Jokowi menyoroti pembubaran kegiatan ibadah dan pelarangan pendirian rumah ibadah. Dia mengingatkan semua pihak bahwa konstitusi menjamin hak beribadah. Bagi saya itu hanya bahasa politik. Selagi Pemerintah mempertahankan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 (SKB 2 menteri) terkait syarat pendirian rumah ibadah, Maka itu hanya omong kosong. SKB itu menjelaskan dengan tegas tanpa bersayap bahwa hak mayoritas menentukan hak minoritas. Masih juga percaya negeri ini menghormati pluralisme, terlalu naif jadi orang.
Politisi berkata, kita ingin memastikan kebijakan pemerintah berpihak pada rakyat, mendengarkan suara rakyat, dan menjamin sistem demokrasi berjalan dengan baik dan tidak dirusak praktek oligarki dan sentralisasi kekuasaan. Kalau anda percaya dengan kata kata itu, maka anda naif. Mengapa ? sejak UUD 45 pasal 33 diamandemen, Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi. Gimana konkritnya ? ya lihatlah produk UU yang ada sekarang. Itu semua produk demokrasi. Seperti UU PMA, UU minerba dan lain lain yang memungkinkan segelintir orang menguasai sumber daya nasional.
Selama ini kita lihat gebyar pembangunan infrastruktur ekonomi. KIta mengukur sukses pemerintah dari itu. Tapi jalan toll, pelabuhan, bandara, PLN, PDAM, kilang BBM, itu semua bisnis. Engga ada kaitannya dengan sukses penyediaan public obligation. Buktinya tarif terus naik sesuai pertimbangan bisnis. Coba dech engga bayar listrik, besok padam listrik di rumah. Kalau anda percaya ukuran sukses itu semua, ya anda naif. Apalagi memaklumi utang jumbo BUMN yang kelola bandara, pelabuhan, Toll, PLN, BBM. Itu kabangetan naifnya. Bayangin, mereka monopoli tapi terancam rugi dan default karena tidak efisien. Minta PMN dan dana talangan APBN.
Lain halnya pengadaan jalan negara, kabupaten, provinsi, bendungan, irigasi. Itu memang barang publik. Bukan bisnis. Nah Era Jokowi penambahan jalan hanya 5,91%. Masih dibawah prestasi SBY, 38,83%. Sukses jokowi adalah pengadaan bendungan dan irigasi, termasuk jalan desa, posyandu, pasar tradisional. Sampai tahun 2020 ada 30 bendungan yang selesai dibangun. Ditargetkan sampai tahun 2024, akan tambah lagi 27 bendungan. Itu record tertinggi dibandingkan presiden sebelumnya. Tapi kalau itu anda anggap kebajikan, ya anda naif. Karena memang itu kewajiban pemerintah melaksanakan RJPM dan UU Desa No. 6 yang disahkan januari 2014.
Pancasila itu falsafah negara, bukan idiologi. Idiologi kita bersifat terbuka kecuali untuk Komunis. Engga percaya kalau Pancasila itu bukan manifesto Politik ? itu buktinya sampai kini kita belum punya UU Haluan Idiologi Pancasila. RUU HIP, dibatalkan pemerintah setela ditolak DPR. Jadi kalau anda mengagungkan Pancasila dan mengejek politik identitas, maka anda naif. Yang dilarang itu politisasi SARA, dan itu amanah UU dan penghormatan terhadap resolusi PBB tentang HAM.
***
Saat Ahok sebagai gubernur DKI dan Jokowi Presiden RI, yang paling keras menentang Reklamasi Jakarta Utara adalah Menteri Kelautan dan Perikanan, Ibu Susi. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya mengambil sikap terkait reklamasi di Teluk Jakarta. Izin Amdal proyek reklamasi ditinjau ulang. Semua tahu kan Menteri Kelautan itu dibawah Menteri maritim dan investasi, LBP. Kampanye Pilgub, Anies menolak reklamasi. Tapi setelah Anies menang Pilgub, LBP cabut meratorium Reklamasi. Karena desakan Pengembang. Ahok hanya jadi tumbal doang. Mengapa ?
Bagi LBP, Anies itu nothing. Asset nya adalah SU, pasangan Anies di Pilgub DKI. LBP punya hubungan baik dengan SU, sama sama dekat dengan Bakrie. Nah, tahukah anda, 4 bulan sebelum pelantikan Gubernur DKI, SU melepas saham Acuatico Pte Ltd ( Pengelola air bersih DKI) kepada Grup Salim melalui anak usahanya, Moya Indonesia Holdings Pte Ltd. PEMDA DKI melegitimasi perpanjangan izin PT Aetra Air Jakarta. Tentu dengan akusisi ini membuat saham Moya Indonesia Holdings Pte Ltd semakin naik yang membuat kaya raya Salim Group. Artinya kekalahan Ahok itu udah by design. Karena kalau Ahok menang, Salim rugi besar. Maklum Ahok tidak mau swastanisasi PDAM.
Tahun 2018 sebelum SU Nyapres, PT Saratoga Investama Sedaya Tbk (SRTG) jual saham salah satu unit business nya, PT Batu Hitam Perkasa ( Pemegang saham Paiton Energy) kepada perusahaan milik LBP, PT Toba Bara Energi. Kasus sengketa hukum Konsorsium Paiton dengan PLN soal harga jual power kemahalan, selesai begitu aja. Tahun 2018 juga, Kasus TPPI diambil alih pemerintah lewat Pertamina. Jadi rumor keterkaitan Hashim pada kasus TPPI sirna sudah. PS pun berpasangan dengan SU dalam Pilpres 2019 dan akhirnya kalah. Tapi PS jadi Menteri Pertahanan dan SU jadi Menteri Pariwisata dan Kreatif. Setelah Pilpres, saham PT Batu Hitam Perkasa milik Toba dijual ke Medco. Padahal Medco itu pemilik sebenarnya adalah Antony Salim, melalui Diamond Brigde. Dan kini lewat private placement, Salim kuasai saham Bumi milik Ical. Masalah utang gigantik BUMI bisa diselesaikan. Keluarga Bakrie tersenyum cerah menikmati windfall batubara.
Bahwa kekuatan korporasi telah melahirkan otokrat baru, kebal dari kontrol politik. Argumen ini disampaikan oleh Stephen Wilks dalam buku “ The Political Power of the Business Corporation”. Tidak mungkin memahami 'ketergantungan struktural' antara negara dan korporasi tanpa mempelajari korporasi dalam cetakannya sebagai aktor politik. Jadi kalau anda berpendapat bahwa korporat yang ada di luar kekuasaan dan pengusaha yang ada di ring kekuasaan itu murni untuk keadilan dan kepentingan rakyat. Itu artinya anda naif sekali. Bangunlah dari tidur panjang. Hadapi realitas. Bahwa politik itu hanya untuk kepentingan business, itu prioritasnya. Bukan anda sebagai prioritas.
Mengapa saya tulis ini? karena untuk menyadarkan kita semua, termasuk saya sendiri. Bahwa jangan sikapi politik berlebihan. Saat pemilu laksanakan tugas anda sebagai warga negara, yaitu memilih partai yang ketum nya tidak berbisnis secara langsung atau tidak langsung. Itu jelas pilihan cerdas diantara pilihan yang tidak ideal. Pilih capres yang punya rekam jejak cerdas dan bukan lahir dari partai yang di-drive pengusaha atau tidak berpasangan dengan pengusaha. Itu sikap risk management dalam politik sebagai rakyat. Mari cerdas berpolitik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.