Jumat, 28 Mei 2021

Demokrasi di China di kita

 





Saya mempelajari sistem politik China lama. Mengapa partai Komunis bisa terus berkuasa dan rakyat bisa menerima partai tunggal? setelah saya amati,  ternyata kuncinya ada pada Chinese people’s political consultative conference ( CPPCC) atau Konferensi penasihat politik rakyat Cina. Jumlah mereka ada  2.304. Posisi mereka sejajar dengan presiden dan anggota DPR/MPR. Mereka adalah orang perorang yang bisa saja mereka kader partai, bisa profesional atau apalah. Lembaga ini  lembaga independent yang tidak terkait dengan Partai dan tidak dikendalikan pemerintah. Di pilih langsung oleh rakyat.


Sistem China itu terlaksana karena bagi mereka masalah idiologi sudah selesai. Tidak ada lagi pertentangan diantara mereka. Satu sama lain sepakat  focus kerja dan membenahi bangsa. Jadi derap pembangunan hari hari hanya berbicara tentang rencana dan kerja. Tidak ada lagi debat omong kosong soal khilafah, syariah, soal idiologi, soal partai anu atau itu. Setiap orang dihargai karena kinerjanya. Itu bukan hanya kepada politisi, pemerintah tapi juga rakyat.


Rakyat boleh berharap penuh kepada CPPCC. Karena semua kebijakan negara bersumber dari CPPCC. Presiden atau 9 elite hanya simbol idiologi saja. Dasar mereka bekerja adalah keputusan dari CPPCC. Elite 9 hanya sebagai stempel saja. Perhatikan. Karena tidak ada partai ikut campur. Tidak ada golongan. Maka rakyat memilih focus kepada qualitas dari calon CPPCC saja. Apalagi anggota CPPCC tidak makan gaji dari negara.  Mereka menghidupi dirinya sendiri sebagai pengusaha atau profesional. Mereka tidak bisa korup. Karena mereka hanya lembaga fungsional saja.


Bagaimana kualitas anggota CPPCC itu ? anda tahu kan Jacky Chan. Itu aktor tenar sedunia. Dia berjuang 5 kali jadi anggota CPPCC bidang seni dan teater. Selalu gagal. Baru berhasil ke 6 kalinya ikut pemilu. Terakhir dia gagal mempertahankan posisi CPPCC. Karena citra buruk keluarganya. Artinya mereka yang duduk di CPPCC itu memang sudah teruji dan diakui publik pengabdianya kepada negara dan rakyat merasakannya. Dan yang lebih penting secara moral mereka dihormati publik. 


Yang membuat demokrasi itu tidak demokratis karena demokrasi hanya sebatas procedural saja. Sementara anggota DPR walau dipilih langsung rakyat namun hidup matinya tergantung partai. Gimana mereka mau independent atas nama rakyat! Presiden, Gubernur dan kepala daerah walau dipilih langsung oleh rakyat namun mereka dipaksa kompromi dengan partai lewat mekanisme fraksi di DPR/D. Maka mau tak mau transaksional tidak bisa dihindari. Nah siapa yang lebih demokratis ? China atau sistem demokrasi ala barat seperti kita.


Politik feodal primodial

Tahun 1993 saya menghadiri seminar Toward global society communication. Katanya, kelak internet akan menghubungkan manusia anyone, anywhere, anytime. Berkat jaringan fiber optik   berkecepatan gigantik dan gateway berkapasitas megabit, manusia bisa berkomunikasi lewat jaringan data untuk video conference, berbagi gambar, tulisan. Kantor akan mengecil. Orang bisa menyelesaikan sebagian pekerjaannya dari mana saja. Tidak harus di kantor.  Karena sistem otomatisasi kantor sudah terhubung secara online.  Semua serba transparanse. Kira kira begitu kata pembicara ahli dalam seminar. 


Kami yang hadir dalam seminar itu umumnya pengusaha muda. Sempat percaya engga percaya. Apa iya masa depan akan seperti itu?. Membayangkan TELKOM yang 90% pendapatanya dari fixed line akan bangkrut. Dan ada yang sempat bertanya kepada pembicara seminar “ Kalau semua serba transparan dan informasi terbuka lebar, bagaimana sistema negara nanti? Apa iya akan terjadi revolusi sistem.” Maklum pertanyaan itu wajar saja. Saat itu era Soeharto, kita tidak akan tahu data berupa hutang luar negeri kita.


Pembicara seminar menjawab, bahwa kelak apabila masyarakat komunikasi global sudah terbentuk, politik primordial yang mengikat patron-klen akan jebol.  Tokoh politik, tokoh masyarakat, tokoh agama,  akan jadi bahan ketawaan kalau mereka tidak merubah paradigma hubungannya dengan masyarakat. Karena akses informasi tampa batas. Setiap orang telanjang dan bisa ditelanjangi oleh publik. Yang paling hebat adalah orang tidak lagi dinilai dari penampilannya tetapi oleh kinerjanya yang dirasakan lagsung oleh publik.


Tahun 1993 sampai tahun 1998 tekhnologi internet masih terbatas pada jaringan antar PC. Tekhnologi CGI jadi alat interaksi masyarakat secara real time. Orang keranjingan Yahoo messenger dan MSN messeger.  Komunikasi email jadi alat japri. Saling sharing lewat forward meluas. Apalagi waktu itu politik sedang hangat  menjelang kejatuhan rezim Soeharto. Masuk tahun 2000an internet semakin meluas. Jaringan VOIP walau dihambat namun perkembangannya tidak terbendungkan, sampai akhirnya muncul tekhnologi wireless IP. 


Kini apa yang dibayangkan tahun 1993, semua terbukti. Reformasi politik mendong terbangunya sistem demokrasi secara bebas. Konsekuensinya informasi menjadi tampa batas. Apalagi masuk era sosial media. Secara IT, masyarakat modern terbentuk. Tetapi apa yang terjadi dalam dunia politik? Tidak ada perubahan hebat seperti perubahan pada sistem IT. Golkar jatuh, berganti dengan Partai Golkar. Golkar dari waktu ke waktu terus berubah. Dari partai primordial menjadi partai terbuka dan modern.


Tapi Golkar melahirkan anak seperti Gerindra, Nasdem, PD tetap dengan statusquo. Mempertahankan primordial. Pendiri partai adalah tokoh yang menjadi icon partai. Sementara PPP, PKB, PKS, PAN walau tidak ada icon tokoh sebagai titik cetral mempersatu namun mereka menjadikan ormas besar seperti Muhammdiyah, NU serta ormas islam lainnya sebagai pengikat antara Patron dengan klen. Tetap saja primordial. PDIP juga sama. Partai dibangun dengan kultus individu. Tetap saja mempertahankan primordial.


Bagaimana negara kita akan bisa bersaing secara terhormat  dalam era globalisasi, sementara secara politik kita masih tradisional. Jelas agenda besar bangsa tidak akan ada. Yang ada adalah politik pragmatis dari masyarakat pragmatis. Makanya jangan kaget bila negara dibangun tidak berbasis riset. Anggaran riset kita  urutan ke 44 di dunia dan rasio anggaran R&D  terhadap PDB terendah di ASEAN. Itulah dampak dari politik primordial yang lebih mengandalkan emosi untuk mendapatkan  kekuasaan daripada menggunakan akal sehat. Apapun kebijakan politik terkesan tidak rasional.


Kalau ingin melakukan perubahan mental maka ubahlah paradigma berpolitik. Apakah bisa elite politik melepaskan politik primordial agar partai bisa menghasilkan kader terbaik sesuai kehendak rakyat. Kalau tidak? maka politik bisa sangat kejam menghabisi mereka yang hebat jadi pesakitan karena alasan primordial, lihatlah contoh Ahok.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Mengapa negara gagal ?

  Dalam buku   Why Nations Fail  , Acemoglu dan Robinson berpendapat bahwa pembangunan ekonomi dan kemakmuran atau kemiskinan suatu negara d...