Kamis, 05 September 2019

SDA dan Ancaman geostrategis


Menurut teman saya ada yang lucu di negeri ini. Apa itu? Orang yang menciptakan jargon politik itu bukan orang creative orisinil tapi hanya copy paste dari buku yang dia baca waktu kuliah dulu. Jadi engga pinter pinter amat. Saya masih bingung arah pembicaraanya. Coba kita lihat sejarah masa lalu kita. Kenapa kebencian kita kepada Belanda, Portugis, Inggeris, Jepang tidak nampak sama sekali. Padahal bangsa tersebut pernah menjajah Indonesia. Tapi mengapa kebencian kepada Cina, dan mereka yang berbeda agama, berbeda mahzab selalu mendapat tempat dalam issue politik. Mengapa ? Karena dulu memang Belanda membuat konsep memecah belah persatuan indonesia menggunakan konsep SARA.
Belanda sengaja memelihara etnis China dan membuat mereka unggul secara ekonomi, tapi pada waktu bersamaan Belanda menciptakan politik paranoia terhadap etnis China. Walau etnis China bisa berkembang sebagai wirausaha, dan memberikan upeti kepada penguasa Belanda namun mereka tetap saja tidak berani macam macam. Karena mereka menghadapi paranoia dari Etnis lain. Dari itulah Belanda menggerakan mesin ekonomi di negara jajahannya, dengan membuat segelintir orang kaya dan lainnya miskin. Dengan demikian secara tidak langsung Belanda menciptakan musuh bersama agar etnis china semakin tergantung kepada Belanda, dan loyal.
Kemudian bila ada Mahzab atau golongan dalam Islam baru tampil, Belanda sengaja memberi ruang agar semakin banyak pengikutnya dan bila semakin banyak akan didekati tokohnya. Kelak kelompok ini akan dibenturkan dengan kelompok lain bila salah satu mereka ingin melawan Belanda. Tinggal Belanda menonton pertempuran diantara mereka. Siapa yang menang pasti akan lemah sehingga mudah di hancurkan Belanda. Karena itulah Belanda bisa bertahan 350 tahun menjajah bangsa ini. Jadi cara Belanda itu memang sederhana tapi smart. Karena Belanda ingin berkuasa dengan ongkos murah. Tak perlu memikirkan biaya memakmurkan rakyat secara nyata. Cukup ciptakan issue yang bisa menimbulkan konplik dan keresahan agar orang banyak tetap lemah.
Nah, Belakangan kaum terpelajar yang sekolah di luar negeri, mempelajari cara cara Belanda mengelola negeri jajahannya. Mereka paham sekali. Makanya mereka tidak menggunakan gerakan melawan Belanda dengan atas nama Agama atau golongan tapi atas nama paham kebangsaan, dengan jargon satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa, yang kemudian melahirkan Pancasila. Maka kesatuan dan Pancasila inilah yang membuat Belanda mati langkah. Walau berkali kali Belanda mencoba membenturkan golongan kanan dan kiri namun selalu Paham kebangsaan bisa mempersatukan barisan untuk focus menghadapi Belanda dan segala bentuk penjajahan baru.
Di era demokrasi bebas seperti sekarang ini, kembali pihak penjajah ( baru) melakukan cara cara lama itu. Yaitu menggunakan kelompok dan golongan dengan menciptakan beragam issue agar kesatuan dan persatuan itu tercabik. Dan yang mudah digiring adalah golongan Agama. Cara membangkitkan emosi agama menggunakan cara lama ya copy paste dengan yang pernah di pakai Belanda dulu. Men judge orang yang berbeda dengan sebutan Kafir, menciptakan musuh bersama kepada etnis China. Membesar besarkan masalah sepele menjadi issue agama agar menjadi api membakar semangat bela agama , bela ulama, bela syariah islam. Bagi umat islam yang tidak sependapat dianggap liberal, murtad, menghina islam, dan banyak lagi istilah buruk yang memastikan yang tidak mendukung adalah musuh mereka.
Para penjajah baru itu bukan orang Belanda, bukan Jepang tapi mereka adalah bangsa sendiri sebagai proxy asing. Tujuannya tentu agar dapat berkuasa dan menerapkan cara Belanda menjajah negeri ini. Gimana caranya ? ya engga jauh dari cara Belanda; ciptakan kemiskinan dan kebodohan agar orang banyak semakin engga peduli dengan kompetisi dan hidup dalam fantasi agama. Tapi cara cara seperti ini mudah di tebak oleh mereka yang doyan piknik dan tentu tidak bisa disadari oleh bani celana longgar. Tapi apa mau dikata ? Di Jakarta, kaum bigot celana longgar itu jumlahnya lebih banyak dan sistem demokrasi menempatkan seorang Ahok harus masuk bui karena itu. Dan Gubernur baru terpilih menerapkan cara cara Belanda berkuasa. Kalau kita lengah bukan tidak mungkin dia bisa jadi penguasa negeri ini. Kita akan kembali terjajah dengan cara baru…

***

Di era Soeharto, kita punya MIGAS sangat besar produksinya. Bahkan kita termasuk negara besar penghasil MIGAS. Tapi tahukah anda? bahwa kita juga pengimpor BBM terbesar. Mengapa ? karena yang meng exploitasi MIGAS kita adalah Inggris ( BP), Amerika ( Caltex/ Cevron) dan lainnya. Mereka tidak berpikir untuk membangun downstream MIGAS di Indonesia. Mereka hanya keruk SDA MIGAS kita dan kemudian di kapalkan ke luar negeri dan di proses di luar negeri menghasilkan BBM dan petro kimia. Kalaupun belakangan Soeharto membangun kilang sendiri namun kapasitasnya rendah. Sampai sekarang kita masih tergantung impor BBM, karena downstrean MIGAS kita kurang.
KIta punya SDA mineral, seperti emas, nikel, besi dan lainnya. Tapi tahukah anda? sejak era Soeharto, bahan tambang mineral seperti Nikel, Emas dan lainnya, dikapalkan jutaan ton ke luar negeri untuk diolah. Produksi tambang Freeport di Papua, di kapalkan ke Jepang dan Spanyol untuk di olah jadi emas dan produk turunan tembaga. Kemudian masuk lagi ke Indonesia dengan nilai tambah untuk kita beli. Kalaupun ada di produksi dalam negeri, seperti oleh Antam dan Inalum, namun kapasitas produknya sangat rendah. Lebih banyak dikapalkan keluar negeri dalam bentuk mentah. Dan kita tetap tergantung impor.
Mengapa ? Itu sebetulnya karena kebijakan negara yang tidak punya visi industri dan pada waktu bersamaan pengusaha lokal yang jadi mitra asing adalah juga elite politik yang tidak punya visi industri. Mereka hanya punya visi pedagang, mengejar rente untuk hidup senang tanpa kerja keras. Para sarjana lulusan PTN terbaik, justru mau saja jadi jongos asing mengexploitasi SDA kita tanpa mikir gimana menghasilkan nilai tambah. Bahkan berpuluh tahun kita tidak mampu menciptakan mobil nasional. Karena semua agent kendaraan import yang mendapat fasilitas negara tidak berpikir kemandirian dibidang otomotif.
Barulah di Era reformasi kita mulai sadar akan perlunya visi Industri untuk dilaksanakan. Tidak hanya wacana dalam seminar dan diskusi di Kampus. Namun melaksanakan visi industri itu tidak hanya sebatas kebijakan negara. Seperti Undang-Undang No. 4/2009, MINERBA, itu disyahkan tahun 2009 yang mengharuskan barang tambang MINERBA diolah dalam negeri, dengan kewajiban membangun smelter sendiri. Tapi juga harus didukung oleh mental pengusaha yang punya visi Industri. Sayangnya pengusaha tambang yang ada sekarang adalah warisan Soeharto. Mereka tidak punya visi industri. Tekanan dari pengusaha tambang melalui jalur politik sangat keras. Pemindahan ibukota ke Kaltim disikapi nyinyir. Karena tahu dengan adanya ibukota di Kaltim maka izin tambang tidak akan diperpanjang lagi.
Bahkan tekanan juga berasal dari luar negeri , terutama dari AS, Eropa dan Jepang yang membawa kasus ini ke WTO. Alasanya dengan berlakunya UU itu akan membuat mati industri mereka. Akibatnya UU Minerba itu tidak seratus persen dilaksanakan. Pemerintah terkesan kompromi. Namun di Era Jokowi, disikapi dengan tegas. Freeport tidak mau bangun smelter, ya di beli sahamnya agar kita sendiri yang bangun smelter. Indonesia mengundang investor asing untuk teribat dalam pembangun smelter. Jepang dan AS wait and see. Berharap Jokowi tidak lagi terpilih tahun 2019.
Sementara China datang ke Sulawesi membangun smelter nikel dengan kapasitas jutaan ton. China pun dituduh ingin menjajah kita. Padahal china tidak punya tambang di Indonesia seluas seperti Amerika. China hanya mengolah tambang sesuai UU dan indonesia mendapatkan nilai tambah. Kini kemarahan Amerika dan negara Eropa semakin menjadi jadi , dan indonesia masuk dalam putaran politik geostrategis mereka dengan politik adu domba melalui proxy nya di Indonesia. Jadi, negeri ini gaduh karena mental pedagang, pengusah rente bangsa Indonesia, yang rela menjual negeri ini untuk memuaskan sahwat pribadinya saja. Dan lucunya diikuti oleh kaum bigot.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Dampak kebijakan Trump ..

  Trump bukanlah petarung sejati. Dia tidak punya seni bertahan sebagai seorang petarung yang punya ketrampilan bela diri dan kesabaran. Ret...