Minggu, 02 April 2023

Sepak bola dan nasionalisme sempit.

 




Walau sudah berbusa busa PDIP menjelaskan pentingnya bersikap politik atas pijakan historis bapak pendiri bangsa. Namun dicoretnya Indonesia oleh FIFA sebagai Host turnamen U20, alasan itu malah jadi bahan tertawaan. Sangat ironi ditengah kita berjuang melawan radikalisme agama dan politik identitas, kini muncul lagi Politik identitas bernama sepak bola. Para penggemar sepak bola mendadak jadi hater PDIP. Bahkan tadinya mendukung Ganjar berubah menjadi benci.


Filsuf Prancis Guy Debord mencurahkan banyak perhatian pada tontonan, yang dimaksud, tulis Goldblatt ( The Games: A Global History of the Olympics, 2016), untuk “tidak hanya mengalihkan perhatian tetapi juga mengkomodifikasi, membutakan dan membius.” Itulah salah satu fungsi olahraga—yaitu, agar kita tidak mengenali apa yang terjadi di sekitar kita. Penulis Argentina Jorge Luis Borges, yang berkomentar, “sepak bola populer karena kebodohan populer.

David Goldblatt dalam bukunya the Age of Football: The Global Game in the Twenty-First Century menganalisis budaya sepak bola Inggris selama 30 tahun terakhir, sepak bola telah melahirkan nasionalisme baru yang lebih sempit. Dia juga mencatat, terjadinya polarisasi ditengah penggemar club. Saat analisisnya menyebar ke seluruh dunia, dari Afrika hingga Eropa dan Amerika Selatan, dia memberikan ribuan contoh manipulasi politik semacam itu. Apa yang terjadi pada Indonesia. Hanya karena gagal jadi tuan rumah FIFA U20, polarisasi terjadi dan nilai nilai historis bangsa dilecehkan. Analisis Goldblatt mendapatkan pembenaran.

Di Timur Tengah, Goldblatt berargumen tentang kecocokan tiga sisi: “Rezim vs Jalan vs Masjid”. Dia menunjukkan bagaimana sepak bola telah digunakan baik sebagai proxy untuk ambisi kekaisaran di Emirates – membeli aset asing, memamerkan Piala Dunia di Qatar sebagai kekuatan utama di panggung dunia – dan sebagai kekuatan pemberontakan melawan aturan Al-Qur'an di Iran. 

Apa yang jelas dari studi tak kenal lelah Goldblatt adalah bahwa, hampir di mana pun di dunia selain Amerika Utara, tidak ada calon diktator atau pengacau demokrasi atau patriark teokratis yang mampu mengabaikan hasrat yang muncul di hati para penggemar sepak bola. Beberapa telah bangkit langsung karena sentimen itu. Menjadikan sepak bola sebagai strategi kampanye; kaum nasionalis di mana-mana mempertanyakan kesetiaan anak bangsa yang pluralis.. Seperti yang dicatat oleh Romelu Lukaku, striker Belgia, ketika semuanya berjalan baik “mereka memanggil saya Romelu Lukaku, striker Belgia. Ketika keadaan tidak berjalan dengan baik, saya adalah Romelu Lukaku, penyerang Belgia keturunan Kongo.”

Goldblatt merujuk teori situasionis dan analisis pasca-Marxis, Guy Debord dan Walter Benjamin sebagai kekuatan pemogokan kembar, untuk memperkuat keyakinan persuasifnya bahwa hampir semua harapan dan ketidaksetaraan serta ketakutan masyarakat kontemporer dimainkan dalam tontonan 11 v 11. Salah satu kemunduran ekonom negara Amerika latin dan Eropa karena bola masuk ke arena politik dan menjadi alat politik kekuasaan. Dan karena itu yang didelivery hanyalah sahwat fantasi sekejab. Hingga hilanglah etos kerja dan semangat kreatifitas dan inovasi.

Untuk kepentingan pendidikan politik NKRI, memang sebaiknya kita perlu reorientasi pembinaan  sepak bola. Harus tetap menjaga persatuan dan kesatuan. Harus lebih mencerdaskan bangsa. Sebaiknya peran FIFA dan segala aturannya tidak usah terlalu difocuskan. Lebih baik focus saja pada pembinaan club yang mengutamakan sportifitas dan semangat persatuan terutama bagi supporter club.Jangan sampai korbankan persatuan hanya karena sepak bola. Kita merdeka engga gratis. Janga jadikan NRKI seharga sempak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Dampak kebijakan Trump ..

  Trump bukanlah petarung sejati. Dia tidak punya seni bertahan sebagai seorang petarung yang punya ketrampilan bela diri dan kesabaran. Ret...