Sistem negara kita adalah presidentil, yang tidak mengenal oposisi. Fungsi DPR adalah mitra pemerintah dengan tugas mengawasi kebijakan politik pemerintah, melaksanakan hak budgeter dan hak mengesahkan UU. Untuk melaksanakan itu DPR dilengkapi dengan instrument pengawasan yaitu BPK. Tugas BPK bukan hanya mengaudit keuangan negara tetapi juga mengaudit tata kelola pemerintah dalam menerapkan UU dan aturan yang ada. BPK bukan organ di bawah PResiden tetapi di bawah DPR, dan berkewajiban menyampaikan laporannya kepada DPR.
Bayangin aja. Begitu luasnya audit BPK itu, dan tidak ada satupun lembaga negara yang bisa menolak bila BPK datang mengaudit. Dengan hasil audit BPK itu, DPR punya bahan yang efektif untuk mempertanyakan kebijakan pemerintah yang sehingga APBN dikorbankan dan kepentingan nasional diabaikan. DPR berhak memanggil siapapun untuk datang dan ditanyain. Termasuk Menteri dan Ketua lembaga negara lainnya. Jadi sulit sekali bagi pemerintah untuk berkelit kalau ditanya DPR. Karena data mereka ada pada DPR yang didapat dari BPK.
Kalau clarifikasi tidak memuaskan, dan DPR melihat ada indikasi pelanggaran Hukum, DPR bisa panggil KPK yang merupakan lembaga Independent yang tidak sepenuhnya dibawah kendali pemerintah, tetapi dikendalikan oleh UU. KPK harus melaksanakan perintah DPR untuk menindak lanjuti laporan BPK. Jadi secara sistem, tugas pengawasan DPR itu engga sulit banget. Semua sudah disiapkan agar mereka kerja sesuai amanah rakyat.
Kalau tugas pengawasan itu dilaksanakan dengan baik, tugas presiden juga jadi mudah. Presiden tidak perlu ragu mengambil resiko dalam membuat kenbijakan. Presiden yakin, kalau bawahannya salah melaksanakan kebijakannya, akan ada DPR yang mengawasi. Kalau ada penyimpangan, ada KPK yang akan menindak.
Nah apa jadinya kalau DPR tidak melaksanakan fungsi pengawasannya? Ada dua kemungkinan. Pertama, DPR memang sedang menanti timing yang tepat untuk menghabisi presiden. Mengapa ? DPR tahu bahwa presiden tidak punya tangan terlalu panjang untuk mengawasi kerja menteri, terutama soal kebijakan tekhnis. Sehingga Menteri mudah menjebak Presiden mebuat kebijakan yang melanggar konstitusi. Saat itu terbukti, DPR akan gunakan untuk tujuan agendanya menyerang presiden. Dan sekaligus menjatuhkan reputasi Partai yang mengusungnya.
Kedua, DPR dan menteri serta lembaga lain sudah jadi gerombolan bancakin anggaran dan sumber daya lewat aturan rente. Itu terjadi seperti era Soeharto. DPR diam, bukan berarti diam takut, tetapi diam saling melindungi untuk memuluskan konglomerat menikmati rente dan APBN. Ketika semua sudah terlmbat,. yang dikorbankan adalah presiden.
Jadi, kalau tidak ada lagi yang kencang kritik Jokowi, itu artinya DPR tidak ada ubahnya dengan DPRD DKI yang membiarkan Anies melakukan apa saja. Atau hanya saling bersaut pantun. Walau BPK sudah membocorkan lewat media massa kejanggaan penggunaan APBD DKI, KPK tetap hanya omong doang. Sama halnya dengan kasus Kereta cepat, sudah jelas ada pembengkakan biaya, tapi menteri bilang seenaknya tidak ada korupsi. Sudah jelas salah kebijakan, enak aja ganti Pepres agar membenarkan yang salah.
Kita berharap DPR melaksanakan fungsinya dengan benar. Udahan main intrik politik segala. Kita berharap para meteri untuk jaga dengan baik amanah dari Jokowi. Engga usah onani terus mau jadi Capres segala. Kerja aja yang benar. Mari kawal Jokowi selamat sampai 2024. Paham ya sayang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.