berdamai dengan pemerintah resmi. Hebatnya, itu berkat peran Jokowi dengan memprakarsai pertemuan ulama international di Bogor. Sejak tahun 2015 Jokowi dua kali bertemu dengan Presiden Ghani dan Jk empat kali. Dukungan teman itu kepada Jokowi karena dasar pragmatis. Sama saja dukung Jokowi tapi anti PDIP.
Berlarut larut penyelesaian masalah BUMN, seperti Asabri, Jiwasraya, Garuda, Waskita, itu karena internal BUMN juga terbelah. Antar direksi ada faksi berdasarkan backing partai. Bisa partai oposisi bisa juga bagian dari koalis. Kemudian dikementrian juga sama. Bertambah runyam, DPR juga tidak satu suara. Semua bicara soal kepentingan. Akibatnya, masalah sederhana jadi runyam. Setelah kerugian membesar tanpa bisa lagi bermain intrik. Direksi dan pejabat dikorbankan. Lihatlah kasus Asabri dan Jiwasraya. Kerugian ditutupi dengan PMN.
Banyak lagi proses politik melambat bahkan tersendat ketika diaplikasikan. Karena ketidak jelasan sikap antar semua komponen. Di internal pemerintah, di luar pemerintah, dan di akar rumput terjadi polarisasi yang sangat mengkawatirkan. Liat aja postingan di sosial media. Kalau tidak ada perubahan konstitusi yang memastikan pancasila sebagai idiologi tertutup untuk mendukung kekuasaan lembaga kepresidenan, dengan merestuktur MPR/DPR, maka hanya masalah waktu negeri ini akan pecah. Sudah sangat mengkawatirkan. Apalagi era digital dimana negara tidak berdaulat atas IT…
***
Kita selalu mengagungkan Pancasila. Kita tidak suka ada paham kanan seperti Islam radikal. Kita juga menolak Komunis. Dalam perdebatan semua berlindung kepada Pancasila. Tetapi tahukah anda.? Sejak diamandemennya UUD 45, tidak ada lagi korelasi antara UUD 45 dengan Pancasila. Itu hanya sebatas retorika politik persatuan saja. Dalam konteks Pancasila sebagai sebuah sistem politik , tidak ada. Dalam amandemen UUD 45 tahun 2002, tidak ada pasal yang khusus menyebutkan bahwa idiologi negara adalah Pancasila. Makna Pancasila hanya tersirat pada Pasal II Aturan Tambahan UUD 1945.
Terbukti dalam UUD 45, tidak semua pasal yang ada sesuai dengan Pancasila. Lantas idiologi kita itu UUD 45 atau Pancasila? Apa engga kacau Pasal II itu.? Engga percaya? Mari kita lihat apakah semua pasal pasal dalam UUD 45 itu sesuai dengan ruh yang ada pada mukadimah. Ternyata dari 37 pasal UUD 45, hanya ada empat pasal saja yang sesuai Pancasila. Yaitu pasal 29 yang ada korelasinya dengan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pasal 34 yang ada kaitannya dengan sila kedua. Pasal 2 Ayat 2 yang terkait dengan sila ke empat. Pasal 33 berkaitan dengan keadilan sosial.
Nah hal yang sangat penting sila persatuan Indonesia, tidak ada dalam UUD 45. Padahal itu penting sekali. Lucunya asas persatuan itu ditempatkan pada level konsitutsi yang lebih rendah yaitu dalam UU Kewarganegaraan, penggunaan hukum nasional dan membela tanah air. Apa artinya? Kita mengagungkan NKRI sementara tidak ada jaminan konstitusi yang memagar NKRI. Mengapa ? sedari awal amandemen UUD 45 itu kemungkinan besar dibawah pengaruh asing. Karena kekuatan Indonesia itu ada pada Persatuan dan kesatuan. Dengan tidak ada konstitusi menjamin maka persatuan kita mudah dilemahkan.
Di Indonesia itu amandemen UUD 45 itu secara konstitusi tergantung MPR/DPR namun secara defacto harus mendengar aspirasi dari dua kekuatan, yaitu TNI dan Islam. Islam disini adalah NU dan Muhammadiah. Kalau keinginan MPR bisa diterima oleh TNI dan dua ormas besar itu, maka amandemen akan terjadi. Amandemen yang rencanakan dibahas tahun depan adalah berkaitan dengan PPHN ( Pokok Pokok Haluan Negara) atau GBHN.
Nah kalau UUD 45 mengatur tentang GBHN maka posisi Presiden harus sebagai mandataris MPR. Kalau engga, apa dasar konstitusi presiden terikat dengan GBHN? Kan engga ada. Jadi kalau tetap Pilpres maka akan terjadi krisis konstitusi. Persatuan kita rentan sekali. Solusinya ya presiden dipilih oleh MPR. Kemudian, kalau ada GBHN maka harus ada pasal dalam UUD 45 menyebut bahwa Pancasila adalah idiologi negara yang berdiri sendiri.
Saya yakin konsep Amandemen UUD 45 ini datang dari PDIP atas keyakinan NU dan Muhammadiah akan mendukung. Memilih Ma’ruf Amin sebagai wapres memang by design dari PDIP. Yang tahu Ma’ruf Amin punya pengaruh di dua ormas besar itu. Sementara TNI sudah sejak tahun 2002 menolak amandemen. dan ingin mempertahankan UUD 45 secara murni. Tetapi terpaksa menerima karena suara MPR dikuasai oleh Partai islam ( poros tengah). Yang kemungkinan menolak Amandemen UUD 45 itu adalah dari partai Islam , terutama PKS dan PAN. Kita liat nanti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.