Niccolò Machiavelli adalah filsuf Florentine abad ke-16 yang dikenal terutama karena ide-ide politiknya. Dua buku filosofisnya yang paling terkenal, The Prince and the Discourses on Livy, diterbitkan setelah dia meninggal. Sampai kini belum ada kajian ilmiah terhadap pemikirannya. Para filsuf tidak sepakat tentang seluruh aspek dari pemikirannya. Mengapa ? karena dia beranggapan bahwa politik dan moral merupakan dua hal yang tidak memiliki korelasi dalam bentuk apapun. Artinya orang bebas menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan politiknya, termasuk bila harus berbohong atau berdrama agar orang percaya. Alasannya,kalau orang berpolitik menggunakan moral, pasti gagal.
Saya tidak akan membahas secara detail dari buku The Prince and the Discourses on Livy. Itu akan panjang dan mungkin sulit kita pahami yang tidak punya latar belakang pengetahuan tentang philsafat. Orang yang berpilaku seperti pemikiran Niccolò Machiavelli , disebut Machiavellianisme atau berpaham Machiavelli. Apa itu ? pembohong. Dalam studi analisa prilaku seseorang, ternyata bahwa individu yang bertabiat Machiavellianisme mungkin sebenarnya memiliki kemampuan penalaran yang unggul, yang memungkinkan mereka memanipulasi orang di sekitar mereka dengan hebat. Kalau anda dikritik dia, maka dia akan dengar secara seksama. Bukan ingin memperbaiki diri tetapi untuk menyerang anda balik.
Contoh Machiavellianisme itu bisa dilihat dari seorang ABAS. Perhatikan, program normalisasi sungai itu sudah ada studinya oleh pakar hebat. Sudah dilakukan sejak tahun 1976. Jadi bukan hal baru. Tapi karena ABAS berjanji pada kampanye Pilgub tidak akan menggusur, dia tahu bahwa ketika dia berjanji itu dia sedang melakukan Machiavellianisme sebagai suatu keahliannya berbohong. Mengapa ? karena bila normalisasi sungai dilakukan akan ada program relokasi bagi korban gusuran. Akan ada perbaikan taraf hidup orang miskin. Kalau orang makmur, maka Machiavellianisme tidak efektif untuk berpolitik. Orang tidak mudah lagi dibohongi. Dia butuh orang miskin agar orang semakin bodoh dan semakin mudah dibohongi.
Maka dia gunakan semua informasi mengenai normalisasi sungai itu untuk melawan. Bukan untuk melaksanakannya. Jadi tidak aneh bila akhirnya munculah Pergub tentang naturalisasi. Ketika fakta bertolak belakang dengan kata kata, dan kebohongannya terbongkar, kembali lagi dia tidak berubah. Justru dia gunakan semua informasi yang mengkritiknya untuk dia pelajari. Tetapi lagi lagi, bukan untuk introspeksi agar lebih baik. Tetapi dia gunakan untuk melawannya. Cara dia melawan, bukan dengan fakta dan data. Tetapi meminta endorsement dari orang orang yang dianggap berpengaruh di tengah masyarakat, seperti para ahli. Tokoh agama, bahkan para politisi sealiran dengan Machiavellianisme, ikut membantunya.
Yang lebih buruk lagi adalah Machiavellianisme itu bersanding dengan sifat narsisme. Sangat reaktif sekali kalau ada orang meragukannya. Dia akan lakukan apa saja untuk mempertahankan citranya. Di era sosial media sekarang, kita bisa lihat bagaimana dia mendemontrasikan sikap narsisnya itu dengan kerja gotong royong berkotor kotor bersama rakyat. Targetnya bukan kepada anda yang cerdas, tetapi kepada orang bodoh. Itu yang harus dia terus benamkan dalam pikiran orang bahwa dia tidak berbohong kepada mereka. Dia mencintai orang miskin yang jadi korban banjir, dengan niat baik sesuai dengan janjinya. Kalau dalam skala kecil kehilangan narasi, dia akan lambungkan narasi itu berskala nasional agar orang semakin sulit mengerti dan terpaksa percaya saja.
Selama periode Pencerahan, Thomas Hobbes, menerbitkan pemikiran Machiavelli versi bahasa Inggris dengan judul “ the comparable Leviathan (1651). Penulis esai dan penasihat kerajaan Sir Francis Bacon mempelajari Machiavelli dan menulis, “Kami sangat terikat dengan Machiavelli dan yang lainnya. Ia menulis apa yang dilakukan manusia, dan bukan apa yang seharusnya manusia lakukan. Robert Greene’s, menulis buku “The 48 Laws of Power “. Itu adalah buku pegangan Machiavellian modern untuk mendapatkan kekuasaan. Sampai hari ini, buku Machiavelli masih dibaca dan dipelajari oleh mahasiswa ilmu politik, cendekiawan, dan konsultan politik. Kebanyakan teori itu mereka pahami dan praktekan.
Yang saya suka dari Jokowi adalah walau kalangan Machiavellianisme menganggap cara dia menang Pemilu seperti apa yang digambarkan dalam teori Machiavellian modern, namun ketika dia menang, teori Machiavellian tidak terbukti. Karena dia tidak menjawab masalah dengan retorika tetapi dengan kerja keras. Janji politik bagi Jokowi adalah sebuah ide, yang juga menjadi obsesi dari sebuah niat baik karena Tuhan. Dan itu dia perjuangkan untuk mencapainya. Kalau ada orang tidak puas karena belum bersua kenyataan secara ideal , dia bisa menerimanya, tanpa ada niat dia membela diri. Tidak reaktif dan tidak berusaha membalasnya dengan membenturkan pendukungnya dengan para pengkritik. Beda dengan ABAS, orang yang kritik dia, dibenturkan dengan preman yang menjadi korban kebodohan yang dia ciptakan. Kelak kalau dia jadi presiden, dia akan gunakan tangan besi untuk membungkam orang yang kritis.
ABAS untuk seorang Machiavellianisme dia memang cerdas. Secara kejiwaan, orang yang mampu berbohong tanpa ada rasa bersalah dan dilakukan terus menerus, itu karena dia cerdas. Tapi culas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.