Jumat, 12 Mei 2017

One Belt One Road..


Ketika Deng Xioping, melakukan perjalanan panjangnya menyusuri provinsi provinsi di derah pesisir CHina, dia melihat ketimpangan yang sangat lebar dengan provinsi yang berada di pedalaman. Sebagai seorang insinyur yang juga ahli strategi perang, Deng melihat terjadinya gap antara wilayah pesisir dengan pedalaman ini harus segera diatasi. Ketimpangan ini bukan karena orang China di pedalaman itu malas. Atau orang yang tinggal di pesisir lebih suka bekerja keras. Tapi karena ketimpangan infrastruktur ekonomi. Wilayah pesisir punya akses langsung ke laut untuk perdagangannya, sementara daerah pedalaman tidak ada. BIaya logisitik daerah pedalaman untuk menjangkau laut sangat mahal. Keadaan ini harus diatasi. Kalau tidak samakin lama semakin lebar gap pertumbuhan antar wilayah di CHina. Ini akan memicu perasaan ketidak adilan rakyat. Dengan mulai mengkampanyekan program “ Menebarkan kemakmuran wilayah pesisir ke wilayah pedalaman melalui pembangunan instrastruktur ekonomi. “ Wilayah pedalaman harus mempunyai akses logistik yang murah dan cepat ke wilayah pesisir. Dengan demikian akan terjadi koneksitas antar wilayah. Strategi Deng ini ternyata dilaksanakan dengan serius oleh China. China membangun jalan raya dan kereta yang mencapai lebih 50,000 KM. Pelabuhan raksasa berkelas domestik dan international sebagai program toll laut China. Tahun 1980an  semua program Deng menghubungkan wilayah pesisir dan pedalaman berhasil dibangun. Ekonomi China menggeliat bagaikan raksasa yang bangkit dari tidur lamannya. Semua daerah berlomba lomba memacu pertumbuhan ekonominya. Antar wilayah terjadi saling keterikatan mengembangkan potensinya masing masing. Sehingga tidak ada lagi istilah daerah kaya atau daerah miskin. Yang ada, saling memanfaatkan untuk kemakmuran bersama. Semua itu terjadi karena antar wilayah terjadi koneksitas yang efisien dan efektif.

Namun sebagai negara yang berpenduduk lebih dari 1,2 miliar , China mempunyai tantangan dan juga ancaman akan masa depan. Apa itu ? Pertumbuhan ekonomi akan berhadapan pertumbuhan penduduk, yang apabila tidak disiasati secara serius akan berdampak buruk dengan hasil dari kerja keras yang telah ada. Gap kaya miskin tetap akan terus melebar.  Karenanya mau tidak mau. China tidak bisa hidup sendiri. China harus menarik kemitraan luas dengan negara yang berada di regionalnya. Inilah cikal bakal apa yang disebut dengan One-Belt One-Road China ( OBOR) yang merupakan  elemen inti dalam kebijakan luar negeri Eurasia. Untuk menjadi masyarakat abad ke-21 yang sejahtera, ekonomi China harus terus meningkatkan rantai nilai tambah dengan membangun kemampuan inovasi. Ini juga harus memperbaiki alokasi modal jangka panjang sambil mengakomodasi bangkitnya konsumerisme - semua sambil mengelola warisan model pertumbuhan lama. Program OBOR membantu merealisasikan semua itu.

Ambisi OBOR jelas signifikan. Menyampaikan ambisi itu akan membutuhkan eksekusi di lapangan. Pada tingkat mikro, perusahaan China akan menghadapi berbagai risiko berdasarkan proyek per proyek. Ini bisa mencakup rintangan diplomatik atau peraturan, kesalahpahaman budaya dan berbagai sistem hukum yang berbeda yang akan mereka navigasikan. Tak satu pun dari rintangan ini tidak dapat diatasi; Perusahaan dari semua negara menghadapi tantangan seperti itu saat mereka pindah ke luar pasar dari rumah mereka dan memasuki wilayah yang asing. Sesuai dengan sejarah Foreign Direct Investment (FDI) dari negara besar seperti AS dan Eropa, beberapa kesalahan akan dilakukan dan uang bisa hilang. Cina menyadari itu. CHina tidak akan memaksakan program OBOR itu bisa segera di terima oleh mitranya. Namun China akan selalu ada untuk mendukung gagasan mitranya. Pada akhir 1990an, sebuah kebijakan "Go Outward" dilembagakan, mendorong perusahaan China untuk berinvestasi di luar negeri. Pada awal tahun 2000an, Shanghai Cooperation Organization (SCO) didirikan, yang mensistematisasikan keterlibatan tingkat tinggi China dengan sekelompok negara Asia tengah yang berada di sepanjang “jalur Sutra". Ada juga strategi "Go West", yang bertujuan untuk mengembangkan provinsi wilayah barat, yang banyak di antaranya berbatasan dengan negara-negara Asia Tengah. Pada tahun 2009, Presiden Hu mempererat hubungan dengan Asia tengah dengan berbagai kunjungan kenegaraan, investasi dan kemitraan ekonomi. 

Dan kemudian, pada tahun 2013, Presiden Xi Jinping memperkenalkan nama "Silk Road Economic Belt" dan "Maritime Silk Road" pada kunjungan resmi ke negara-negara asia tengah  dan negara-negara Asia Tenggara.  Dalam waktu kurang dari 18 bulan, Cina mengeluarkan rencana aksi komprehensif yang didukung hampir 60 negara Eurasia dan non Eurasia. Jaringan ekonomi yang diajukan tersebut mencakup wilayah geogra yang sangat luas. Sabuk daratan akan melalui benua Asia, Eropa, dan Afrika, menghubungkan Cina, Asia Tengah, Rusia dan Eropa di utara, dan menghubungkan Cina dengan Teluk Persia dan Laut Mediterania melalui Asia Tengah dan Lautan Hindia di selatan. Satu rute jalur maritim diawali dari pantai Cina ke Eropa melalui Laut Cina Selatan dan Lautan Hindia, rute lainnya dari Cina ke Pasifik Selatan. Jalur ini diperkirakan mencakup 4,4 milyar orang dan US S$2,1 trilyun produksi bruto, atau 63% dari populasi dunia dan 29% dari PDB dunia (Cheng, 2015).

Di bawah sponsor Presiden Xi, dana APBN melalusi aksi BUMN China di gelontorkan untuk proyek-proyek di bawah bendera OBOR. Prokyek "Silk Road Fund" senilai US $ 40 miliar. Proyek ini dibawah kendali dari Dewan Negara yang dipimpin langsung oleh Presiden. China juga membentuk lembaga multilateral dibidang pembiyaan proyek yaitu  Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB), yang telah mendanai sejumlah proyek besar di negara-negara yang terkait dengan program OBOR.  Sejak di canangkannya OBOR sekitar US $ 1,3 triliun proyek yang telah dibiayai langsung di bawah bendera OBOR, program ini berukuran lebih dari tujuh kali ukuran Marshall Plan sebagai dana restorasi paska perang dunia kedua. Dan OBOR tidak dengan agenda ingin menguasai negara lain secara politik tapi sebagai mitra ekonomi saling memanfaatkan atas potensi masing masing. Karena setiap negara punya masalah terhadap pertumbuhan dan kemitraan adalah langkah bijak untuk masa depan yang lebih baik.

Jalur sutra bukan hanya mimpi agar china kembali ke masa lalu sebagai  pusat ekonomi Asia Timur, tapi benar benar di laksanakan dengan terencana. Pembangunan itu terus berlangsung. Misal dari Nanning telah di bangun jalur kereta melintasi Kamboja, Thialand, Malaysia dan terus ke Singapore, yang akant terhubung dengan toll laut Indonesia di Kuala Tanjung ( SUMUT). Juga sedang berlangsung pembangunan jalan dari China, Mongolia dan Rusia. Sementara itu di Pakistan, pembangunan infrastruktur mengalami kemajuan pesat berkat pembangunan koridor Sabuk dan Jalur Sutra. Toll Laut China -Yunani, telah terhubung dengan masuknya China Cosco Shipping, menyelamatkan Piraeus Port Authority (PPA) dari bangkrutan karena hutang. Kini ekonomi Yunani membaik setelah terlilit krisis paska gagal bayar hutang. Yunani kembali menjadi pelabuhan penting. Bila tahun 2010 Yunani hanya menjadi peringkat 93 sebagai pelabuhan kelas dunia, kini menduduki peringkat 39. Suatu dampak positip yang luar biasa mengeskalasi pertumbuhan ekonomi yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan. Tahun 2016, melalui China Railway Corporation, China telah meluncurkan kereta barang pertamanya ke London.Kereta barang tersebut melakukan perjalanan dari Stasiun Kereta Api Barat Yiwu di Provinsi Zhejiang, China Timur, menuju Barking, London, Inggris. Untuk mencapai tujuannya, yang berjarak lebih dari 7.400 mil atau lebih dari 11.840 km itu, kereta membutuhkan waktu tempuh 18 hari. Rute ini akan melewati Kazakhstan, Rusia, Belarus, Polandia, Jerman, Belgia, dan Perancis, sebelum tiba di London, ibu kota Inggris. Inggris adalah negara kedelapan yang akan ditambahkan ke dalam rangkaian layanan kereta China-Eropa, dan London adalah kota ke-15 di lintasan yang dilewati kereta itu. 

Mengapa begitu antusias negara negara Asia dan Eropa menerima inisiatif china terhadap OBOR ini ? Karena China adalah negara besar secara populasi dan negara terkuat dari segi ekonomi. Suka tidak suka, China telah menjadi mitra mitra dagang terbesar lebih dari setengah dunia dan meningkat ke posisi terdepan di berbagai segmen rantai pasokan manufaktur global. China merupakan pasar tunggal terbesar untuk segala hal mulai dari mobil hingga ponsel dan e-commerce hingga pariwisata internasional. Ini juga merupakan konsumen terbesar dari berbagai komoditas di bidang energi, mineral dan pertanian. Meskipun peluangnya sangat mengesankan, masih banyak yang harus dilakukan oleh negara mitranya. Setidaknya mereka juga mulai belajar dari China bagaimana menjadikan negara sebagai pelayan bukan penguasa. Bagaimana melakukan revolusi mental rakyat , dari yang pasive menjadi aktif dengan passion tinggi melewati tantangan masa depan yang tidak mudah. Melakukan upaya pemberantasan korupsi secara sistematis dan keras. Kalau tidak,  kemakmuran karena dampak OBOR ini hanya melahirkan kelas menengah yang rakus dan gap kaya miskin tetap melebar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Di balik tataniaga Timah.

  Direktur Utama PT Timah Tbk (TINS) Ahmad Dani Virsal mengatakan bahwa Indonesia kini merupakan produsen timah terbesar kedua di dunia. Dia...