90% asset di dunia ini dikuasai oleh private dan corporate ( TNC/MNC). Negara hanya kuasai 1/3 saja. Asset APPLE dalam bentuk Marcap sebesar USD 3,7 triliun. Itu sama dengan 3 kali dari PDB Indonesia. Atau sama dengan 7 kali PBD Singapore. 2 kali dari PDN ASEAN. Belum lagi Microsoft, Amazone, Tesla dan lain lain. Jadi paham ya.
Di dunia ini ada 9 finacial center. Yaitu New York, Boston, London Swiss, Luxemburg , Toronto, Hong Kong, Singapore dan Dubai. 90% asset di dunia ini terdaftar di 9 kota itu. Semua investor punya rekening di salah satu Financial center itu. Mengapa itu menjadi pilihan? Karena 9 kota itu di endorse oleh system moneter AS yang terkenal sangat solid dan teruji hukumnya atas dasar prinsip demokrasi. Tentu sebagian besar dalam mata uang USD.
Semua corporat dan investor itu tidak pernah menghormati negara yang tidak menjamin demokratisasi dan tidak konsisten dalam menerapkan law enforcement. Mereka tidak mempan politik pencitraan. Mereka lebih tahu isi perut elite. Semua konglo Indonesia punya rekening di Singapore. Holdng company Sinar Mas unit bisnis Agribisnis dan food (GAR) di Singapore. Holding company Salim ada di Hong Kong ( First Pacific International) dan Singapore ( Diamond Bridge). Begitu juga lainnya. Artinya sejatinya mereka engga percaya dengan sistem Indonesia bisa mengamankan hartanya.
Disamping itu bagi investor yang paling penting adalah likuiditas. Likuiditas itu terkait dengan trust dan transfarance. Nah asset USD sangat likuid di market dan tingkat depreciasi nya sangat rendah dibandingkan negara lain. Walau China besar tapi kan engga jual Bond di pasar global. Market nya hanya domestic. Artinya China tidak siap transfarance. RMB memang diperdagangkan secara global tapi kan di quota oleh China. Engga bebas. Sementara Jepang, india dan Rusia kan depreciate asset sangat besar. Karena defisit anggaran sangat besar dan utang public sangat besar. Dan tidak mudah direstruktur. Kalaupun bisa, engga likuid.
Jadi mengapa cerita dedolarisasi itu terkesan halu? Karena tidak ada satupun negara di dunia ini yang mampu menjaga trust seperti AS. Dan karenanya tidak ada Investment holding ( MNC /TNC ) berani menempatkan portfolio mereka diatas 20% dalam mata uang negara lain. Selalu diatas 80% portfolio asset mereka dalam USD. Hegemoni USD itu bukan pada AS nya tetapi pada sistem nya yang kuat dan transfarance.
Bagaimana dengan Billateral SWAP mata uang? Walau sudah ada SWAP bilateral agreement antara negara untuk menghindari transaksi dalam USD. Namun tetap aja ada hedging. Mengapa? Kan engga ada negara yang mau tanggung resiko kurs. Dan mana ada swasta mau rugi karena kurs. Mau engga mau walau lewat SWAP tetap aja ada hedging. Nah pasar hedging siapa yang pegang? Ya AS lagi. Paham ya.
Artinya, kalau ingin menggantikan USD sebagai mata uang dunia, cukup pastikan saja system demokrasi jalan dan transfarance. Itu yang sangat sulit bagi negara selain AS. Ada banyak negara BRICS yang menerapkan demokrasi tetapi tidak berani transfarance. Transfarance itulah yang paling sulit dalam system negara dimana kekuasaan menjadi lokomotif pertumbuhan. Kan seharusnya yang jadi lokomotif adalah public. Atau apa yang disebut kepemimpinan meritokrasi.
Masuknya Indonesai sebagai anggota BRICS, tidak ada agenda ingin ikut dedolarisasi. Engga mungkin. Sebagian besar cadangan devisa kita dalam mata uang USD. Cadangan emas saja kalah dengan Singapore. Sebagian besar kewajiban financial luar negeri kita dalam mata uang USD. Kita juga dapat fasilitas Special drawing right dari IMF dalam mata uang USD. BI juga dapat fasilitas dari the Fed berupa Repo-line untuk mengamankan cadev. Artinya moneter kita sangat bergantung dengan faktor eksternal, dalam hal ini USD.
So untuk apa Indonesia jadi anggota BRICS? Untuk bargain aja di hadapan AS. Agar setidaknya AS dan Eropa tidak menunda nunda keanggotaan Indonesia di OECD. Mengapa ? Sebagai anggota OECD lebih mudah menarik capital dari luar negeri guna menjaga stabilitas IDR. Ya numpang Trust dari OECD. Ya, kita perlu likuiditas valas, tanpa itu moneter kita tumbang. Dalam hal ini saya harus hormat kepada kejeniusan dan keberanian Prabowo. Semoga risiko sudah diperhitungkan dengan baik terutama ancaman dari Trump yang akan menaikan tarif dagang kepada negara anggota BRICS