Minggu, 27 Januari 2019

Mengkritik Jokowi?

Saya tidak pernah membahas tulisan dari pegiat media sosial sekelas seleb Facebook. Karena bagi saya mereka bukan target saya dalam menulis di sosial media. Berpolemik dengan mereka engga ada manfaatnya. Buang waktu. Saya hanya focus  menjawab issue miring yang berasal para politisi partai opisisi. Bisa mereka itu adalah elite partai, pengamat politik atau langsung dari Paslon. Mengapa ? dampak dari pernyataan mereka sangat berpengaruh dalam masyarakat. Karena mereka punya legitimasi formal  untuk bicara. Punya status moral untuk bicara atas nama rakyat. Mereka lah yang saya harus hadapi. Tulisan saya lebih kepada penyampaian fakta berdasarkan data formal. Itupun data  yang ada bukan saya serap begitu saja. Tetapi saya analisa dengan prinsip dasar ilmu bidang ekonomi  sosial, budaya, politik. 

Contoh dalam issue hutang. Saya harus mempelajari kebijakan fiskal ( APBN) Jokowi.  Ini berhubungan dengan agenda politik Jokowi bersama partai pendukungnya di DPR. Saya harus tahu apakah agenda politik Jokowi itu bertentangan dengan UU dan Peraturan yang ada. Ini penting untuk mengetahui apakah kebijakan itu dibuat secara struktural atau  pragmatis. Kemudian, saya harus mempelajari postur APBN secara detail. Ini juga untuk mengetahui apakah  agenda politik itu sama dengan rencana  yang tertuang dalam APBN. Kemudian saya juga harus mengetahui kebijakan Moneter dari Bank Indonesia berkaitan kebijakan suku bunga dan kurs rupiah. Harus mengetahui kebijakan dari OJK dalam hal aturan pasar uang dan pasar modal. Itu semua untuk memastikan bahwa kebijakan Jokowi itu teroganisir dengan baik.  Nah apabila kebijakan antar sektoral tidak saling mendukung, maka Jokowi tak ubahnya dengan SBY. Masalah pembangunan hanya ditataran wacana saja. Implementasinya menghabiskan anggaran yang tidak berdampak perbaikan ekonomi secara struktural.  Namun di era Jokowi, antar sektoral itu terjalin sangat indah. Bagaikan musik simponi. Satu dengan yang lainnya terjalin sinergi. 

Contoh kasus pembangunan infrastruktur yang terjadi meluas itu tidak akan terjadi bila tanpa koordinasi antar sektoral. Masalah klasik pembangunan infrastruktur di era presiden sebelumnya adalah soal tanah dan sumber uang. Umumnya pemimpin takut berhadapan dengan kasus tanah dan bingung karena duit cekak. Karena ini sangat politis sekali.  Inipun menjadi tanda tanya bagi saya.  Bagaimana dia bisa melakukan itu?. Teman saya salah satu anggota kabinet mengatakan bahwa di era Jokowi itu rapat bisa dilakukan kapan saja. Bahkan hari minggupun rapat bisa digelar. Namun rapat yang efektif sekali. Tidak pernah mengulang ngulang agenda rapat sebelumnya. Setiap masalah langsung ada keputusan hari itu juga. Bahkan dilapangan dalam peninjauan , rapat bisa dilakukan secara terbatas dan langsung jokowi ambil keputusan.

Kadangkala ada issue yang di lempar oleh elite politik atau pengamat, sebetulnya adalah kritik yang memang diperlukan Jokowi agar fungsi supervisi terhadap kinerja bawahanya dapat lebih efektif. Contoh soal program swasembada pangan yang terseok seok. Antara data dan fakta tidak sama. Tiga tahun berkuasa Jokowi, keputusan diambil. Data pangan hanya satu pintu saja. Dan itu adalah BPS. Kementrian pertanian tidak boleh lagi mengolah data dan tidak lagi menjadi rujukan pemerintah membuat kebijakan soal pangan. 

Contoh lain lagi soal Tenaga Kerja Asing yang selalu jadi rumor negatif. Atas dasar itu Jokowi punya kekuatan politik untuk mengeluarkan Perpres memperkuat UU ketanaga kerjaan. Demo yang berkali kali secara akbar memang dibiarkan Jokowi untuk mengetahui ketahanan idiologi nasional. Dan karena itu UU Ormas dikeluarkan. HTI tersingkir. UU Pemilu direvisi agar memastikan hanya Parpol yang punya program nyata dan diakui diterima secara waras oleh rakyat yang bisa masuk Parlemen. Yang hanya kerjaan goreng issue agama dan primodial akan tersingkir dengan sendirinya.  Bagaimana kalau kebijakannya merugikan citra politiknya dan menciptakan musuh dengan elite politik ? Jokowi engga mikir soal citra politik. Soal resiko politik dari kalangan elite itu urusan Ibu Mega yang memang bidangnya. Antar Jokowi dan Bu Mega seperti penyanyi duet yang serasi. Membuat lagu jadi  apik. Jadi presiden itu tidak mudah kalau tujuanya untuk kerja dan memperbaiki.  Tetapi tentu menyenangkan kalau engga kerja dan memuaskan elite. Jokowi engga begitu.

Jokowi bekerja dalam sebuah sistem ruman besar Indonesia dengan penghuni 250 juta orang yang berbeda mindset nya dan pembagian kekuasaan dengan legislatif, yudikatif yang terstruktur dibawah UUD  dan UU. Mengkritik Jokowi itu tidak semudah melamun dan berimajinasi dengan persepsi utopia. Apa yang dia lakukan tidak ada untuk kepentingan pribadinya. Kalau ada kekurangan, itu karena sistem kekuasaan yang ada. Yang harus terus diperbaiki. Makanya kalau saya menulis seputar ekonomi, politik, sosial, tidak juga mudah. Karena masalahna tidak sederhana. Sangat rumit. Hal yang  rumit itu harus disampaikan kepada publik dalam bahasa publik juga. Karena sebagian besar orang tidak suka membaca literasi panjang, maka sayapun harus creatif cara penyampaiannya. Kadang harus menggunakan narasi populer dengan format komunikasi dua arah. Membela Jokowi bukan masalah Politik tetapi masalah moral. Kalau karena materi mendukung Jokowi maka anda pasti kecewa. Dia bekerja dalam phase memperbaki keadaan yang puluhan tahun terlanjur rusak. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Inflasi momok menakutkan

  Dalam satu diskusi terbatas yang diadakan oleh Lembaga riset geostrategis, saya menyimak dengan sungguh sungguh. Mengapa ? karena saya tid...