Senin, 06 Januari 2020

Konflik geopolik Iran dan AS.



Kegalauan Arab atas rencana AS akan keluar dari Suriah
Tahun 2015, AS merencanakan keluar dari kesepakatan yang membatasi program nuklir Iran dan memberlakukan kembali sanksi. Setelah itu team inti Trumps dipecat dan diganti dengan tim yang berpaham keras dalam menyelesaikan masalah Iran. Mengapa ? ini terjadi berkat lobi Israel dan Arab kepada elite politik yang dekat dengan Trump. “ Harus ada tindakan militer kepada Iran. “ demikian saran team kepada Menteri Luar Negeri Mike Pompeo dan Penasihat Keamanan Nasional John Bolton. Tahun 2018, itu benar benar dilakukan. Sejak  itu ketegangan antara AS dan Iran semakin memuncak. Arab dan israel happy.

Namun pada 28 desember 2018, Trump terbang ke Irak. Ia berpidato di depan pasukan AS di sebuah pangkalan udara di Irak barat. Bahwa dia mendukung rencana untuk menarik pasukan AS dari Suriah. Arab Saudi tentu keberatan sekali. Karena bila AS keluar dari Suriah, maka praktis secara politik, Suriah dikuasai oleh Iran dan Rusia. Ini jelas mengancam eksistensi Arab Saudi. Rasa kawatir ini disikapi berlebihan oleh ring satu Trump, yang sudah dikuasai oleh Saudi. Menteri Pertahanan Amerika dan utusan khusus AS  untuk koalisi anti-ISIS mengundurkan diri setelah Trump membuat keputusan tanpa konsultasi dengan mereka.

Ditahun 2018 ketegangan antara Rusia dan Ukraina mencapai titik didih pada bulan oktober. Tapi Trump tidak merespon dengan baik. Ini tentu membuat sekutunya Eropa sangat kecewa. Karena ancaman Rusia jauh lebih besar daripada ISIS dan Al Qaeda. Putin dianggap presiden yang ekspansionis. Perbatasan Eropa terancam. Kemudian, Angkatan Laut Kerajaan Inggris menyita tanker Iran di lepas pantai Gibraltar pada 4 Juli 2019 , dengan tuduhan membawa minyak untuk Suriah, di mana itu merupakan pelanggaran terhadap sanksi Uni Eropa, sesuai maunya AS.  Iran membalasnya dengan merebut tanker berbendera Inggris, Stena Impero, yang sedang berlayar di Teluk Persia. AS tidak berbuat banyak. Bahkan Trump tetap memaksa agar inggirs terus menahan kapal Iran di Gibraltar tanpa peduli dengan kapal inggris yang disandera Iran. Akhirnya inggris terpaksa membebaskan kapal Iran tanpa peduli permintaan Trump.

Ketegangan juga meningkat di Laut Cina Selatan antara AS dan Cina. November 2018, Wakil Presiden Mike Pence ditanya tentang kegagalan China untuk memenuhi tuntutan AS atas praktik perdagangan yang tidak adil. Tanggapan Pence, AS tidak akan menarik kapal induknya dari Laut China Selatan. Tidak akan ada kompromi sebelum China tunduk dengan kesepakatan dagang yang menguntung AS.  Dampaknya mitra dagang Eropa di ASEAN berbalik mendukung China dan menolak proposal indopacific yang diajukan AS. Karena bagi negara ASEAN, lebih baik berunding dengan China daripada AS. Apalagi kehadiran kapal perang AS di Laut China selatan akan semakin menyulitkan bagi negara ASEAN untuk menarik investor untuk berinvestasi atas SDA yang ada di ZEE. Ini tentu membuat Eropa kecewa. Terutama sikap Jakarta yang menghentikan ekspor bahan baku tambang. Eropa sangat dirugikan. Kunjungan Menteri Luar negeri AS ke Jakarta tahun lalu gagal menekan Jokowi.

Sikap kecewa Eropa kepada AS inilah yang dimanfaatkan oleh Arab Saudi untuk menekan Trump dalam menghadapi ancaman Iran akibat akan keluarnya pasukan AS dari konflik Suriah. Desember 2019, Donald Trump menjadi presiden AS ketiga dalam sejarah yang dimakzulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat AS. Mudah ditebak, ini berkat lobi elite politik dari Eropa yang mempengaruhi DPR AS. Nasib Trump sebagai presiden masih akan ditentukan dalam persidangan di Senat. Nah, lobi Arab Saudi dan Israel dengan Senat AS sangat kuat. Apalagi Senat AS terkesan konservatif dalam menghadapi masalah Timur Tengah. Trump tersudut. “ Serang Iran atau Trump dimakzulkan”.  

AS menuduh milisi di bawah Kataeb Hezbollah dianggap bertanggung jawab atas serangann roket di pangkalan militer Irak., yang melukai kontraktor warga negara AS. Padahal tuduhan itu tidak beralasan. Bagaimana mungkin?. Milisi Kataeb Hezbollah diakui keberadaannya oleh pemerintah Irak. Ia akan menjadi bagian dari angkatan bersenjata Irak setelah proses pembentukan tentara nasional Irak. Tetapi tanpa melalui investigasi atau memberikan hak kepada pemerintah Irak untuk mengusut, AS malah membalas dengan mengebom lima wilayah di Irak dan Suriah. Yang mengakibatkan 25 orang pejuang milisi yang didukung Iran di Irak, di bawah Kataeb Hezbollah tewas. 

Belum cukup? AS juga mengirim rudal melalui dron yang menewaskan Qasem Soleimani, pemimpin Pasukan Qud elit Korps Pengawal Revolusi Islam (IRGC). Yang merupakan pemain kunci menghabisi pasukan ISIS di Irak dan Suriah. Akibatnya keadaan semakin memanas. Kini Trump bukannya melaksanakan rencana keluar dari Irak, bahkan mengirim pasukan tambahan sebanyak 5000 ke Irak. Walau Parlemen Irak sudah mengesahkan UU mengusir AS dari Irak, namun AS balik mengancam Irak. Arab Saudi kini bisa tersenyum. Bagi Arab Saudi , Iran atau Irak sama saja. Karena keduanya dikuasai oleh elite Syiah. 

Lantas apa yang ditakuti oleh Arab Saudi ? Ada lima penyebabnya, Pertama, Iran adalah negara yang memimpin komunitas Syiah dalam komunitas Muslim dan Arab Saudi adalah negara yang memimpin komunitas Sunni dalam komunitas yang sama. Dua cabang utama Islam ini memiliki konfrontasi agama yang kuat sejak dahulu kala, dan konfrontasi masih ada sampai sekarang. Kedua, Sebagai pemimpin dari dua komunitas Muslim yang berbeda ini, Iran dan Arab Saudi ingin menjadi kekuatan dominan di Timur Tengah, dan ini adalah alasan untuk konfrontasi yang kuat antara kedua negara. Ketiga, Arab Saudi adalah salah satu sekutu AS yang paling relevan di Timur Tengah, dan Iran adalah musuh terkuat AS di kawasan yang sama. Keempat, posisi kedua negara terhadap Israel berbeda. Iran memiliki oposisi kuat terhadap keberadaan Israel di kawasan itu, sementara Arab Saudi memiliki posisi yang lebih toleran terhadap keberadaan negara ini. Kelima, Iran tidak suka dengan sistem kerajaan yang menjadi pengawal dua kota suci ( Makkah dan Madinah). Artinya Iran punya rencana untuk membubarkan dinasti Saud, menggantinya dengan sistem republik. Sehingga demokrasi hidup. Umat islam punya hak yang sama terhadap dua kota suci.

Mungkinkah perang dunia ketiga?
Waktu bisnis trip ke Taheran. Saya bertemu dengan teman orang  Yahudi yang punya bisnis di Teheran. Dia sebagai konsultan bisnis khusus tentang counter trade. Koneksinya sangat luas dikalangan elite Iran. Dia membantu saya banyak selama melakukan bisnis dengan Iran. Terutama soal counter Trade. Dalam satu kesempatan makan malam, saya sempat tanya kedia prihal hubungan Iran dengan China dan Rusia. Saya juga sempat tanya pandangan dia mengenai hubungan Arab dan Iran. Ada apa sebenarnya.?  

Sejak Iran dikuasai oleh para Mullah, negeri ini punya narasi kuat untuk membangun kejayaan Persia Raya. Ini bukan hanya soal politik tetapi bertaut dengan keyakinan orang Iran bahwa mereka bangsa spesial dibandingkan bangsa Arab atau lainnya. Karenanya kalau terkesan Iran berteman dengan China dan Rusia, itu bukan berarti Iran dibawah kendali kedua negara itu. Bagi China dan Rusia, sikap mereka terhadap Iran lebih kepada sikap pragmatis. Atas dasar ekonomi semata. Makanya konsesus soal geopolitik dan geostrategis selalu Iran hindari dengan China dan Rusia. Iran ingin bebas secara politik.

Posisi Iran terhadap Arab, bukan hanya sekedar soal Syiah- Sunny. Pada prinsipnya Syiah di Iran, lebih banyak kesamaannya dari pada perbedannya dengan Sunny di Arab. Lantas apa sesungguhnya? itu tadi, Iran punya ambisi mempersatukan Timur Tengah dan Asia Tengah dalam dimensi Persia Raya. Karena itu, disikapi dengan penuh kekawatiran oleh bangsa Arab. Kalau sampai Arab harus tetap bergantung kepada AS dan sekutunya di Barat, itu tak lain cara Arab untuk mendapatkan jaminan keamanan terhadap ancaman Iran. Bukan ancaman dari Isrel. Karena justru Arab dan Israel punya kekawatiran sama soal Iran. Nah kekawatiran Arab inilah yang dimanfaatkan oleh AS dan sekutunya untuk memainkan kartu geostrategisnya di Timur Tengah.

Bila sebelum perang sipli di Suriah terjadi, posisi Rusia dan China tidak significan di Timur Tengah. Sikap Rusia dan China terkesan hati hati dan menjaga jarak dengan Iran, untuk sekedar tidak mau bersinggungan dengan kepentingan AS di Timur Tengah. Politik Iran di Timur Tengah dalam menghadapi Barat dan sekutunya, lebih banyak mengandalkan proxy nya, yaitu Hizbullah. Di forum international, semua tahu bahwa Iran selalu oposisi setiap upaya perdamaian Palestina yang diajukan oleh AS. Iran menolak PLO yang didukung AS dan Arab. Iran berada dibalik perseteruan antara Al Fatah dan Hamas. Jelas kekuatan Hamas ada karena Iran. Target Iran adalah mengusir Israel dari tanah Palestina, sama dengan targetnya terhadap dinasti Saud yang harus digulingkan. Di Libanon,  Iran mendukung Hizbullah berperang dengan Israel.

Namun konstelasi geopolitik di Timur Tengah dari waktu ke waktu terus berubah sejak China dan Rusia mulai mengambil peran lebih besar khususnya ketika terjadi perang sipil di Suriah. Kalau boleh dikatakan, perang sipil yang diciptakan oleh AS dan sekutunya di Suriah dengan tujuan menggulingkan Presiden Bashar, adalah lompatan jauh Iran untuk mencapai mimpinya. Mengapa?  Konflik Suriah mengharuskan Rusia masuk secara penuh berhadapan dengan AS dan sekutunya. Perang sipil di Suriah dipicu oleh rencana Arab dan Qatar yang hendak membangun pipa gas ke Turki, yang ditolak oleh Bashar dan pada waktu bersamaan Bashar menyetujui rencana Iran dan Rusia membangun Pipa minyak Iran melalui Irak dan Suriah hingga ke Laut Mediterania.

Jadi perang di Suriah bukan soal Sunny-Syiah tetapi perebutan geostrategis jalur logistik Migas. Kalau Rusia all out bersama Iran dalam mendukung Bashar dan begitu juga Arab bersama sekutunya ingin menjatuhkan Bashar, itu wajar saja. Mengapa ? Bagi Rusia pipa gas Nord Stream 2 dan Turk Stream berubungan dengan jaminan distribusi Gas ke Eropa, yang merupakan 80% perdagangan Gas Rusia, dan sumber pemasukan devisa terbesar bagi Rusia. Sementara Arab dan Qatar juga ingin membangun pipa gas melintasi Suriah karena jalur melewati Yaman tidak efisien. Dukungan dana Arab kepada kelompok Oposisi di Suriah salah satunya  ISIS, tidak sedikit. Miliaran dollar digelontorkan untuk memerangi Bashar.

Akhirnya Perang sipil di Suriah, jelas dimenangkan oleh Bashar, tentu kemenangan geopoltik bagi  Irand dan keuntungan ekonomi bagi Rusia. Arab kembali melirik ke Yaman sebaga jalur logistik. Namun Iran tidak tinggal diam. Secara tidak langsung Iran sudah masuk ke Yaman melalui dukungan kepada kelompok Houthi  yang punya pasukan mencapai sekitar 75 ribu. Itu sebabnya Arab dan Qatar bersama sama menyerang Yaman dengan tujuan menghabisi kelompok Houthi yang Syiah. Iran tidak tinggal diam. Iran mempersenjatai Houthi menghadapi serangan dari Arab.  Sampai kini perang terus berlangsung.

Tidak sampai disitu saja. Untuk menyudutkan AS dan sekutunya, Iran bergerak lebih berani dengan menguasai seluruh wilayah Selat Hormuz. Selat Hormuz adalah satu-satunya jalur pengiriman minyak keluar Teluk Persia. Dalam sehari, menurut U.S. Energy Information Administration, ada 15 tanker yang membawa 16.5 hingga 17 juta barel minyak bumi melewati Selat Hormuz. Jumlah itu menyumbang 90 persen eskpor minyak dari negara-negara pengeskpor di pesisir Teluk Persia, dan hampir 40 persennya dari seluruh konsumsi minyal dunia. Begitu pentingnya selat yang memisahkan Iran dengan Uni Emirat Arab ini. Manuver Iran ini bukan hanya gertak sambal. Tetapi Iran meletakan puluhan Rudah mengarah ke Selat Hormuz dan menyediakan puluhan kapal patroli cepat dilengkapi rudal. 

AS berusaha membangun koalisi di UNCLOS untuk menghukum Iran atas penguasaan selat Hormuz. Karena Iran mengklaim garis dasar lurus di sepanjang pantainya yang berbatasan dengan Selat tersebut, dan 12 mil laut teritorial yang meliputi sepertiga utara Selat dan jalur laut yang ditunjuk secara khusus. Ia juga mengklaim tiga pulau di sebelah barat Selat dan laut teritorial 12 mil laut di sekitarnya yang meliputi sebagian besar perairan yang bisa dilayari. Pada bagian tersempitnya, Selat Hormuz hanya selebar 21 mil laut. Pada titik ini, kapal dan pesawat yang menggunakan Selat tersebut harus melewati laut teritorial yang diklaim Iran atau Oman. 

Tetapi baik AS maupun Iran belum meratifikasi UNCLOS. Artinya bagi Iran, AS tidak ada hak mempertanyakan teritorial sesuai UNCLOS. Iran tidak melanggar UNCLOS, karena Iran hanya meng claim 12 mil dari pantai. Satu satunya cara bagi AS menghadapi Iran adalah dengan memberikan sanksi Ekonomi diperluas. Namun ini dimanfaatkan oleh China dengan menguasai produksi MIGAS dari Iran. Semakin lama Iran di embargo ekonominya, semakin bebas China mendapatkan sumber Migas Iran.  Bukan itu saja, sumber daya mineral Iran yang sangat kaya akan Logam Tanah Jarang, kini sudah ditambang oleh Perusahaan China yang bermitra dengan Iran. 

Nah dengan situasi tersebut diatas, apakah mungkin konflik Iran- AS akan meluas menjadi perang dunia ketiga ? Kalau Iran tetap ngotot mengusir AS dari Irak sebagai balasan atasan pembunuhanan Soleimani, dan AS tetap ngotot mengusir Iran dari Suriah, dan Selat Hormuz, maka dunia akan terlibat, bukan untuk ikut berperang tetapi memberikan tekanan politik terhadap Iran dan AS. Terutama China dan Rusia, akan lebih keras terhadap  AS. Mengapa ? karena ancamannya sangat besar bagi ekonomi Rusia bila pipa gas di Suriah digagalkan oleh AS. China akan kena dampak ekonomi sangat besar bila selat hormuz jadi medan perang. Karena 40 % pasokan minyak China dari selat ini. 

Bukan hanya China, termasuk Eropa dan Indonesia akan menderita rugi. 40% impor minyak kita menggunakan selat hormuz ini. Apa jadinya bila 40% itu gagal suplay. Kita bisa menghadapi kelangkaan BBM. Harga BBM akan melambung. Anda bisa bayangkan kalau BBM langka. Siapapun presiden tidak akan bisa bertahan lebih dari tiga bulan. Chaos akan terjadi meluas dan bukan tidak mungkin dimanfaatkan oleh kelompok khilafah untuk merebut kekuasaan. itu sebabnya sehari terbunuhnya Soleimani, Ibu Retno, Menlu kita langsung menemui Dubes AS dan Iran agar segera menghentikan konflik dan selesaikan secara diplomasi. 

Namun penyelesaian konflik Iran - AS hanya efektif bila China menggunakan kartu geopolitiknya. Karena China punya hubungan erat dengan Arab, dengan investasi yang tidak sedikit. China juga punya hubungan ekonomi sangat erat dengan iran. Sudah saatnya China mengambil peran agar,  baik Iran maupun Arab duduk bersama dalam semangat yang sama untuk stabilitas Timur Tengah. Agar AS jangan lagi menggunakan kartu geopolitiknya dengan senjata tetapi lewat kerjasama ekonomi seperti yang dilakukan oleh China. Dan AS harus mau berubah. 

China sudah seharusnya melunak dalam perundingan perdagangan dengan AS, khususnya soal perang mata uang agar AS punya nafas melakukan recovery economy. Cara kekerasan lewat militer sudah seharusnya ditinggalkan. Iran harus menutup mimpi Persia raya nya. Apalagi era 4 G dan kini 5 G, dimana dunia sudah borderless. Penguasaan bukan lagi pada territorial tetapi tekhologi. Satu-satunya cara Arab-Iran dapat berkontribusi pada stabilitas di Timur Tengah adalah jika kedua negara menemukan solusi untuk perbedaan mereka  dalam semangat ukhuah islamiah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Memahami ekonomi makro secara idiot

  Berita media massa soal kinerja pemerintah dan terkait utang selalu bias. Bukan pemerintah bohong. Tetapi pejabat yang melakukan pers rele...