Kamis, 02 Februari 2023

Sistem atau karakter personal

 




Dulu waktu saya masih remaja dagang rokok di Kaki lima. Saya dagang  depan pos polisi. Pak Made, polisi berpangkat sersan, setiap sore beli mendatangi lapak saya “ Dik, Djamboe sebungkus” katanya tersenyum ramah. Saya tida perlu minta uang. Cukup saya catat. Nanti tanggal muda dia akan bayar semua. Kini Polisi pangkat sersan punya uang lebih dari cukup beli rokok, dan mungkin biayai selirnya. 


Pernah ada penyerobot lampu merah. Kejadian tepat depan matanya. Saya lihat dia berusaha mengejar kendaraan itu, tetapi motornya ngadat. Maklum motor tua. Orang di jalan berusaha menghentikan kendaraan itu dan minta menanti Pak Made datang. Setelah motor bisa jalan, Pak Made medatangi kendaraan itu. “ Pak Selamat siang. “Katanya dengan sikap hormat “ SIM” Lanjutnya. Pengendara itu menyerahkan SIM. 


Dia berkata “ Apa kamu engga malu dengan SIM ini. Bukankah SIM ini tidak termasuk melanggar rambu rambu lalulintas.? Katanya seraya menyerahkan lagi SIM itu. Dia berlalu.  Pak Made bukan tipe polisi garang. Tetapi rakyat menghormati tugasnya dan membantunya. Dia paham hukum. Dia tahu itu. Tapi dia lebih suka menghukum orang dengan mengingatkan  rasa malu. Menurutnya, sebejat apapun orang, selagi dia manusia, dia pasti punya rasa malu. Tentu asalkan dia sebagai petugas juga menjaga malu. Kini, Polisi punya kendaran bagus. Tapi rasa hormat tidak didapat dari rakyat. Rasa malu  mengabur. SIM pelanggar ditahan atau denda atau nego. Ujungnya uang.


Apa yang saya cermati. Logika kita, bahwa korupsi terjadi karena gaji kurang. Ternyata gaji besar tetap saja korupsi. Hitunglah berapa gaji dan tunjangan Anggota Hakim Agung? Itu mencapai Rp. 75 juta sebulan. Toh kena cokot juga KPK karena suap. Penghasilan satu orang pegawai OJK yakni Rp898,57 juta per tahun atau setara dengan Rp74,88 juta orang per bulan. Ratusan triliun investasi bodong terjadi tanpa ada pengawasan. Justru Kepala departemeng pengawasan tersangkut kasus Jiwasraya.


***

Mungkin kompetisi atlit yang bisa dengan jujur menampilkan yang terbaik yang jadi pemenang. Di balik kemenangan itu tentu ada proses latihan berat dalam jangka waktu lama. Mungkin tidak ada kemenangan sekali berkompetisi. Perlu berkali kali kalah untuk akhirnya jadi pemenang. Pada diri juara, ada bebarapa karakter, yang diantaranya, patience kesabaran melewati proses. Endurance, ketabahan melewati kegagalan demi kegagalan. Persistent, gigih menghadapi semua kendala untuk meningkatkan skill. Pada akhirnya pada diri juara adalah kerendahan hati. 


Proses menjadi pemenang sebenarnya adalah proses menaklukan diri sendiri. Mungkin orang akan memujanya, Itu tidak akan berpengaruh apapun terhadap dirinya. Bahkan yang menghujat sekalipun. Dalam dunia politik pada sistem demokrasi saat sekarang, rasanya sulit mendapatkan mental juara sebagai pemenang dalam pemilu. Sehingga timbul pertanyaan. Mengapa orang jahat begitu sering mendapatkan kekuasaan? Mengapa kita membiarkan mereka? Dan adakah yang bisa dilakukan untuk memastikan bahwa para pemimpin adalah  terbaik? Inilah pertanyaan-pertanyaan penting yang ingin dijawab oleh kolumnis Washington Post, Brian Klaas, dalam "Corruptible: Who Gets Power and How It Changes Us." Saya mencoba merevie tulisan ini. 


Disaat otokrasi menjadi usang. Negara-negara demokrasi sedang sekarat - sebagian besar di tangan para pemimpin yang mereka pilih sendiri. Sebut saja Narendra Modi, yang memenangkan pemilihan kembali sebagai perdana menteri India pada tahun 2019, hanya untuk menangkap para politisi di seluruh Kashmir. Dia menekan independensi pengadilan dan bisnis, dan menantang kewarganegaraan yang beragama Islam. Sehingga jatuhlah peringkat negara demokrasi yang sebelumnya dijuluki  Freedom House.  Sama dengan Indonesia. Demi terciptanya stabilitas Politik, sebagai pra syarat pembangunan ekonomi, KPK dikebiri. Perang terhadap korupsi yang melibatkan elite partai, harus izin dari Presiden. Walau tidak ada aturannya, namun kepemimpinan disakralkan lebih dari Hukum.


Lintasan yang sama juga melanda negara-negara demokrasi di seluruh dunia, termasuk Hungaria, negara yang ditawarkan Tucker Carlson sebagai model positif bagi Amerika Serikat. Para pemimpin yang dijuluki sebagai pembaharu sering kali memulai dengan baik namun berakhir dengan buruk. Perdana Menteri Ethiopia, Abiy Ahmed, dianugerahi Hadiah Nobel Perdamaian pada tahun 2019, setahun setelah menjabat, karena berhasil berdamai dengan Eritrea, namun membuat ratusan ribu warganya kelaparan. Meskipun pemimpin jarang mengidap psikopat narsistik, yang jelas mereka haus kekuasaan dan sangat pandai menggunakan karisma, manipulasi, dan intimidasi untuk mempertahankan kekuasaan.


Mengapa begitu banyak pemimpin dari hasil pemilu yang lemah dan buruk? Melalui tulisan yang sangat berbobot, Klaas menggambarkan bagaimana kekuasaan memberikan peluang untuk memperkaya diri. Menjadi magnit para oportunis mendekat dan masuk dalam lingkaran kekuasaan dengan retorika humanis demokratis. Tidak ada alasan rasional membenarkan bila pembangunan yang dibanggakan berasal dari hutang, bukan dari surplus APBN. Mengapa ? bila Demokrasi adalah kekuatan yang bertumpu kepada  civil society. Tapi Polisi yang garang bertopeng  UU menjadi mesin kekuasaan melibas mereka yang tidak sejalan dengan kekuasaan. Hukum tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Akal sehat pudar sudah.


Kita juga harus menyalahkan diri kita sendiri. Kultur kita yang tertutup dan terikat dengan clients-patron harus menyediakn diri masuk dalam demokrasi terbuka. Bagaimana demokrasi dengan nilai egaliter, equal, peach, freedom harus diterapkan? Sementara kultur feodalisme tidak bisa kita hilangkan. Menjadikan Presiden atau PM seperti raja. Penghormatan kepada pemimpin sangat berlebihan, yang oleh sebagian golongan pemilihnya tidak boleh dikritik atau dicurigai. Padahal setiap pemimpin hanyalah administratur yang tidak bekerja suka rela, tetapi dibayar mahal dengan fasiitas melimpah. Pemimpin harus tahu dan sadar bahwa diantara yang suka banyak pula yang tidak suka. karenanya tidak ada kebijakan yang bisa memuaskan semua orang.


Klaas menunjukkan bagaimana sebagian kita masih berada di ruang roadblock. Lebih suka  memilih karena faktor identitas, suku dan agama. Orang Jawa mengatakan “ Untuk indonesia hanya orang jawa yang bisa jadi presiden. Orang islam harus memilih yang islam“. Memilih karena faktor emosional, bukan rasional.  Seperti yang telah ditunjukkan oleh Milan Svolik, para pemilih mengaku mencintai demokrasi, namun mereka lebih mencintai kubu mereka sendiri. Hanya karena retorika populis mengabaikan yang dipilihnya adalah gelandangan, sementara di luar golongannya walau orang baik yang anti korupsi dan mendukung transfaransi tidak dipilihnya.  Ini jelas melukai demokrasi dan menyebabkan kemerosotan nilai. 


Di Italia, Silvio Berlusconi, raja media, non partai yang dicalonkan sebagai Presiden. Para hakim yang tergabung dalam kampanye “Clean Hands” menemukan adanya korupsi di semua partai politik besar. Berharap  dia bisa menghadapi elite partai. Selama bertahun-tahun menjabat, ia mengekang perang melawan mafia di negaranya dan mengubah undang-undang untuk menyelamatkan kerajaan bisnisnya dari pengawasan hukum dan dirinya sendiri dari hukuman penjara. Di Brasil,  “Operation Car Wash” juga mengungkap korupsi di seluruh spektrum politik, mengantarkan Jair Bolsonaro ke tampuk kekuasaan. Ternyata dia sendiri sebagai agent pencucian uang bagi teman temannya.


Pada tahun 2016, sekitar 70 persen orang Amerika percaya bahwa kebijakan ekonomi Gedung Putih merugikan dan mengorbankan rakyat kecil dan  memberikan peluang bagi elite kaya semakin kaya. Ketika sentimen seperti itu meningkat, para pemilih sering kali mencari kandidat kaya yang mereka anggap tidak perlu memperkaya diri sendiri. Banyak orang Amerika memilih Donald Trump dengan harapan dia akan "mengeringkan rawa". Namun, korupsi tidak ditentukan oleh kebutuhan. Pemerintahan Trump menambahkan lebih banyak air ke dalam rawa tersebut.


Sistem yang dirancang dengan baik, Klaas mengklaim, dapat mengendalikan individu yang tidak baik. Para diplomat dari negara-negara yang tidak memiliki aturan hukum, misalnya, secara teratur melanggar peraturan parkir di New York City ketika mereka memiliki kekebalan diplomatik. Namun, begitu New York mulai menegakkan hukum bagi pelanggaran lalu lintas, semuanya menjadi tertip. China bukan negara demokrasi tapi lebih 1 miliar orang bisa dibuat tertip. Itu karena law enforcement tegak.


Tapi bagaimanapun, sistem bukanlah solusi too good to be true. Tapi karakter pribadi yang bertumpu pada akhlak adalah solusi menyeluruh. Apapun sistemnya. Teman saya di Belanda bertanya soal kehebatan perang Ambarawa dan Surabaya paska proklamasi kemerdekaan Indonesia  “ Mengapa kalian sangat teroganisir dan  bisa melakukan perang panjang dengan sangat disiplin ? Akhirnya walau kalah dalam pertempuran, perang kalian menangkan”


“ Karena komando kami ada pada ini” Kata saya menunjuk dadanya. “ Berbeda dengan kalian. Komando kalian berjenjang dan panjang. Itu pasti korup. Kalau kalian kalah, bukanlah karena kami hebat, tetapi kalian dikalahkan oleh sistem yang kalian ciptakan sendiri. Perang tidak diperjuangkan oleh bangsa atau tentara. Perang diperjuangkan oleh manusia. " Kata saya.


Kemakmuran tidak datang dari pemimpin dan politisi.Tetapi dari manusia yang punya rasa malu dan tahu memperjuangkan kehormatan diri dan keluarganya, serta keberadaannya diperlukan oleh orang sekitarnya. Tanpa berharap pujian dan tepukan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Dampak kebijakan Trump ..

  Trump bukanlah petarung sejati. Dia tidak punya seni bertahan sebagai seorang petarung yang punya ketrampilan bela diri dan kesabaran. Ret...