Perhatikan berita di sosmed dan di media digital : Ada 10 juta orang china masuk ke Indonesia. Ada 15 juta PKi di Indonesia. China sengaja kirim narkoba ke Indonesia untuk menghancurkan Indonesia dan pejabat polisi yang menghentikan masuknya narkoba malah di berhentikan. Seramkan. Nah berita itu kemudian diulas dalam postingan dengan narasi konspiratif yang menyebutkan ada kekuatan-kekuatan tertentu dibalik kasus tersebut untuk tujuan-tujuan tertentu, dan lagi-lagi berkembang secara masif di media sosial. Narasi konspiratif yang diberikan kepada publik hanya membuat ketakutan dan kebencian semakin menyebar. Paranoia semakin menggelembung dan Don Quixote era modern pun bermunculan. Ya paranoid. Apa itu ? Kepribadian paranoid ditandai dengan rasa tidak percaya dan curiga yang berlebihan serta tidak menghargai (lack of respect) orang lain. Individu dengan gangguan kepribadian paranoid juga terobsesi dengan perasaan ingin balas dendam yang termanifestasi dalam tindakan genosida. Awal kemunculan gangguan kepribadian paranoid ini diawali dengan pergolakan kepercayaan dan perasaan diri “sedang diserang” yang dialami oleh seseorang.
Orang dengan gangguan kepribadian paranoid selalu merasa tidak percaya, curiga, dan dengki kepada orang lain tanpa sadar dan dasar yang jelas. Sikap inilah yang membuat hubungan interpersonal mereka terganggu karena ada keyakinan dalam diri mereka bahwa orang lain dapat mencelakai dirinya. Siapa sangka kepribadian paranoid ini ternyata juga dimiliki oleh beberapa tokoh ternama dunia seperti Joseph Stalin, Saddam Husein, dan Richard M. Nixon. Nah, berikut ini merupakan ciri-ciri orang dengan gangguan kepribadian paranoid4: Kepekaan yang berlebihan terhadap kegagalan dan penolakan, Kecenderungan untuk tetap menyimpan dendam, seperti menolak memaafkan sesuatu masalah kecil, Kecurigaan dan kecenderungan yang mendalam untuk mengartikan tindakan orang lain yang netral maupun bersahabat sebagai suatu sikap permusuhan dan penghinaan, Kecurigaan yang berulang dan tanpa dasar (justifikasi), Kecenderungan untuk merasa dirinya penting secara berlebihan, Kecenderungan untuk membaca adanya maksud merendahkan atau mengancam yang tersembunyi di balik ucapan manis orang lain, Merasa ragu-ragu dengan loyalitas teman maupun orang di sekitar
Masyarakat kita, meskipun semakin banyak berpendidikan tinggi, sebenarnya orang-orang yang berpikir sederhana dan malas berpikir keras. Dalam keseharian mereka anggota masyarakat yang terlibat dalam interaksi sosial, ekonomi dan budaya. Semua oke saja. Anehnya, mereka adalah orang-orang yang sama yang bergelar sarjana, magister bahkan banyak dari mereka yang bergelar doktor, dengan sadar mempercayai hoaks; menyebar ujaran kebencian dan mensyiarkan fitnah di mimbar-mimbar ceramah, media sosial bahkan di acara pesta-pesta keluarga. Pendidikan tinggi tidak menjadikan mereka punya kemampuan untuk analitis dan kritis. Salah satu contoh yang mudah ditemukan adalah penolakan terhadap media-media mainstream dan menjamurnya situs berita abal-abal, postingan para orang galau, yang anehnya dibaca di percaya dan di komen dengan paranoia. Dengan berani saya sebut, ketika berhadapan dengan realitas di luar lingkup pendidikan dan profesinya, para sarjana, master bahkan para doktor lemah dalam memahami realitas sosial-politik dan tidak mampu mem-proses informasi dengan baik dan mudah diperdaya oleh siapapun, bahkan sama orang tidak dikenal yang masuk japri langsung di tanggapi dengan serius dan percaya.
Paranoia di manapun dan pada siapa pun, sama bentuknya seperti sebuah pengharapan. Orang yang berharap menginginkan sesuatu hadir, meskipun dia tidak tahu pasti kapan akan menjadi nyata, tetapi harapan selalu memberikan waktu untuk menunggu dan menunggu. Akhirnya kita membangun semacam ritual untuk membuat kekawatiran itu selalu ada. Penyebaran paranoia tersebut semakin cepat dan efektif dengan adanya media sosial. Sehingga jika muncul kesimpulan bahwa yang dijangkiti oleh sindrom post-truth itu bukan saja pengguna media sosial di dunia maya, tetapi jauh masuk ke dalam kantor-kantor partai, lembaga negara, LSM, yang membuat fakta objektif tidak relevan lagi, dan lebih mendahulukan persepsi pribadi, dorongan emosional dan bahkan kebencian belaka.
Jadi sebetulnya sifat paranoid yang muncul di media sosial belakangan ini bukanlah datang mendadak tetapi sudah tertanam ratusan tahun dalam budaya kita sebagaimana kebiasaan bergunjing dan ngerumpi di warung kopi dan di antar tetangga. Masyarakat kita suka membahas orang lain karena takut dengan dirinya sendiri yang menyedihkan dan selalu mencari alasan untuk menilai rendah orang lain. Aib bukannya di tutupi tetapi menjadi berita infotaiment yang tinggi ratingnya di TV. Dari itu semua makanya jangan terkejut semakin menyedihkan hidup orang semakin mudah larut dalam narasi kebencian atas dasar paranoid dan mereka mencimptakan komunitas di sosmed. Kadang kalau membaca postingan dan koment nya , memang hidup mereka engga bahagia. Kasihan, memang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.