Rabu, 06 Februari 2019

Kritik 25% Anggaran bocor?


Capres Prabowo Subianto memperkirakan sekitar 25% anggaran negara 'bocor'. Prabowo menyebut tentang 'kebocoran' anggaran negara itu sudah ia hitung dan tulis di bukunya. Saya belum sempat membaca buku yang ditulisnya. Namun saya sempat terhenyak. Ini bukan lagi kampanye negatif tetapi sudah melakukan hoax  dan tidak mendidik. Mengapa ? menurut perhitungan Prabowo, anggaran negara yang 'bocor' mencapai Rp 500 triliun. Dia menuturkan anggaran sebesar itu bisa membangun industri besar di Tanah Air. Jadi sifatnya hoax yang bertujuan provokasi menimbulkan kebencian kepada pemerintaha Jokowi.  Saya akan membahas pernyataan PS ini. Dengan fakta dan data yang ada.

Negara kita punya BPK. Lembaga ini anggota komisionernya di pilih oleh DPR. Hanya BPK yang berhak memberikan opini seperti kata PS itu. Nah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyampaikan Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2016 kepada DPR RI. Dalam laporannya, BPK memberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) untuk pemerintah pusat. Ini merupakan opini WTP pertama yang diterima pemerintah setelah selama 12 tahun laporan keuangannya selalu mendapat predikat Wajar Dengan Pengecualian. Opini tersebut diberikan karena pemerintah telah berhasil menyelesaikan Suspen yaitu, perbedaan realisasi Belanja Negara yang dilaporkan Kementerian Lembaga dengan yang dicatat oleh Bendahara Umum Negara (BUN). 

Mengapa BPK sampai mengeluarkan opini tersebut. Karena di era Jokowi telah menerapkan single database melalui e-rekon dan sistem informasi penyusunan LKPP. Sehingga tidak mungkin ada lagi konspirasi membancaki APBN.  Kalaupun mau juga konsprasi maka itu harus dilakukan semua instansi di eksekutif, yudikatif dan legislatif. Dengan sistem multi partai dan  distribusi kekuasaan yang begitu luas, tidak mungkin terjadi konspirasi yang sistemik. Dalam debat pertama dengan PS, Jokowi mengatakan bahwa dalam rapat Kabinet dia mendukung perbedaan pendapat antar kementria. Agar bisa terjadi saling kontrol. Artinya dia sendiri yang menjaga sistem single database itu efektif sebagai alat supervisi agar tidak terjadi konspirasi di kabinet.

Di era Jokowi, peran KPK bukan lagi kepanjangan tangan Presiden sebagai alat politik menghabisi lawan. Tetapi benar benar sebagai alat anti korupsi yang efektif. Caranya? Jokowi meningkatkan anggaran KPK dengan tugas lebih besar dalam hal pengawasan dan pembinaan anti korupsi kepada seluruh intansi. Artinya KPK dilibatkan dari sejak proses tender sampai eksekusi. Makanya banyak pejabat pelaksanaan anggaran di instasi yang stress dan takut merealisasikan anggaran. Itu sebabnya banyak PNS yang tidak suka dengan Jokowi.  Proses cepat sekali tercium  KPK dan hanya diera Jokowi pejabat kena OTT terbanyak dalam sejarah KPK. Bahkan setiap minggu ada saja pejabat kena OTT. Beda dengan era sebelumnya. Contoh kasus sekitar PS yang melibatkan mega skandal yang tak tersentuh secara hukum. PS dan adiknya aman aman saja.

Cukup ? belum. Ada lagi program pembangunan berdasarkan kinerja kepada semua instansi yang secara sistem berhubungan dengan peningkatan insentif. Artinya semakin efisien PEMDA atau instansi  yang diukur dar rendahnya kebocoran dan tingginya integritas, semakin besar insentif diberikan pejabat. Ini akan mendorong semangat efisiensi dan efektifitas tugas secara manusiawi.

Anggaran APBN hanya menyediakan 9% dana untuk infrastruktur.  Artinya sebagian besar proyek infrastruktur dibiayai di luar APBN. Ini murni bisnis. Ada procedur bisnis yang ketat terhadap proyek untuk memastikan proyek itu layak dari sisi perbankan maupun investor. Maklum sebagian besar dana untuk pembiayaan proyek berasal dari perbankan dan investor. Kalau anggaran proyek di mark up, sudah pasti tidak ada investor atau perbankan yang tertarik membiayai proyek. Dan tidak mungkin ada pembangunan infrastruktur terjadi. Mana ada investor yang bego. Apalagi tidak ada jaminan dari pemerintah. Kontraktor yang terlibat semuanya sudah IPO. Artinya mereka juga diawasi oleh publik dan otoritas bursa. Jokowi berhasil menciptakan skema terjadinya pembangun yang secara profesional dapat di pertanggung jawabkan dan negara terhindar dari resiko.

Di era Soeharto , begawan ekonomi Soemitro djoyohadikusumo yang juga ayahanda dari Prabowo pernah berkata bahwa APBN bocor sebesar 30%. Itu karena ketika itu tidak ada KPK. Tidak ada OTT. Dan jarang sekali terdengar orang kena kasus korupsi. Bahkan kasus korupsi menjadi berita nasional yang langka terdengar. Mengapa? bukan karena era Soeharto semua pejabat malaikat tetapi tidak ada sistem yang efektif menangkal korupsi. Bahkan sistem birokrasi dibangun dengan prinsip loyalitas, bukan profesionalitas. Selagi pejabat loyal,  korupsi adalah oli pembangunan. Beda dengan sekarang setiap hari tidak pernah sepi dari berita korupsi. Karena mesin birokrasi yang besar di filter dengan saringan yang ketat. Makanya walau banyak yang kena OTT, tentu belum menjamin semua bersih. Namun jelas tidak mungkin sama dengan era Soeharto.

Di era Jokowi, APBN bukan instrument yang penuh rahasia. Tetapi sangat transparan. Sebagian besar pendanaan pembiayaan anggaran berasal dari utang  ke publik lewat penerbitan SBN. Tentu kredibilitas dan akuntabilitas di perhatikan sengat keras oleh para institusi keuangan yang terlibat dalam proses penerbitan SBN. Kalau ada indikasi bocor 25% engga mungkin ada investor mau beli SBN kita. Tentu tidak mungkin 3 lembaga rating  international memberikan predikatt investment grade kepada Indonesia. Contohnya Arab Saudi gagal terbitkan global bond karena memang tidak ada akuntabilitas anggaran negara. Venezuela gagal menerbitkan global bond karena tidak ada transfaransi anggaran. Freeport Mcmoran gagal keluarkan global bond. Tapi Inalum di percaya dan sukses menerbitkan global untuk ambil alih saham Freeport. 

Memang tidak mungkin indonesia bersih dari korupsi. Semua maklum kok. Tetapi bilang 25% bocor itu semakin menunjukan orang itu tidak sehat secara kejiwaan. Atau dia masih hidup dalam kenangan era Soeharto dan berpikir bersikap seperti era Soeharto. Dia lupa bahwa era sudah berganti dan sistempun sudah berubah banyak. Atau bisa jadi terjebak dengan cara memimpin asal bapak senang. Para pembantunya sengaja memberikan data yang bisa membuat orgasme politik dia terjadi. Berpolitik dengan cara seperti ini tidak mendidik. Apalagi di era yang serba transfarance. Dah gitu aja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Memahami ekonomi makro secara idiot

  Berita media massa soal kinerja pemerintah dan terkait utang selalu bias. Bukan pemerintah bohong. Tetapi pejabat yang melakukan pers rele...