Tahukah anda? bahwa 70% perputaran uang di Indonesia berada di DKI Jakarta. Data itu menurut Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia. Kalau uang beredar akhir desember 2018 di Indonesia itu mencapai Rp 5.758,3 triliun maka sebesar Rp. 4000 triliun itu ada di Jakarta. Nah kalau kita mendengungkan NKRI maka data ini benar benar tidak mencermikan NKRI. Jargon negara kesatuan hanya ada dalam tataran retorika politik saja. Tidak ada upaya konkrit dan politik yang bisa memastikan bahwa negeri ini didirikan atas dasar Pancasila dan NKRI. Suka tidak suka, kemerdekaan Indonesia hanya menguntungkan Jawa pada umumnya dan segelintir orang pada khususnya.
Mengapa Jakarta jadi tempat perputaran uang begitu besar? karena berpuluh tahun negeri ini dibangun dengan mindset kekuasaan. Kekuasaan itu mendatangkan magnit luas biasa bagi siapa saja yang ingin mengakses sumber daya. Itu sudah menjadi budaya di Indonesia. Makanya Jakarta sebagai pusat pemerintahan bagaikan gula yang didatangi semut dari semua penjuru. Urbanisasi tidak bisa dielakan. Berbagai peluang bisnis terbuka di Jakarta, walau itu sumbernya dari daerah juga lewat pengurasan sumber daya alam. Namun apakah semua kemelimpahan uang itu dinikmati oleh sebagian besar rakyat Jakarta? tidak. Justru Jakarta mempertontonkan dengan vulgar kesenjangan ekonomi itu.
Keadaan kota yang dibangun ala kadarnya dengan tata ruang yang tidak berjangka panjang, yang bisa diubah seenaknya, Jakarta tidak bisa menyembunyikan dirinya dari kekumuhan. Walau gedung Jangkung tumbuh ba’ cendawan dimusim hujan namun tidak bisa menutupi fakta bahwa Jakarta tetaplah sebagai a big village yang tidak qualified sebagai kota kosmopolitan, apalagi bersanding dengan Tokyo, atau kota besar lainnya. Dari tahun ke tahun masalah Jakarta semakin rumit. Kemacetan terjadi setiap waktu. Walau MRT , LRT dibangun, tetap tidak akan mengurangi kemacetan. Fasilitas air bersih yang buruk. Lingkungan soial yang kurang dan setiap tahun banjir. Penyakit sosial, ketidak disiplinan, akibat urbanisasi yang tidak terkelola dengan baik terus bertambah.
Jakarta seharusnya memang direstruktur ulang. Tidak lagi harus menanggung beban sebagai pusat pemerintahan. Jakarta harus melepaskan sekat sebagai Ibu Kota. Jakarta harus menjadi kota mandiri yang punya core sebagai kota Dagang dan jasa. Program restruktur ulang jakarta adalah hal yang mendesak dilakukan. Kalau tidak, dalam jangka panjang kota ini akan stuck dengan menimbulkan masalah sosial yang mudah menjadi masalah nasional. Terlalu besar resikonya bisa Jakarta tetap sebagai Ibukota.
Karenanya wacana pemindahan Ibukota ke luar Jawa yang sudah berlangsung sejak era Soekarno , kini saatnya harus segera dilaksanakan. Tidak lagi hanya sebatas wacana. Secara politik ini semakin mengukuhkan kedewasaan Indonesia dalam mengelola negara kesatuan, yaitu semakin besar political will pemerintah untuk mendistribusikan pemerataan ke luar jawa. Secara geography, posisi Jakarta tidak aman. Karena pangkalan baru militer AS di Pulau Cocos, Australia yang berjarak 1270 km dari Jakarta , hanya butuh waktu sekian menit dengan pesawat tempur sudah habis Jakarta. Keberadaan Jakarta sudah tidak layak sebagai pusat pemerintahan dan diharus segera melakukan restruktur kota agar bisa tumbuh berkelanjutan.
Apakah secara hukum ada kendala memindahkan Ibu Kota ? memang perlu ada perubahan UU Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia. Pasal 3 menyebutkan "Provinsi DKI Jakarta berkedudukan sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia.”. Saya rasa ini tidak begitu sulit untuk melakukan perubahan UU tersebut. Karena 60% korsi DPR dikuasai oleh koalisi Jokowi. Bagaimana dengan Anggaran? kemungkinan sebagian besar dan selanjutnya pendanaan proyek ibu Kota baru ini akan di biayai diluar APBN.
***
Rencana ibukota RI tahun 2020 sudah mulai dikerjakan. Tata ruang Kota dirancang sebagai forest city atau green city. Di kota ini ada 4 kawasan wilayah, dengan total luas 180.000 hektar. Satu, zona pusat pemerintahan, Dua, zona ibu kota negara, Ketiga, zona IKN yang menjadi lokasi konservasi. Ke-empat, zona tempat tinggal dan pusat sarana publik. Kota ini juga dilengkapi dengan IT system sehingga layak disebut dengan smart city. Setiap rumah terhubung dengan security sytem aparat kepolisian. Tidak ada ruang publik yang tidak terjangkau CCTV. Sehingga sekecil apapun gangguan dapat segera diantisipasi. Begitupula penggunaan listrik dan air di kelola menggunakan IT system. Sehingga efisiensi nya sangat tinggi.
Tata letak antar zona dibuat sedemikian rupa sehingga kesan sebagai green city tetap terjaga. Hubungan antara zona dirancang yang memungkinkan koneksi antar zone terjadi secara harmoni. Setiap blok bisa dijangkau hanya 10 menit berjalan kaki. Jadi kota ini sangat compact. Sehingga kota nampak beautiful dan friendly terhadap komunitasnya yang diperkirakan berjumlah 1,5 juta orang. Pasti tidak akan ada banjir karena sistem drainase dirancang lebih dulu sebelum bangunan didirikan. Tidak akan ada kemacetan. Karena traffic kota dirancang secara IT, yang bebas macet dengan dukungan infrastruktur baik jalan raya maupun LRT yang membelah kota. Sehingga darimanapun orang bepergian, akan cepat sampai ditujuan. Tidak akan ada rumah kumuh sebagai sumber penyakit sosial. Listrik kota menggunakan listrik ramah linkungan. Kendaraan BBM tidak boleh ada kecuali kendaraan listrik. Di kota inilah akan berdiri istana Presiden RI berserta semua kantor kementerian, termasuk lembaga tinggi negara.
Skema pembiayaan.
Skema pembiayaan.
Luas lahan untuk ibukota Baru mencapai 180.000 hektar. 20% lahan itu milik rakyat, yang harus dibebaskan oleh negara dengan ganti rugi. Sementara 80% lahan statusnya milik negara. Dari luas 180.000 hektar itu yang akan dibangun adalah seluas 30.000 hektar. Selebihnya menjadi hutan kota. Artinya seluruh lahan yang ada di ibukota baru itu adalah milik negara. Ibu kota baru ini akan menampung PNS pindahan dari Jakarta sebanyak 118.513 ribu. Dari total tersebut, 2.356 PNS merupakan pejabat struktural. Sementara 116.157 orang adalah PNS pusat dengan usia beragam mulai di bawah 20 tahun hingga 45 tahun. Itu tidak termasuk anggota keluarga PNS yang jumlah mungkin 5 kali lipat atau mencapai 600.000 orang.
Jokowi telah menegaskan bahwa pembangunan ibukota Baru yang rencananya menelan anggaran mencapai total Rp 446 triliun, hanya sebesar Rp. 30 triliun berasal dari APBN. Itupun dibayar selama lima tahun. Dana ini untuk membangun infrastruktur dasar seperti pembukaan lahan, jalan, jembatan, dan Istana presiden. Lantas darimana sisanya ? Perhatikan skema sebagai berikut.
Lahan.
Karena semua lahan di ibukota baru seluas 180 ribu hektar milik negara maka negara bukan hanya sebagai regulator tetapi juga sebagai pemilik. Lahan itu sebelum ada infrastruktur dasar tentu tidak ada harganya. Tetapi setelah disediakan infrastruktur dasar maka harga tanah akan naik valuenya. Nah seluas 30.000 hektar lahan itu akan dijual kepada publik. Rencana harganya beragam namun maksimum Rp 2 juta per M2,
Infrastruktur umum.
Nah untuk pembangunan Bandara, pembangkit listrik, backbone IT dan telekomunikasi, water supply ( PDAM), MRT, rumah sakit, Universitas, pemerintah menerapkan skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU). Artinya Swasta ( lokal maupun asing ) atau BUMN boleh membangun proyek infrastruktur dengan uang mereka sendiri dan berhak mengelola itu sebagai konsesi bisnis dalam jangka waktu tertentu. Artinya setelah rentang waktu konsesi habis, harus kembali kepada negara. Kalau mereka untung, mereka harus bayar pajak. Sementara tarif tetap ditentukan oleh pemerintah sesuai UU. Yang sudah berminat menerapkan pola KPBU ini adalah UEA, AS, Hongaria, dan beberapa negara lain termasuk China.
Untuk membangun kantor pemerintahan dan lembaga tinggi negara, diterapkan dengan skema Kerjasama Pemanfaatan (KSP). Lahan dan bangunan yang ada di Jakarta di KSO kan dengan swasta dengan kewajiban Swasta membangun gedung pemerintahan di Ibukota Baru. Walau ibukota pindah, Jakarta tetap sebagai kota bisnis. Lahan di semua gedung pemerintahan yang ada di Jakarta sekarang berada di kawasan emas. Ini pasti menarik bagi investor mengikuti tawaran kersama. Sementara gedung yang ada di Jakarta akan meningkatkan PAD PBB bagi Jakarta.
Sementara untuk membangun perumahan karyawan bagi ASN, Pusat komersial, Hotel, Mall, negara menjual lahan kepada developer seharga Rp. 2 juta per M2. Tentu harga ini bervariasi tergantung peruntukannya. Negara bisa tentukan harga yang flexible agar harga proporsional dengan kelas penghuni. Jadi adil. Dari penjualan lahan ini negara sedikitnya dapat uang sebesar Rp. 400 triliun. Hampir semua developer besar tertarik mendapatkan peluang dari proyek ini.
Jadi negara engga keluar duit sama sekali untuk pembangunan infrastruktur umum dan sarana perumahan. Kalau Jokowi mengatakan bahwa sumber pembiayaan Ibukota Baru tidak dari utang, itu tepat sekali. Bukan hanya tidak perlu hutang, malah dapat untung. Loh kok mau investor? Alasannya ada dua. Pertama, harap dicatat , penduduk Ibukota baru ini adalah kelas menengah dan atas. Mereka konsumen potensial secara bisnis. Ingat, komunitas berjumlah sedikitnya 600.000 itu dengan tingkat pendapatan diatas rata rata PDB nasional. Kota tidak menanggung beban sosial akibat kemiskinan seperti kekumuhan dan lain sebagainya. Ini akan mengundang daya tarik orang berduit untuk tinggal di sana. Tentu meningkatkan value harga property. Kedua, investor tidak perlu lagi membebaskan lahan, karena lahan sudah dikuasai negara. Tidak perlu repot dapatkan izin, karena izin satu pintu dibawah otoritas kawasan. Jadi tinggal bangun saja.
Sebagai negara dengan populasi diatas 250 juta orang, dan nomor empat terbesar di dunia, sudah seharusnya Indonesia punya ibu kota yang representatif, modern. Karena ini menyangkut kehormatan bangsa dan negara di mata dunia. Setelah sekian puluh tahun Indonesia merdeka, di era Jokowi, kehormatan bangsa dan negara bukan hanya dalam bentuk retorika tetapi diujudkan dalam bentuk proyek raksasa, dengan skema gotong royong. Semoga!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.