Kamis, 11 April 2024

Di balik tataniaga Timah.

 



Direktur Utama PT Timah Tbk (TINS) Ahmad Dani Virsal mengatakan bahwa Indonesia kini merupakan produsen timah terbesar kedua di dunia. Dia mengakui, bila tata kelola timah nasional diperbaiki, baik di hulu hingga pemasaran, maka posisi Indonesia di pasar timah dunia juga akan disegani. 


***

Tersebutlah ada pengusaha bernama Udin. Dia punya proposal bisnis yang kreatif dan solutif. Proposalnya punya nilai sosial yang memberikan peluang rakyat yang tidak punya IUP namun punya lahan untuk menggali tambang Timah. Dalam hal ini rakyat kerjasama dengan pemodal tentunya. Produksi biji ore timah itu disuplai ke PT. Timah dengan harga per kg 50% dari harga LME.  PT. Timah juga tidak perlu bangun smelter. Cukup outsourcing kepada swasta. Pembayaran diatur cash flow setelah Timah terima pembayar dari ekspor. Pihak swasta sebagai mitra oursourcing bersedia keluar CAPEX dan OPEX lebih dulu.


Dengan demikian, PT. Timah bisa meningkatkan produksi tanpa dibebani biaya tetap untuk peralatan tambang, smelting dan upah buruh. Timah yang diterima menjadi biaya variable. Kalau harga timah di LME jatuh, ya mereka beli dengan harga jatuh. Resiko volatile market bisa dihindari. Sementara rakyat tanpa IUP mendapatkan peluang income dari produksi tambang Timah dari lahan yang mereka miliki. Ini bisa meningkatkan secara langsung kesejahteraan rakyat di lokasi penambangan. 


Udin tahu bahwa proposal ini melanggar hukum. Karena yang berhak memberikan hak konsesi  pada lahan IUP itu hanyalah negara, bukan BUMN. Udin tidak kehilangan akal. Dia yakikan pemerintah. Bagi meneg BUMN, proposal Udin itu smart. Karena bisa meningkatkan produksi PT Timah tanpa keluar Capex dan Opex didepan. Trade off nya berupa jual beli sesuai dengan harga LME.


Menteri ESDM juga happy dengan proposal Udin. Karena lifting Timah meningkat. Sehingga pemanfaatan SDA Timah bisa optimal bagi negara. Menteri keuangan juga happy, karena meningkatkan pajak.  Pemda juga happy karena rakyat sejahtera dan menjadi sumber PAD. Nah karena semua happy, Udin tawarkan solusi dengan skema penambangan kuridor atas dasar kerjasama dengan pemilik IUP, yaitu PT. Timah. Klop.


Tapi dibalik proposal kreatif Udin yang dilengkapi dengan solusi smart itu, tersembunyi agenda yang dipahami oleh pihak pejabat pemerintah. Apa itu ? ongkos outsourcing di mark up dari actual cost USD 0,7 jadi USD 4 per kg. Dari uang mark up, disalurkan sebagai dana CSR. Udin tunjuk orangnya mengkoordinir pendapatan CSR itu. Uang ini mengalir kepada para pihak yang melancarkan agenda Udin.  Jadi engga pakai uang sendiri. Kalau ada lebih yang dia kantongi.


Nah darimana Udin dapat cuan? Ya dari 100% Timah yang masuk ke smelter, hanya 30% yang disetor ke PT. Timah dengan harga 60% dari LME. Sisanya dia ekspor sendiri ke China, Jepang dan lain lain. Duitnya parkir di luar negeri.  Kalau rata rata setahun total ekspor timah katakanlah 50.000 ton. Maka kalau harga per ton USD 25,000. Maka 70% dari 50.000 ton, Udin dapat cuan USD 750 juta atau kalau dikurs kan rupiah jadi Rp. 11 triliun. Net proceed adalah 50% dari Rp. 11 triliun.


Nah untuk melancarkan agendanya itu, Udin dapat dukungan dari Aparat Polisi dan Pemda untuk mengawai kesepakatan dia dengan PT. Timah. Kalau ada yang ngeyel atau tidak loyal kepada skema Udin, pasti produksi timahnya disita. Nah gitu aja. Tanpa kerja keras, Udin duduk santai di Jakarta. Setiap bulan dapat setoran dari anggota konsorsium yang menjalankan agendanya. Dia lead semua dan dia santai sendiri..


Dampak dari proposal Udin itu menimbulkan moral hazard, sehingga tata niaga yang diatur Udin ideal menjadi kacau, memaksa kontraktor meningkatkan produksi tanpa peduli dengan linkungan. Andaikan PT. Timah tolak proposal Udin , tentu PT. Timah sudah kaya raya, Mungkin akan jadi BUMN terkaya di Indonesia. Tapi kini malah merugi..dengan mengakibatkan kerugian financial dan lingkungan mencapai Rp. 271 triliun.


***

Kalau belajar dari kebangkrutan negara seperti Myanmar, Venezuela, columbia, Kongo, argentina, Brazil, dan lain lain. Negara itu tadinya pertumbuhan ekonomi tinggi. Tetapi itu hanya statistik yang membagi total pendapatan segelintir orang dengan seluruh rakyat. Makanya fundamental nya rapuh. Dipoles dengan subsidi dan bansos. Sekali kenan ayun, ya tumbang. Para koruptor dan korporat udah amankan hartanya di luar negeri. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Perjalanan China jadi raja Agro dunia.

  Tahun 1930, Pei-sung Tang dan Tsung-Le Loo kembali ke China. Tadinya Pei Sung Tang sekolah dan terlibat dalam Litbang Pertanian Modern di ...