Kamis, 28 Juli 2016

Cinta Yang Kuberi , Volume 1


Namanya Sobari. Singkat saja nama itu. Padahal, banyak orang punya nama yang panjang atau setidaknya dua suku kata dengan tambahan nama orang tua atau famili atau marga. Orang bilang nama itu lambang harapan. Banyak orang tua memberi nama anaknya nama tokoh sejarah , panglima perang, raja, intelektual, artis. Tentu ada kebanggaan ketika orang tua melahirkan anak dan sekaligus bermimpi kelak anaknya dapat meniru idolahnya atau sesuai apa yang mereka inginkan.
Tapi Sobari adalah Sobari. Mungkin orang tuanya memberi nama itu hanya mengharapkan Sobari menjadi orang sabar. Tak penting mau jadi apa, yang penting Sabar. Cukup.
Aku mengenal Sobari sebagai seorang sahabat. Kami tak begitu akrab karena mungkin berbeda langkah yang sulit seirama. Namun arah kami sama: menuju satu titik karena sholat kami ke kiblat yang sama. Entah doa atau memang keinginan orang tuanya agar Sobari menjadi orang yang sabar, maka jadilah sobari orang yang menyelesaikan kesehariannya dengan sabar dan kesabaran.
Sebetulnya saya bosan membahas tentang Sobari. Apalagi banyak hal selama pergaulan dengannya membuat saya pening. Banyak logika saya masuk lubang sumur. Tapi pertemuan kemarin dengan Sobari membuat saya harus kembali melihat Sobari tak lagi Sobari sebagai sahabat. Tapi Sobari sebagai Tao hidup.
Udah berapa anakmu?” tanyanya ketika kami bertemu. Maklum saja sudah hampir lima tahun tak bertemu.
“Dua.”
“ Oh….”
“Kamu gimana?”
“Dua ratus, barangkali,” jawabnya singakt sambil tersenyum.
“Yang seriuslah .”
“Kapan aku becanda dengan kamu?”
“Benarkah itu?” aku bertanya seperti orang bodoh.
“Kapan aku bohong kepadamu?”
Aku garuk-garuk kepala. Penampilan Sobari cukup necis. Safari warna hitam. Beda dengan penampilannya yang dulu kukenal. Wah, sudah makmur sekarang Sobari. Padahal, lima tahun lalu dia masih berkeliaran di Tanjung Priok sebagai calo barang di pelabuhan.
“Datanglah ke rumahku.” Sobari memberikan kartu namanya. Tertera namanya SOBARI. Tak ada jabatan tertera di bawah namannya.Tentu tak ada pula titel karena Sobari hanya menamatkan sekolah SLA. Padahal jaman sekarang banyak orang membeli gelar untuk mendapatkan status agar dipercaya.
“Bagaimana dengan dua ratus anakmu itu?” Aku menampakan wajah setengah memperolok karena aku tetap yakin Sobari tidak serius dengan kata-katanya. Apalagi lima tahun lalu aku tahu Sobari belum punyak anak walau sudah 20 tahun berumah-tangga.
“Datanglah kerumahku,” jawabnya lagi dengan tersenyum. “Tentu kamu masih tidak yakin, tapi tak ada salahnya untuk datang kerumahku,” sambungya seakan menangkap kesan di wajah saya.
Di hari Minggu yang cerah, saya datang berkunjung ke rumah Sobari. Itupun tidak ada niat untuk datang khusus ke rumahnya. Kalaulah relasi saya yang di Pluit tidak mungkir dengan janjinya, maka hari Minggu ini tak mungkin bertemu Sobari. Tak sulit mencari alamatnya yang baru. Ternyata semua orang di komplek itu mengenalnya. Rumahnya ternyata yang terbesar di antara rumah yang ada di komplek itu. Bahkan menurut ukuran saya rumahnya layak disebut gedung, bukan rumah. Ukurannya 20 kapling yang masing masing berukuran 100 meter dijadikannya satu. Besar, kan?
Sobari menyambut saya dengan tersenyum dengan jabatan tangan yang lembut. Dia menuntun saya masuk ke dalam rumah. Diruang tamu itu tak ada tampak satupun anak anak yang dua ratus itu. Juga tak tampak sepatu anak-anak di teras rumah. Sobari memang bohong atau becanda. Saya tak mau lagi membahas soal dua ratus anak. Saya hanya ingin bertemu dengannya dan sedikit ingin tahu kisah suksesnya.
“Luar biasa!” kataku menatap ke seluruh ruangan yang ada di ruang tengah rumahnya. “Apa bisnis kamu ?”
“Bangun jalan.” katanya seraya tersenyum.
“Kontraktor?”
“Ya.”
“Proyeknya di mana?”
“Di bumi.”
Saya tertawa. “ Seriuslah, setidaknya aku ingin kamu ajari aku bagaimana dapatkan uang dengan cepat. Lima tahun terlalu cepat untuk mendapatkan semua ini,” kataku.
“Saya serius. Dari dulu kamu kan tahu aku selalu serius. Kamu melihat waktu lima tahun terlalu cepat untuk menghasilkan sukses. Bagiku bukan soal waktu lima tahun atau apa karena aku tak pernah menghitung waktu.”
“Tapi kamu sukses sekarang.”
“Belum dan belum,” jawabnya tegas.
“Apakah kamu punya target untuk dicapai?”
“Tentu, tentu ada target. Selagi aku hidup target itu belum akan tercapai.”
“Wah, kamu ambisi ya. Beda dengan dulu kamu yang aku kenal. Ada ada ?”
“Bukan soal ambisi, tapi tak ada pilihan. Dari dulu sampai sekarang aku tidak berubah.Tidak ada ambisi apapun. Kecuali menjalani hidup apa adanya.”
“Lantas bagaimana kamu mendapatkan ini semua?”
Sobari kembali tersenyum. Mungkin dia menangkap rasa keingintahuanku.
“Kamu kan tahu. Dari dulu aku membenci orang mengemis. Bukan karena aku tak suka dengan orang yang lemah. Bukan. Aku sangat mencintai semua hamba ciptaan Allah.Tapi, soal mengemis itu aku sangat benci. Dulu kalau aku menjual barang yang ada di gudang. Aku tak pernah membuka proposal harga berapa akan kujual. Tak pernah. Kamu tahu itu. Orang melihat barang dan aku membuka semua keterangan soal harga itu dari gudang. Mereka tertarik, mereka membayar kepada pemilik barang. Selesai. Kalau mereka memberi aku untung karena jasaku, maka aku terima. Kalau mereka langsung ngoloyor ya aku tak akan mengejar untuk mereka membayar komisiku.”
“Ya, itu aku tahu. Itu konyol namanya.”
“Dan aku tetap hidup dengan caraku. Selalu ada saja cara aku mendapatkan uang tanpa harus meminta. Kamu juga tahu itu.”
“Orang kasihan melihat kamu yang berlelah di pelabuhan mencari pembeli barang tapi tak ada uang. Orang memberi kamu uang karena prihatin dan itu semua datang dari sahabat-sahabat kamu,” kataku sinis.
“Rasa kasihan itu adalah nilai spiritual yang menjadi hakku. Mereka memberi hanya menunaikan hakku yang dititipkan Allah kepada mereka. Dan mereka tak bisa berkelit bila Allah berkehendak.”
“Ya, tapi bentuk lain dari caramu mengemis?”
“Aku tidak pernah mengemis dalam bentuk apapun.”
“Ok lah…” kataku mengakiri perdebatan ini. “Beritahu padaku bagaimana kamu mendapatkan ini semua.”
“Karena orang memberi tanpa aku meminta. Sama seperti dulu.”
“Dengan semua yang ada sekarang kamu miliki?”
“Ya!”
“Yang benarlah, Sobari. Manapula ada di zaman sekarang orang memberi. Apalagi dalam jumlah besar.” Kepalaku mulai pening.
“Itu pikiran kamu. Kenyataannya ada!”
“Ok lah. Lantas, apa yang diharapkan orang memberi itu kepadamu?”
“Dia tidak berharap apapun dariku. Tidak ada. Dia memberi karena keyakinannya kepada sesuatu.”
“Sesuatu ???” Aku bengong. “Apa itu?”
“Keselamatan,” jawabnya singkat. Tetap tersenyum dan “sabar “ meladeninku.
“Ceritakan padaku,” kataku. Aku tak ingin jawaban singkat lagi sebelum aku terjebak dengan masalah yang bikin aku pening.
“Empat tahun lalu ada orang datang ke rumahku. Dia datang karena petunjuk dari seseorang. Akupun tak tahu siapa itu orang. Hanya pintanya agar aku menerima semua uang yang ada di tangannya. Orang itu menyerahkan uang kepadaku dan berharap pemberian uang itu dapat menyelamatkannya dari prahara.”
“Oh, ya?”
“Siapa orang yang memberi uang banyak itu?”
“Akupun tak tahu siapa namanya. Dia langsung pergi tanpa meninggalkan alamat atau indentitas.”
“Kemudian?”
“Uang itu tidak aku tempatkan di bank tapi ku simpan di lemari rumah.”
“Mengapa?”
“Aku engga butuh uang untuk hidup dan aku takut dengan uang sebanyak itu.”
“Lantas?”
“Keesokannya ada lagi teman mengabarkan bahwa ada pabrik bata press yang akan ditutup oleh pemiliknya. Pemiliknya orang asing. Teman itu kasihan dengan nasib buruh. Asalkan ada uang sedikit, orang asing itu mau menyerahkan pabriknya. Kemudian aku menemui orang asing itu untuk menyanggupi membeli pabrik itu. Tak ada negosiasi. Aku hanya menyerahkan semua uang yang ada di tanganku kepada orang asing itu. Tanpa menghitung jumlahnya. Orang asing itu langsung menyanggupi. Dan pabrik berpindah ke tanganku. Keesokannya lagi, ada kontraktor besar datang ke pabrik memberi aku uang cukup besar untuk pesanan besar. Uang itu aku berikan kepada mandor pabrik. Mereka bekerja.”
Aku mulai tertarik. Dari matanya aku melihat Sobari tidak berdusta dan memang dia tidak pernah berdusta. Itu aku tahu betul. Aku memperhatikan dengan seksama ceritanya.
“Pabrik itu membutuhkan batu bara cukup besar untuk memanaskan oven pabrik. Kemudian ada pengusaha dari Kalimantan memberiku sebagian saham pada konsesi batu baranya asalkan aku mau membeli batu baranya. Dia menawarkan kerjasama. Dia butuh kepastian penjualan tambangnya karena itu yang disyaratkan oleh bank yang akan memberinya kredit. Aku menerimanya. Setahun kemudian orang itu meninggal dan menitipkan wasiat agar tambang itu aku teruskan pengelolaannya asalkan biaya hidup keluarganya aku tanggung.”
Aku terpesona.
“Entah kenapa ada orang China datang menawarkan kerjasama untuk membeli batu bara itu dan menyanggupi mengeluarkan biaya untuk menambah kapasitas produksi. Aku menyanggupi. Tapi terhalang karena butuh angkutan kapal ke dermaga besar. Orang china itu memberi uang untuk membeli kapal tunda. Akhirnya akupun jadi eksportir dan juga pemilik kapal angkut. Dari satu kapal menjadi 10 kapal. Sebagian disewa pula oleh penambang lainnya.”
Aku semakin terpesona…
“Pihak Pemda mengajukan proposal kepadaku agar membina penambang kecil. Mereka inginkan aku sebagai penyangga. Pemda memberiku lahan cukup luas untuk membuat tempat penampungan batu bara. Kemudian bank memberiku fasilitas untuk membantu likuiditas sebagai pusat penyangga penambang kecil. Akupun menyanggupi. Akhirnya akupun memiliki tempat penyangga dan sekaligus sebagai trading house batu bara.”
“Karena uang berputar begitu cepatnya, pihak bank menawarkan kepadaku untuk membuka Bank Perkreditan Rakyat. Akupun memilih BMI, BPR syariah. BPR itu ternyata bukan hanya melayani usaha tambang tapi juga usaha lainnya.”
“Jadi sudah berapa usaha yang kamu miliki sekarang ?”
“Pabrik bata, tambang batu bara, eksportir, BPR, Angkutan Kapal….”
“Kamu konglomerat sekarang dan itu hanya dalam jangka waktu lima tahun.”
“ Aku Sobari... bukan konglomerat. Aku kontraktor.”
“Kontraktor???”
“Siapapun kita di dunia ini, hidup sebagai kotraktor. Allahlah yang memberikan kita pekerjaan. Kita hanya sebagai pelaksana dan membangun sesuai design yang sudah ditetapkan oleh Allah. Pemilik project tetaplah Allah."
“Projectnya apa?”
“Membangun jalan menuju kepada kemuliaan. Semua orang punya bidang tugas masing- masing. Bukan soal besar atau kecil. Karena di hadapan Allah semua tugas itu sama nilainya. Yang melebihkan adalah tingkat keihklasan kita berbuat karena Allah. Cinta di balik tugas itulah intinya.”
Aku terhenyak dengan analoginya yang sangat dalam.
“Itu sebabnya dari dulu aku tidak pernah mengejar atau memita apapun baik kepada Allah maupun kepada manusia. Doa bagiku bukan meminta, tapi menyapa Allah. Bekerja bagiku bukanlah meminta tapi bersyariat. Tak ada istilah bagiku untuk bernegosiasi soal hak didunia ini. Apalagi harus menjual diri dengan segala atribut, kata-kata, proposal, janji dan lain sebagainya. Hidup ini, kata-kata tetaplah kata-kata. Janji tetaplah janji. Tapi kenyataan adalah segala- galanya. Kenyataan itu cinta besar di balik perbuatan kita. Itulah nilai kita.”
“Bagiku semuanya jelas. Aku hidup karena Allah. Tak ada keberanianku untuk mengemis lain apa yang aku suka. Kalau di depanku ada tanah luas aku mencangkul untuk bertani. Kalau di depanku ada tambang, aku gali. Kalau di depanku ada uang, aku bikin bank. Kalau di depanku ada barang, aku jual. Kalau di depanku ada sungai dan laut, aku bikin kapal. Kalau ada orang memintaku jadi pemimpin aku jalankan sesuai mandat.
Semua itu datang bukan karena aku menginginkan, tapi datang dengan sendirinya tanpa pernah aku minta apalagi mengemis. Karena kita terlalu rendah untuk menentukan apa yang kita mau. Apalagi menentukan masa depan yang kita mau. Wong kapan kita harus berhenti sedetik ke depan kita tidak pernah tahu kecuali hanya berandai andai.”
“Semua yang ada di dunia ini menuju ke satu titik. Kematian. Itu pasti. Manusia kadang selalu merasa mampu bernegosiasi soal banyak hal tapi kenyataanya tak ada orang yang mampu bernegosiasi soal kematian.”
“Manusia suka sekali meminta dan mengemis dalam bentuk apapun. Kekuasaan diburu. Mengemis di hadapan rakyat agar memilihnya. Mengemis kepada bank agar mendapatkan kredit. Mengemis kepada juragan agar mendapatkan tambahan gaji. Mengemis kepada Allah agar dapat berkah. Mengemis kepada atasan agar naik pangkat. Ini sangat memalukan. Budaya brengsek.”
“Tapi, kita kan harus berbuat sesuatu. Hidup adalah kompetisi. Orang butuh kemampuan skill menjual ide atau barangnya. Orang butuh skill untuk meyakinkan orang lain. Orang butuh kemampuan menguasai resource yang terbatas. Semua itu kan syariat yang semua orang tak bisa lari sebagai sunatullah,” kataku.
“ Cara berpikir seperti itulah membuat kita terjebak dalam budaya brengsek. Akibatnya ada istilah kalah dan menang. Ada pula istilah kaya dan miskin. Adapula istilah konglomerat dan kaki lima. Kedamaian tak lagi tampak. Kelas terbentuk dengan masing-masing kelas hidup dalam kecemasan. Yang kaya takut miskin, yang miskin takut mati kelaparan, yang berkuasa takut jatuh. Sebetulnya tak perlu ada kompetisi asalkan semua orang dalam posisi memberi. Tapi rasa memberi itulah yang semakin terkikis dari keseharian kita. Semua pamrih, termasuk beribadah pun pamrih.”
“Assalamu’alaikum…,” terdengar suara anak masuk ke dalam rumah. Aku menoleh ke arah pintu masuk. Mereka ada berempat. Satu-satu mereka menyalami kami. Kemudian masuk ke dalam rumah. Terus ke belakang. Sobari tersenyum. Saya bingung melihat anak-anak itu yang tampak kumal. Mereka gembel namun masuk ke rumah mewah dengan tanpa risih. Tak berapa lama, datang lagi rombongan anak kecil masuk ke rumah. Dan terus, terus. Hingga sore jumlahnya mencapai 200 anak.
“Siapa mereka? Bagaimana bisa begitu banyak jumlahnya?" tanyaku bingung. Karena yakin itu bukanlah anaknya.
 Awalnya hanya dua orang anak jalanan. Mereka melintasi rumahku yang besar ini. Mereka tidak mengemis kepadaku. Mereka hanya memandangi rumahku dari luar. Aku meminta mereka masuk ke rumahku. Kemudian mengizinkan mereka kapanpun datang sesuka mereka. Mereka datang, mereka mendapatkan semua yang ada di dalam rumah ini. Aku makan maka merekapun makan. Kemudian dari hari kehari jumlah terus bertambah dan bertambah."
"Wah itu bagaimana kalau jumlahnya semakin banyak. Apakah kamu sanggup?"
"Bila nikmat Allah itu diperlihatkan kepada orang lain maka itu artinya kita harus siap untuk membagi nikmat itu kepada siapapun. Orang yang takut membuka nikmatnya kepada orang lain itu artinya kikir. Orang yang membuka nikmatnya kepada orang lain tapi tetap kikir maka itu namanya sombong. Tak jauh beda dengan iblis yang dilaknat Allah.
“Jadi inilah sebagian project yang diserahkan oleh Allah untuk kukerjakan. Sama seperti dua anak dan istrimu yang juga project dari Allah untukmu. Mereka anak jalanan yang menjadikan rumah ini sebagai tempat singgah mereka.” Kemudian Sobari berdiri.
“Mari kebelakang ....”
Aku mengikuti langkahnya. Di ruang belakang terhampar deretan meja makan. Tampak anak-anak yang sedang menikmati makan dengan tertib. Di ruang lain ada pula ruang kelas untuk anak-anak belajar. Lengkap dengan guru dan alat peraga belajar. Di ruangan lain, ada pula deretan foto kegiatanya di pabrik dan di lokasi tambang serta di desa di mana dia membuka BPR. Tampak di foto itu Sobari hadir di tengah mereka dengan senyum dan merekapun semua tersenyum tanpa kesan berjarak dengan Sobari. Semua kehangatan terpancar di antara mereka. Sebuah gambaran tentang ketulusan dari kebersamaan.
Sore telah menjemput. Akupun minta pamit untuk pulang. Pikiranku tetap kepada Sobari. Tak ada lain dari sosok Sobari kecuali kesabaran. Sabar melewati waktu tanpa pernah mengemis atau meminta kepada siapapun. Karena dia menyadari bahwa ketika Allah menghidupkannya, alam berserta isinyapun sudah diberikan untuknya. Sebuah cara melewati tempat persinggahan dengan rendah hati. Dia tinggal menjalani itu semua dengan sabar menuju satu titik dan selesai.

==
Cuplikan dari buku : Cinta yang Kuberi , Volume 1
Penulis : Erizeli Bandaro
Tebal  : 285 halaman.
Cetakan : Pertama, September 2015.
Pemesanan bisa langsung hubungi ke WA / SMS 0811 33 1924
atau email : ebandaro@gmail.com



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Dampak kebijakan Trump ..

  Trump bukanlah petarung sejati. Dia tidak punya seni bertahan sebagai seorang petarung yang punya ketrampilan bela diri dan kesabaran. Ret...