Kamis, 28 Juli 2016

Cinta yang Kuberi Volume 2


Saya nasihatkan kepada putra saya yang telah menikah bahwa satu-satunya penghinaan yang tak pernah bisa dilupakan oleh istri adalah bila dia memukulnya. Luka di hatinya akan membekas. Setelah itu, walau hubungan kembali baik namun keadaannya tidak akan sama lagi. Mengapa sampai begitu? Hal ini karena ketika suami memukul istrinya, sebetulnya dia sedang mempertontonkan kelemahan dan kerendahan moralnya sebagai pria.Tidak ada istri yang bisa hidup nyaman dengan suami yang lemah dan berakhlak rendah. Tidak ada. Yang diinginkan setiap istri sesungguhnya adalah perlindungan dari keperkasaan suami, baik secara fisik maupun moral. Dengan itulah istri bisa melewati guncangan hidup rumah tangga dan mau mengikuti nasihat suami sebagai kepala rumah tangga.
Suatu saat seorang teman bercerita. Ketika dia sedang asyik di kamar kerja, terdengar teriakan istri menyuruhnya makan. Pekerjaannya terhenti dan ia pun kehilangan mood untuk meneruskan. Usai makan, ketika ia sedang duduk santai di depan TV, kembali istrinya mengomel, meminta agar dia mengurangi merokok. Rokok pun sudah tak nikmat lagi di bawah omelan itu. Baru mau istirahat siang, sang istri kembali mengingatkan agar jangan tidur siang sebelum shalat Zuhur. Tidur pun tertunda dan rasa kantuk terhalau untuk segera shalat. Sore harinya dia berencana bertemu dengan teman namun sang istri minta ditemani belanja ke Carrefour. Setiap dia akan memilih barang, sang istri selalu berkata,Nggak perlu itu!” Ketika dia melihat barang yang lain, sang istri berkomentar,Udah, nggak usah. Ntar dibeli juga lupa makannya.” Jadi, semua tak boleh. Hanya istri yang boleh memilih. Dia benar-benar hanya sebagai pendamping dan tak mempunyai hak untuk membeli.
Walau ajaran agama membolehkan suami memukul istri, syaratnya sangat ketat. Kalau suami sampai melakukannya maka pukulan itu tidak boleh mengenai pipi karena pipi adalah kehormatan bagi wanita. Tidak boleh memukul tubuh atau lengannya. Pukulan harus diarahkan ke kaki dan tidak boleh ada bekas. Jadi, hakikatnya bukanlah pukulan yang membuat istri kesakitan, melainkan hatinya yang dipukul karena perbuatannya yang melanggar perintah Tuhan serta merendahkan kehormatan suami dan keluarga. Apa itu? Ya bila istri ketahuan selingkuh. Selebihnya, tidak ada alasan bagi pria untuk marah dengan kata-kata kasar menyayat hati atau ekspresi yang menakutkan istri. Lantas, bagaimana seharusnya suami bersikap bila istri―karena sifatnya―kadang membuat suami tidak nyaman?
Teman saya melanjutkan ceritanya. Kehidupan mereka dilanda badai dan goncangan. Kesulitan ekonomi mulai membuat layar bahtera rumah tangga miring dilamun ombak. Ada rasa ragu untuk melangkah. Takut untuk menatap haluan. Dalam situasi itu seharusnya dorongan semangat datang dari istri agar tak gentar untuk terus menghadapi badai. Namun, bukannya dorongan semangat yang datang. Dia justru dihantam kata-kata yang menyingkapkan semua kesalahan yang pernah dia buat. Itu terus diulang-ulang. Dia tak bisa berbuat banyak kecuali mendengarkan dalam kesabaran. Ya, dia lemah. Ya, dia tidak berkonsentrasi menghadapi masalah. Ya, dia banyak lalai. Ya, dia boros. Ya, semua kesalahannya tergambarkan dengan untaian kata di bawah letupan emosi yang tak sudah. Pening. Dia harus berubah!
Ketika badai berlalu, angin mulai berembus dengan pasti mendorong bahtera melaju dengan gagah. Ada rasa bangga untuk sedikit berharap mendapatkan pujian. Namun, bukannya pujian yang didapat, malah sifat curiga berlebihan yang datang. Sedikit parlente, disikapi dengan curiga. Sedikit agak konsumtif, dibilang lupa pernah susah. Sedikit mau bergaya, dibilang nggak ingat umur. Semua salah. Salah. Lantas di mana benarnya? Mungkin sebagian orang yang bernasib sama dengan dia akan mengatakan dia gagal mendapatkan istri yang saleha.
“Benarkah saya gagal bila mendapatkan istri tidak seperti kualifikasi saleha yang digambarkan ada pada diri Khadijah atau Fatimah Az-Zahra? Yang selalu berlembut wajah ketika berbicara dengan suami. Yang selalu tampil rapi ketika berangkat tidur. Benarkah?” tanyanya dengan tekanan kata, membuat saya tersentak dan juga bertanya hal yang sama.
Teman saya itu tersenyum dan menatap saya, seakan menunggu reaksi saya atas pertanyaannya. Saya hanya diam. Akhirnya, dia menjawab sendiri pertanyaannya itu. Bagi dia, kehadiran istri dalam hidup tak ubahnya kehadiran Allah di setiap detak jantungnya. Betapa tidak? Dia yang boros, yang malas, pragmatis, pesimistis, mudah kalah, dan kadang-kadang tidak sabar, disikapi istrinya dengan sifat yang membuat dia tidak nyaman. Letupan emosi istri lewat bahasa oral dan tubuh telah menelanjangi nafsu egonya. Tak sedikit pun ego nafsunya bisa berlindung dari segala alasan untuk meyakinkan bahwa dia benar. Tidak ada. Walau di luar sana begitu banyak orang memujinya, di rumah tak ada pujian. Yang didapatnya di rumah hanya koreksi tiada henti. Tentu dengan cara istrinya yang spesial membuat dia harus berkaca pada kesalahannya. Setiap hari, setiap detik, dalam kebersamaannya dengan istri di rumah, proses pembunuhan egonya berlangsung efektif.
Benarlah. Seiring berlalunya waktu, tanpa dia sadari sifat boros, malas, pragmatis, pesimistis, mudah kalah, tak sabar, dan segala sifat negatifnya sebagai pria yang juga sebagai kepala rumah tangga telah bermetamorfosis menjadi orang yang hidup dalam kesabaran, hemat namun tidak pelit, istiqamah, rendah hati, optimistis, dan tak mudah menyerah. Anehnya, sang istri pun bermetamorfosis menjadi seperti apa yang dia impikan.
Teman saya itu tersenyum bahagia. Dia seakan memberikan hikmah kepada saya tentang perjalanan kehidupan rumah tangganya bahwa jodoh adalah hak Allah. Allah lebih tahu mengapa kita harus bertemu dan akhirnya menikah. Di hadapan istri, tak ada lagi topeng, lahir batin kita telanjang. Yang paling tahu siapa kita, ya, pasangan kita. Istrilah yang akan menjadi mentor kita. Dengan istrilah kita saling mengingatkan dan menjaga walaupun kadang membuat kita tidak nyaman.
Ya, Allah hadir dalam kehidupan kita lewat orang terdekat yang kita cintai. Allah memberikan hadiah terindah kepada kita berupa cinta yang merupakan produk surga, yang karenanya kita tenteram melewati guncangan hidup. Lewat hadiah inilah Allah mendidik kita untuk menjalankan agama. Bukankah Rasulullah pernah bersabda bahwa menikah itu sama saja dengan melaksanakan setengah kewajiban agama? Saya maknai itu sebagai setengah jalan untuk berlatih menjadi sempurna di hadapan Allah.
Rumah tangga adalah small world bagi kita untuk belajar bijak memahami kehidupan ini, setidaknya melatih kita tidak egoistis dengan mengandalkan superioritas kita di hadapan istri. Ingatlah sabda Rasulullah bahwa surga berada di bawah telapak kaki ibu. Istri kita adalah kaum ibu dan kehormatan bagi anak-anak kita. Hormatilah istri dengan baik karena di situlah kehormatan kita sesungguhnya sebagai pria, sebagai suami.
Jadi, bila suasana hati istri menimbulkan letupan emosi yang membuat Anda tertekan, kesal, dan tak nyaman, janganlah buru-buru berburuk sangka serta menjadikan Khadijah atau Fatimah sebagai pembanding. Jangan jadikan hal itu sebagai alasan untuk mencari wanita lain sebagai istri. Jangan! Ketahuilah bahwa wanita sejati tidak tersedia di etalase. Ia harus Anda ciptakan sendiri lewat proses kesempurnaan akhlak Anda. Anda bukanlah Rasulullah. Anda juga bukan sekelas Ali bin Abi Thalib. Anda hanyalah pria akhir zaman yang mudah berkeluh-kesah dan selalu ingin serba gampang. Lihatlah wajah istri Anda. Di situlah Allah hadir dan berdialog dengan Anda untuk mengoreksi Anda dalam proses menjadi sempurna.


Tulisan tersebut diatas adalah salah satu bab dari Buku :
 Cinta Yang Kuberi , Volume 2

Buku tersedia di Toko buku Gramedia di Kota anda.
Kalau anda minta di kirim ke alamat silahkan hubungi  WA / SMS 0811 33 1924 
atau email ebandaro@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Inflasi momok menakutkan

  Dalam satu diskusi terbatas yang diadakan oleh Lembaga riset geostrategis, saya menyimak dengan sungguh sungguh. Mengapa ? karena saya tid...