Rabu, 15 Februari 2023

Literasi rendah.

 



Kita baca berita “ Kuartal III, Garuda (GIAA) Kembali Untung Rp 58 Triliun “ Salah satu nitizen dengan bangga posting “ di era Jokowi, Garuda bisa untung. Hebat Eric”. Ini contoh berita yang dibaca tanpa pemahaman materi berita. Padahal itu bukan untung operasi.  Tetapi  karena akuntasi akibat restruktur utang. Itu memperbaiki neraca perusahaan. Baca  berita dari media massa dan sosial media yang dipahami secara partial. Dampaknya terjadi kekacauan informasi. Bukan informasi yang salah tetapi kerangka literasi yang sempit.


Kita kawatir dengan politik identitas. Begitu banyak berita soal kekawatiran tentang politik identitas. Tetapi tidak banyak orang paham eksistensi dari Partai berindentitas islam seperti PAN, PKB, PKS dan PPP yang diakui secara UU. Lucunya lagi pada waktu bersamaan kita mengagungkan Pluralisme. Padahal esensi dari pluralisme adalah memahami perbedaan. Nah perbedaan itu karena adanya beragam identitas.  Lebih lucunya lagi berita media massa tentang diskriminasi agama, krimininalisasi, langsung digeneralisir. Seakan indonesia anti kebinekaan. Padahal itu sifatnya kasustik dan ranah hukum. Tidak bisa jadi kesimpulan.


Ada berita bahwa Pemerintah tidak bisa intervensi hukum. Lantas kita beranggapan kalau terjadi masalah mafia hukum, itu bukan tanggung jawab presiden. “ Kita kan menganut trias politika. Mana boleh ekskutif campuri urusan yudikatif “. Dalam benak kita negara ini ada tiga kamar kekuasaan. Padahal Trias politika itu bukan separation of power tetapi Distinction of Power. Bukan pemisahan kekuasaan tapi pembedaan kekuasaan. Karenanya perlu ada yang lead. Kan engga mungkin leader lebih dari 1. Makanya dalam sistem presidentil, penguasa satu satunya adalah Presiden ( UUD 45 pasal 4 ayat 1).


Kita beranggapan utang pemerintah itu sama seperti kita berhutang. Yang kalau engga bisa bayar,  aset bisa disita. Lucunya narasi ini masuk ke ranah politik dan dipercaya oleh banyak orang. Padahal pemerintah itu bukan pengguna uang tapi pencipta uang. Mereka tidak berpikir soal uang. Tetapi berpikir tentang pertumbuhan lewat produksi dan konsumsi. Darisanalah uang terus tercipta lewat skema berutang, untuk bergeraknya roda ekonomi. Jadi bukan utang persoalannya, tetapi economy growth. 


Sistem pendidikan kita tidak mendidik orang berpikir holistik. Apalagi berpikir analitik. Makin jauh aja.  Pendidikan kita berdasarkan standar yang kaku, dengan ukuran yang juga standar. Yang tidak patuh kepada standar akan jatuh IP nya atau nilainya. Bisa engga lulus. Engga bisa naik kelas atau engga qualified masuk perguruan tinggi. Makanya jangan kaget lulusan sekolah tidak mendorong orang gemar membaca. Berdasarkan survei yang dilakukan Program for International Student Assessment (PISA) yang di rilis Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) pada 2019, Indonesia menempati peringkat ke 62 dari 70 negara, atau merupakan 10 negara terbawah yang memiliki tingkat literasi rendah. Kebayang engga, gimana masa depan bangsa ini? Lembaga pendidikan hanya melahirkan kumpulan bigot.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Mengapa negara gagal ?

  Dalam buku   Why Nations Fail  , Acemoglu dan Robinson berpendapat bahwa pembangunan ekonomi dan kemakmuran atau kemiskinan suatu negara d...