Kamis, 28 Juli 2016

Cinta ku Negeri Ku, Mari berubah.


Text message datang ke gadget-saya. “Pah, bisa ketemu? Kiki mau bicara berdua aja,” demikian pesan dari putra saya. Saya tersenyum membaca text message tersebut. Karena merasa dia bukan lagi anak-anak tapi telah dewasa. Dia ingin diperlakukan sebagai sahabat. Ingin berbicara sebagai seorang pria.
Terbayang oleh saya ketika awal dia memutuskan untuk terjun berwiraswasta. Tidak pernah saya memprovokasinya untuk mengikuti jejak saya sebagai pengusaha. Walau pendidikannya mumpuni untuk berkarir sebagai pegawai, namun dia lebih memilih menjadi pengusaha. Dia siap menghadang risiko.
Berjalannya waktu memang usaha yang dirintisnya terseok-seok, namun dengan katabahan dia hadapi. Saya tidak memanjakannya dengan fasilitas, tapi memberinya  motivasi untuk terus melangkah tanpa ragu. Putra saya datang ke cafĂ© di mana kami berjanjian. Seperti biasa dia mencium tangan saya dan merangkul saya. “Iki tidak tahu harus bicara apa. Saat sekarang Iki hanya ingin ketemu Papa aja,” katanya mengawali pembicaraan. Saya menatapnya dengan tersenyum. Saya tahu dia sedang gundah dengan usaha yang sedang dirintisnya. Dia tidak butuh advisi bisnis, tapi penguat jiwanya untuk melangkah ke depan.
“Nak, kamu tahu, Papa  menikah usia 22 tahun. Ketika itu papa tidak punya pekerjaan tetap. Kuliah juga belum selesai. Tidak ada tabungan. Tidak ada asuransi. Jadi, benar-benar papa menghadang risiko. Apa itu? Bila uang untuk sewa rumah saja tidak ada, setelah menikah di mana papa mau tinggal? Bila asuransi saja tidak ada, kalau anak lahir dari bagaimana papa membayar biaya rumah sakit. Kalau terjadi apa-apa, apa yang harus papa usahakan bila tabungan saja tidak ada.
“Bagaimana papa bisa menyelesaikan kuliah, dengan beban ibumu bersama papa… dan terakhir, bagaimana bisa meyakinkan secara akal sehat kepada ibumu bahwa hidup akan aman-aman saja walau tidak ada jaminan income. Sementara sebagian besar teman dan kerabat menasihati papa dengan analisa future yang sangat mengerikan. Bahwa rumah tangga akan hancur bila tidak ada penghasilan. Masa depan akan hancur bila tidak selesai kuliah. Dan banyak lagi.
“Tapi papa tidak peduli. Ketika layar terkembang, pantang surut ke belakang. No way return! Apa modal papa ? Restu orangtua dan iman. Berjalannya waktu, semua bayangan menyesatkan itu, tidak terjadi. Papa dan ibumu baik-baik saja. Sementara teman yang ahli merencanakan kapan harus menikah dengan sederet prakondisi, harus selesai kuliah, harus kerja, harus punya rumah, harus mapan, kini di usia di atas 50 tahun masih mencemaskan putranya yang masih sekolah atau kuliah, masih bingung menyiapkan tabungan masa tua, dan lain sebagainya. Sementara papa di usia setengah abad ini, engga lagi direpotkan dengan itu semua. Alhamdulilah kamu telah menikah dan memberi papa dua cucu hebat. Insya Allah, tahun ini adikmu akan menyelesaikan kuliah kedokterannya dan menikah. Tenaga papa masih kuat karena belum usia pensiun. Artinya hidup memang sebaiknya menghindari resiko namun kadang kita tidak punya pilihan banyak dan menghadang resiko juga bukan salah. Orang besar karena dia mau berbuat dengan kekuatan hatinya atas dasar iman. Karena itu dia bisa melihat dari balik tabir dan melangkah dengan pasti kearah masa depan. Pahaman,kan saying..”
“ Bagaimana menghadapi keadaan ekonomi yang kadang terasa tidak menguntungkan dunia usaha “ Tanyanya
“Kamu tahu, Nak, tahun 1996 kurs Rupiah 2.300 per satu USD, dan tahun 1998 atau dua tahun kemudian menjadi di atas Rp. 10 ribu. Krisis moneter melanda republik ini.  Banyak teman kehilangan pekerjaan dan usahanya bangkrut. Kalau tadinya mereka menjadi middle class berkarir di perbankan atau punya pabrik, dengan kejadian krismon itu, kelas mereka jatuh.
“Papa perhatikan, ada teman yang frustrasi dan selalu meratapi keadaan, akhirnya hidupnya hancur. Ada yang meninggal karena serangan jantung. Ada juga yang terlalu banyak rencana tapi tidak berbuat apapun karena takut uang pesangon atau sisa modal habis.  Akhirnya uang pesangon atau modal habis dimakan dan mereka depresi. Rumah tangga hancur dan mereka kehilangan potensi.
“Tapi ada yang ketika musibah terjadi, langsung berbuat dengan uang pesangon atau modal yang tersisa. Mereka langsung mengubah gaya hidupnya. Mereka  ambil risiko untuk keluar dari masalah dengan berbuat sesuatu. Apa yang terjadi kemudian? Sebagian kini jadi pengusaha sukses di bidang perkebunan, perikanan. Ada yang bisa mengekspor ikan tuna ke Jepang dengan nilai hampir Rp 1 triliun. Ada yang punya ribuan hektare kebun sawit dan tambang batubara. Dan  ada yang langsung namanya masuk dalam urutan orang terkaya di Indonesia karena kepiawaianya sebagai konsultan shadow banking untuk membeli aset yang dikuasai BPPN.  Bahkan, ada yang tadinya hanya distributor barang impor, kini punya pabrik di China, Vietnam. Papa bertemu dengan banyak orang Indonesia yang punya usaha di China, sebagian besar meraka adalah alumni korban krismon 1998. Mereka kaya-raya dan sukses.”
“Mengapa Papa ceritakan semua itu? Ketahuilah bahwa semua manusia punya kesempatan sama. Allah Maha Adil. Lantas mengapa ada yang beda nasibnya? Ada yang  kaya dan ada yang miskin? Ada yang kalah dan ada yang menang? Ada yang sukses dan ada yang gagal. Selalu bersanding antara nasib baik dan buruk. Mengapa?
“Ternyata, bukan karena kehebatan ilmu, bukan karena harta berlebih, bukan karena kesempurnaan tubuh, bukan karena banyak zikir. Bukan! Tapi, mindset. Cara berpikir! Itulah yang membedakan nasib orang satu dengan yang lain. Orang yang pesimistis selalu menghitung masalah yang ada dan membayangkan masalah yang belum ada. Dia selalu jadi pecundang. Apapun yang dia usahakan tetap akan menjadikannya pecundang. Baik dari sisi spiritual maupun dari sisi sosial.
“Mengapa? Karena dia bukan penyelesai masalah, tapi bagian dari masalah itu sendiri. Sikap paranoid melekat erat kepada orang yang pesimistis.  Optimism is the most important human trait, because it allows us to evolve our ideas, to improve our situation, and to hope for a better tomorrow. Banyak orang punya titel berlapis, punya harta berlebih dari warisan keluarga, namun akhirnya semua hilang dan dia meradang seumur hidup menyesali yang telah terjadi dan membayangkan hal buruk yang akan terjadi. Orang yang bernasib baik adalah orang yang mau menerima nasib buruk dan melewatinya dengan tegar! Ya… orang pesimistis melihat kesulitan dalam setiap peluang. Orang optimis melihat peluang di setiap ada kesulitan.
“Dengarlah nasihat Ali Bin Abi Thalib  ‘Bukanlah kesulitan yang membuat kita takut, tapi ketakutanlah yang membuat kita sulit. Karena itu, jangan pernah mencoba untuk menyerah, dan jangan pernah menyerah untuk mencoba. Maka jangan katakan kepada Allah bawa kita punya masalah, tapi berkatalah kepada masalah bahwa kita punya Allah SWT. Yang Maha Segalanya.’
“Ya, ingat ketika awal menikah papa tanya sama ibumu mengapa dia berani hidup bersama dengan papa. Ibumu optimistis Allah akan menolongnya sepanjang dia yakin dengan suaminya. Keyakinan atau optimisme inilah yang membuat sesulit apapun keadaan, akan selalu bersama-sama mengatasinya, tanpa saling menyalahkan atau mengeluh tak berkesudahan. Baik rumah tangga maupun kehidupan bermasyarakat, bernegara, bewirausaha, sikap optimistis inilah sebagai modal untuk membuat nothing is impossible.
“Waktu menikah, Papa tidak mungkin punya rumah karena tida ada tabungan, setelah menikah Allah beri Papa rumah. Papa tidak mungkin bisa punya kendaraan karena Papa tidak bisa setir dan engga ada income pasti, tapi Allah beri Papa kendaraan dan supir. Papa tidak mungkin mapan karena tidak punya pekerjaan tetap, tapi Allah beri Papa sumber pekerjaan untuk memberi orang lain pekerjaan. Kehidupan Papa mengajarkan dengan pasti bahwa nothing is impossible… tidak ada yang tidak mungkin asalkan kamu tidak meliat kesulitan pada setiap kesempatan, namun melihat kesempatan pada setiap kesulitan. Yakinlah!
Jadi Nak, keraslah dengan dirimu sendiri. Bila saatnya kau ingin berbuat, maka percayalah dengan niat baik, maka pikiranmu akan membuatmu selalu terang untuk melangkah di tengah berlantara kehidupan yang tidak ramah. Jangan kawatir! Karena Tuhan menciptakanmu dengan sebaik-baiknya ciptaan. Betapa istimewanya dirimu, Nak. Karenanya jangan rendahkan nilaimu dengan menyalahkan siapapun, tapi tetaplah berprasangka baik untuk berubah lebih baik. Paham, kan, sayang?” 

Cuplikan dari Buku : "Cintaku Negeriku. Mari berubah."
Tersedia di Toko buku Gramedia di Kota anda.
Apabila ingin pesan di antar ke alamat anda, 
Silahkan hubungi WA / SMS 0811 33 1924 atau email saya ebandaro@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Mengapa negara gagal ?

  Dalam buku   Why Nations Fail  , Acemoglu dan Robinson berpendapat bahwa pembangunan ekonomi dan kemakmuran atau kemiskinan suatu negara d...