Senin, 08 November 2021

Pemangsa


 

Xijinping waktu jadi Sekretaris Partai wilayah Sanghai, dia perintahkan agar digelar World Expo di Shanghai. Walikota dan Gubernur bingung mencari tempat untuk expo yang sesuai dengan standar dunia. Maklum cari tanah di shanghai tidak mudah. Kalaupun  ada sudah sangat mahal. Kalaupun ada lahan itu adalah kawasan kumuh  di pinggir sungai. Disitu ada 18.000 keluarga tingga. Berbulan bulan sosialisasi dilakukan, tetap saja rakyat tidak mau pindah dari lokasi itu. Akhirnya Gubernur Shanghai perintahkan agar kawasan itu digusur paksa.


”Slogan expo adalah Kota yang Lebih Baik, Kehidupan yang Lebih Baik, tetapi mana kehidupan yang lebih baik bagi saya?” gugat Zhou Chunron, seorang pekerja pabrik baja yang terusir dari apartemennya seluas 16 meter persegi. Bagi Zhou dan 18.000 keluarga lainnya yang dipaksa pindah, expo ini tidak memberikan kesempatan untuk memprotes. ”Kalau mau protes, silakan di tempat lain,” ujar Huang Jianzhi, Deputi Direktur Jenderal Expo. The show must go on. 


Tetapi apa yang terjadi setelah expo selesai digelar ? Kawasan kumuh menjadi kawasan pameran ( expo),  telah beralih wajah menjadi tempat parkir, gedung pencakar langit, atau pusat perbelanjaan megah. Gedung apartement mewah dan RUSUN untuk rakyat yang bersanding saling bersinergi. Akibatnya, rakyat yang terusir itu kembali ke kawasan Expo. Mereka terkejut. Di kawasan itu lapangan pekerjaan tersedia mudah. Mereka menempati RUSUN itu dengan dukungan subsidi sewa dan kepemilikan.


Kawasan baru itu bukan saja berubah wajah tetapi juga mengubah standar hidup dan fasilitas yang bisa mereka terima dengan mudah dari sebelumnya. “ China melakukan segala hal dengan lebih baik lagi, seolah tiada lagi batas kemampuan orang China. Ini adalah kekuatan persuasi, bukan kekuatan senjata api,” ujar Shen Dingli, Direktur dari Pusat Studi AS di Universitas Fudan, Shanghai. 


“ Apa yang mereka pahami tentang hak bersama, kalau mereka sendiri tidak tahu hak mereka ada dimana?  Rakyat yang masih terbelakang pengetahuannya , mudah sekali diteror informasi. Mereka bingung. Berada diantara percaya dan tidak. Orang yang bingung itu jelas lebih buruk. Di Sabana, gerombolan domba yang kebingungan ditengah kumpulan hewan, akan jadi target predator. Karena dia lambat bersikap dan tidak menyadari dia sudah jadi target untuk dihabisi. Manusia dan domba sama saja kalau dia lemah literasi” Kata teman saya di China.


Demokrasi itu jelas bukan diktator. Tetapi di tengah komunitas yang rendah literasi politik dan pengetahuannya, demokrasi itu lebih buruk daripada diktator. Mengapa? komunitas yang rendah literasinya itu sama dengan domba. Tidak ada anjing yang lead gembala itu menghadapi sang predator. Yang ada adalah gerombolan Srigala yang bersepakat menjadikan domba itu korban atas nama UU dan aturan. Rakyat tidak menyadari itu. Karena Srigalanya berbulu domba.


***


Rizal, namanya. Dia driver Ojol “ Waktu Pilgub DKI, saya berharap sangat Anies bisa menang dan hidup saya sebagai pedagang kecil bisa sukses di Jakarta. Tetapi setelah dia jadi Gubernur, kios di Tanah Abang jadi sepi karena jalanan diserobot kaki lima. Konsumen malas belanja di kios. Lambat laun, dagangan sepi dan akhirnya saya sulit bayar sewa yang selangit. Terpaksa tutup.  Saya coba turun ke kaki lima. Ternyata lebih brutal. Jalanan dikuasai oleh preman. Uang tip preman lebih mencekik dan kompetisi lebih gila. Akhirnya saya benar benar bangkrut. “ Katanya.


Aldi lain lagi ceritanya. Sejak ANies jadi Gubernur, hidupnya semakin makmur. “ Harga barang lumayan bagus untuk rekanan pemprof dapat untung gede. Belum lagi proses tender yang longgar. Anggaran selalu ada dan mudah mengalir. Beda sekali era Ahok. Anies tahu bagaimana membina pengusaha agar bisa berkembang baik. Para karyawan Pemrof juga happy. Kerja engga lagi dibawah tekanan seperti era Ahok. Target adalah realisasi anggaran bukan kinerja lagi.


Sama juga dengan Asu, yang semakin mudah berbisnis property. Karena tidak lagi dipaksa bayar fasum terutang ke Pemrof. Izin tidak dikaitkan dengan utang Fasum yang belum dibayar. Dia bisa leluasa mengembangkan bisnis property nya. Semua jadi lancar dan mudah cari uang di jakarta.  Temannya Asu dapat limpahan konsesi iklan luar ruang di beberapa titik  lokasi strategis karena bossnya bantu Anies jadi Gubernur. 


Rizal, Aldi, Asu dan lainnya adalah representasi dari masyarakat yang diuntungkan dan ada juga yang dirugikan karena perubahan kepemipinan. Pengusaha kelas gurem, kelas property, rekanan pemda dll punya hak suara sama. Satu orang satu suara. Kalau akhirnya ada yang kecewa, bukan berarti tidak ada yang happy. Kebijakan selalu seperti pisau bermata dua. Baik buruk selalu bersanding. Kita hidup diatas ketidak sempurnaan dan paradox. 


Setiap orang jadi penguasa ia cenderung jadi srigala. Kalau engga, mana mungkin dia bisa survival sebagai pemimpin. Mengapa ? Srigala itu tidak jahat kalau dia memangsa domba, dan tidak baik kalau dia mengembala domba. Dia baru hebat, kalau dia bisa memangsa predator dan mengusirnya agar domba aman. Tetapi apakah ada srigala seperti itu ? Yang ada mereka malah saling berbagi mangsa. Pahami itu.


Kalau anda melihat pemimpin itu orang baik, anda pasti akan kecewa. Karena ia tidak 100% baik. Kalau anda melihat pemimpin itu tidak baik,  anda akan mengutuknya. Padahal dia tidak seratus 100% jahat. Pemimpin itu berada di zona abu abu. Bahwa keberadaan mereka, bukan untuk anda, tetapi untuk agenda mereka. Makanya pelajarilah agenda mereka, dan cerdaslah memanfaatkan peluang atas kehadiran mereka. Focuslah kesana. Jangan terlalu euforia dengan pilihan anda. Kalau engga, anda akan jadi kambing yang siap dikorbankan.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Inflasi momok menakutkan

  Dalam satu diskusi terbatas yang diadakan oleh Lembaga riset geostrategis, saya menyimak dengan sungguh sungguh. Mengapa ? karena saya tid...